sumber: https://www.facebook.com/jusman.djamal/posts/10216978863081587
Jangan Anggap Sepele Masalah Complex
Jusman Syafii Djamal, Emeritus Professor.ir.
Empat Puluh Lima tahun lalu, ketika saya masih mahasiswa tahun 73. Saya beruntung . berkenalan dengan Maha Guru diantaranya Prof Dody Tisnaamidjaya, Prof Wiranto Arismunandar, Prof. Oetarjo Diran, Prof Iskandar Alisyahbana, Prof Sujana Sapiie, Prof Filino Harahap dan Prof Matthias Aroef serta banyak guru besar ternama lainnya di Institut Teknologi Bandung.
Dialog bersama mereka baik di ruang kuliah maupun di aktivitas kemahasiswaan membuat "ruang fikiran" dan horizon curiousity kami sebagai mahasiswa meningkat eksponensial.
Ketika itu saya amat menyenangi bidang pemikiran yang selalu dikemukakan oleh para beliau Maha Guru tersebut yakni Dynamics Modelling dan Systems Thinking.
Meski masing masing Maha Guru memiliki keahlian berbeda. Yang satu bidang ilmu Aerodynamics,yang lain Thermodynamics dan Heat Transfer dan satunya lagi Radar Technology dan ICT. Tetapi framework dan disiplin berfikir yang mereka tanamkan pada para murid muridnya termasuk saya adalah "Life Sciences", ilmu kehidupan yang berdiri diatas adagium sederhana :"Allah menciptakan dunia ini dengan tidak sia sia. Penuh dengan kompleksitas, tidak mudah diprediksi, volatile dan uncertain, dan hati berada terletak di dua jemariNya sehingga kita selalu dalam kebimbangan ketika berhadapan dengan banyak pilihan".
Karenanya dalam tugas tugas rumah yang selalu diberikan oleh para Maha Guru itu, selalu terselip sebuah ajaran hidup yang hingga kini melekat pada kami selaku murid muridnya. Yakni ajaran agar sepanjang zaman kami " Jangan pernah menganggap sepele dan memberlakukan problema masyarakat dan kemajuan teknologi, dengan enteng entengan dan sikap merasa jagoan. Sebab persoalan didepan mata memiliki dimensi tersembunyi , intangible dan taidak kasat mata".
Bagi para Maha Guru yang mengajarkan ilmu "Systems Thinking dan Dynamic Modelling", setiap Persoalan yang terlihat mudah selalu merupakan "puncak gunung es dalam lautan".
Tampak sepele tetapi memiliki mata rantai dan elemen problema kecil kecil yang masing masing mmiliki "life cycle" dan S curve yang berbeda.
Mata rantai yang mungkin panjang ataupun pendek. Diperlukan pisau analisa dan kecerdasan untuk menemukan solusinya.
Ambil contoh pertandingan sepak bola World Cup Russia 2018, bagi penonton kekalahan Argentina semata mata adalah karena Messi nya tolol dan tak punya leadership.
Akan tetapi pertanyaan mengapa Messi di Barcelona Moncreng dan mengapa Messi sebagai captain Argentina kedodoran tak pernah dibahas penonton.
Ecosystems atau millieu , suatu environment yang tak kasat mata tidak pernah jadi bahan pertimbangan para penonton sepak bola.
Karena itu selalu penonton terlihat jauh lebih pintar dibanding pelatih dan pemain. Sebab penonton selalu terfokus pada dimensi yang kasat mata, mudah terukur.
Sementara pemain dan pelatih bertarung dengan dirinya sendiri, memilih strategi dan taktik yang tepat ditengah pergerakan bola dan lawan bertanding.
Ada unsur kompleksitas dan ketidak pastian dalam dinamika dilapangan akibat gerakan pemain lawan dan kekeliruan tendangan serta operan yang mungkin muncul dari keeper atau wing back.
Ada faktor kebimbangan memilih jalur operan tik tak yang bermain dalam kepala setiap pemain baik kawan maupun lawan yang harus diantisipasi. Latihan 8 jam tiap hari mungkin berbeda dengan pertandingan sesusungguhnya.
Kata von Clausewitz dalam setiap "game of war" selalu ada kabut yang menyelimuti pandangan terhadap situali riel yang sesungguhnya terjadi. A fog of war.
Decision science karena nya bukan ilmu yang mudah dipelajari.
Contoh kedua, kemarin saya membaca ulasan seorang Tokoh Nasional Mantan Menteri yang memberi konferensi Pers tentang Garuda Indonesia.
Menarik sebagai input, apalagi ia bercerita sambil mendramatisir persoalan, mengatakan investasi di Garuda ugal ugalan, sayang yang dirujuk keliru dan typing error, sebab Garuda tidak pernah memiliki rencana pada tahun 2015 untuk membeli dan berinventasi pesawsat Jumbo 600 penumpang Airbus A 380 seperti yang ditulis.
Dan juga yang membeli pesawat Bombardier bukan Direksi tahun 2014-2019, melainkan Management masa lalu.
Jadi yang diserang masalah masa lalu, yang dikecam direksi sekarang yang tidak tau menau.
Apalagi juga mencoba mengkaitkan kritik dan kecaman pada mata rantai yang tidak terkait seperti Meneg BUMN masa kini.
Ada time lag dalam pemikiran atau mungkin keliru ngetik.
Ulasannya tentu sangat menarik, sebab dibumbui cerita tentang kehebatan masa lalu beliau yang serba bisa sebagai "problem solver". Apalagi ditutup dengan keinginan untuk ikut menyelamatkan Garuda Indonesia dari jurang kebangkrutan. Siapa yang tidak syur dan terpesona denna pengabdian dan heroisme model begini. Alhamdulillah.
Seringkali para ahli atau yang mengaku mumpuni, menganggap tiap Problem sama saja. Toh bottom line nya sama.
Sehingga problem yang kompleks sering di coba untuk disederhanakan dan di identikkan dengan masalah masa lalu yang mungkin berbeda. Masalah masa lalu seringkali bersifat linier dan disebut complicated.
Padahal dalam bahasa Indonesia kata jelimet itu berbeda kosa kata dengan kata kompleks.
Urusan jelimet dan Complicated selalu diibaratkan seperti problem yang selalu ditemukan oleh tukang jam dipinggir jalan Pajak Pringgan Medan Baru, atau di Kesawan dan Pajak Hongkong Medan dimasa lalu.
Ditepi jalan, tengan mudah ata temui Ahli utak atik dan reparasi jam pinggir jalan. Dengan modal sebuah meja, tempat duduk, lap dan kaca pembesar di mata kiri, tukang jam ini menelusuri mata rantai roda gigi yang secara teratur saling berhubungan dalam aliran gerak seragam.
Melalui tangan terampil dan obeng mikrio nya ia mampu menjejaki kekeliruan ritme dari interaksi tiap senis roda gigi yang berjalin kelindan secara mekanis.
Sebuah alur yang dirangkai sedemikian rupa oleh para pencipta jam tangan di Swiss yang menyebabkan mata rantai roda gigi ini, mudah ditelusuri dan diperbaiki oleh mechanics pinggir jalan di pelosok kota Medan.
Karena itu kalau kita bertemu dengan abang abang ahli reparasi jam di Medan ini, kita sering berkolak.
Gimana Bang ada masalah rumit di jam tangan itu. Ach buyung kau bawa itu semua jam kakek, abang atau ayahmu kemari. Rolex pun aku tak peduli. Apalagi Seiko, semua gampang.
Kini mungkin mereka kerepotan ketika berhadapan dengan apple watch yang digerakkan oleh software, yang compliated berubah jadi complex.
Man Machine Relationshipnya berbeda.
Dimasa lalu bagi tukang reparasi jam pinggir jalan semua merek jam dari Rolex, Omega, Titus, Rado ataupun Timex semua dianggap sama mekanisme roda giginya.
Jelimet kecil kecil tapi mudah diatasi dengan kaca pembesar dan obeng micro.
Semua masalah bersifat linier mudah ditelusuri meski jelimet dan Komplikated.
Para Maha Guru saya 45 tahun laiu mengajarkan bahwa untuk problem yang bersifat mekanis dan teknis urusan menyederhanakan masalah mudah ditemukan solusinya.
Simplicity menjadi orientasi dari para perancang alat erlatan utama hasil rekayasa insinyur. Karenanya tugas seorang insinyur adalah menemukan rancang bangun dan rekayasa proses serta produk yang mudah digunakan.
Adagium ini yang membuat Steve Jobs menjadi terkenal. Karena ia berhasil menciptakan Apple Watch, Ipad dan Iphone yang mudah digunakan para pelanggan.
Cukup dengan sentuhan jari, semua yang ada dalam fikiran dapat ditumpahkan kedalam dunia maya dan menjadi viral.
Tetapi dibalik Simplicity Steve Jobs, sebagai perancang perangkat keras bermerk Apple, ia melakukan apa yang disebut oleh Thomas Kuhn sebagai "Paradigm Shift" dalam proses rekayasa dan rancang bangun perangkat tilpon genggam dan komputer laptop. Ia merubah eko sistem, tatacara kerja , struktur mekanisme pemanfaatan teknologi bagi pelanggan.
Ia menciptakan icloud, sistem penyimpan yang terkoneksi secara virtual melalui dunia maya. Sehingga hard disk tidak diperlukan lagi. Sooftware menjadi dominan, masalah complicated dengan mekanisme dan mata rantai persoalan kasat mata dan bersifat linier berubah menjadi sistem yang kompleks dan intangible.
Diperlukan keahlian manusia bersumber daya iptek yang berbeda tingkat penguasaan teknologinya.
Resep penggunaan komputer yang saya kuasai di zaman main frame dengan IBM 4341 atau Vax dan Sun, tidak lagi berguna. Harus dimodernisasi dan dirveitalisasi.
Begitu juga dengan model tata kelola industri Dirgantara dan Industri Maskapai Penerbangan.
Kebetulan saya memiliki pengalaman dicemplungkan oleh Prof B J Habibie ke pelbagai industri manufaktur pesawat terbang di dunia dari tahun 1982 hingga 1989, sebelum dipercaya menjadi asisten utama beliau dalam merancang pesawat terbang N250 dan kemudian diserahkan tanggung jawab untuk melakukan restrukturisasi IPTN tahun 1998 hingga 2001.
Industri Manufaktur Pesawat Terbang Dan Maskapai Penerbangan kebetulan termasuk jajaran industri yang padat modal dan padat teknologi.
Setiap problem yang muncul memiliki mata rantai yang kompleks dan sekaligus complicated.
Ada mata rantai nilai tambah dan mata rantai pasokan dalam setiap proses produksinya dan ada juga mata rantai roda gigi yang jelimet dalam setiap jutaan elemen produk pesawat terbangnya.
Menggampangkan persoalan dan menyepelekan masalah akan membawa kita pada problem lain yang lebih besar.
Lorentz menyebutnya sebagai persoalan ribuan kepakan sayap kupu kupu di hutan amazon.
Yang saling beresonansi untuk melahirkan badai tornado di Mobile Alabama Amerika Timur.
Persoalan Garuda Indonesia yang muncul tahun 1998 tidaklah identik dengan persoalan yang muncul tahun 2000-2001, dan juga tidak sama sebangun dengan persoalan yang timbul tahun 2004-2009 atau juga tahun 2014-2019.
Tiap phase memiliki complexity yang berbeda. Tak memiliki obat dan resep yang sama jenisnya. Obat masa lalu tidak dapat diputar kembali resepnya.
Pengalaman masa lalu tidak otomatis dapat menjadi jaminan akan kesuksesan dimasa kini. Karenanya para Guru Besar 45 tahun di ITB selalu mewanti wanti agar generasi saya selalu tidak boleh berhenti belajar.
Learn to Unlearn, dan harus memiliki kepercayaan bahwa generasi masa kini pasti jauh lebih baik dari generasi masa lalu.
Coba kita telusuri contoh berikut ini :
Sebelum tahun 1998 tidak ada kebijakan deregulasi di Indonesia. Ketika Prof BJ Habibie menjadi Presiden ketiga, program deregulasi penerbangan diterapkan.
Muncul maskapai penerbangan berbiaya murah, yang kemudian berlomba menggunakan pesawat tua hasil sewa untuk membuat semua orang mudah terbang. Ongkos pesawat dari Jakarta surabaya jauh lebih murah dibanding ticket kereta api dan bis malam.
Perlombaan bantiung harga yang kemudian melahirkan masalah "Keselamatan Penerbangan".
Sebelum krisis 1998 Garuda Indonesia dapat bersifat monopli dan menjadi pemain dominan. Tetapi setelah 1998, maskapai penerbangan muncul lebih 40 buah , saling bersaing menggerogoti pasar yang tumbuh double digit.
Perang harga, banting ticket murah agar tiap rute pesata terisi penuh, boleh jadi Bagus untuk Pelanggan.
Akan tetapi Ticket murah tanpa batas bawah penyangga biaya Aviation Safety , melahirkan banyak accident.
Harga ticket terlalu murah menurunkan margin dan biaya operasi ketitik terendah. Terjadi kreativitas tidak pada tempatnya. Pesawat tua dioperasikan, tanpa perawatan. Bogust part atau komponen recycle tak bersertifikat di jadikan suku cadang. Log book keluhan pilot tak diacuhkan.
Semua benih kecelakaan tertidur dalam sistem.
Puncak kecelakaan pesawat di Indonesia muncul tahun 2006. Sehingga Presiden SBY membentuk Tim Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi atau EKKT dibawah kepeimpinan Marsekal Chappy Hakim .
Hal sama pada tahun 1978 tejadi di Amerika. Pada 78 di Amerika juga lahir program deregulasi oleh ahli eknonomi yang menjadi Menteri Transportasi bernama Kahn. Yang menjadikan "south west airline" sebagai model bisnis Low Cost Carrier. Dan kemudian lahir banyak maskapai penerbangan LCC. Termasuk Value Jet Airline yang secara ugal ugalan menurunkan harga ticket pada titik terendah dan melupakan biaya perawatan pesawat dan program safety.
Tahun 90 an ketika Presiden Clinton jadi Presiden, maskapai penerbangan dengan harga ticket dibawah seratus dollar untuk semua jurusan , Value Jet ini mengalami kecelakaan dahsyat di California dan Clinton membentuk Tim Penyelidik akar masalah.
Dengan kata lain saya ingin memperlihatkan bahwa perubahan model bisnis untuk menjadi efisien dengan menurunkan biaya operasi dan memotong mata rantai organisasi ini dan itu tidaklah mudah dalam maskapai penerbangan.
Airline Business fondasinya adalah Safety and Security. Padat Regulasi yang selalu menjadi batas gerak maju dan envelope ruang maneuver tata kelola. Tidak mungkin ada program "cost cutting" ugal ugalan yang dapat mengancam keselamatan penumpang. Airline business miip seperti bisnis tukang cukur, pisau pembersih jenggot tak mungkin di putar putar seenaknya sehingga menyayat pipi dan leher Pelanggan.
Diperlukan keahlian dan pengalaman sebagai engineer pesawat terbang untuk menempatkan program efisiensi biaya operasi dalam ruang maneuver yang dibatasi Faktor Aviation Safety yang berubah sepanjang waktu.
Maskapai penerbangan yang hidup sebelum tahun 2001 tentu memiliki model tata kelola safety berbeda dengan maskapai penerbangan yang tumbuh setelah peristiwa 11 September 2001 terjadi di Amerika.
Ketika teroris berhasil membajak pesawat canggih jenis Boeing 767 dan menggunakannya sebagai bom udara karena pesawat dengan tangki penuh dapat ditabrakkan ke Twin Tower World Trade Center, banyak ahli pesawat terbang melihat bahaya lain yang muncul dari tata kelola bandara dan seleksi penumpang maskapai penerbangan yang sembrono dan anggap remeh.
Sejak 2001, di seluruh dunia ICAO telah menerbitkan panduang aturan bakur tentang standard Aviation safety yang semakin meningkat.
Misal Cockpit yang dilindungi pintu tidak tembus peluru dan terkunci dari dalam.
Selain itu maskapai penerbangan juga tidak dapat mengabaikan aturan Transportation Security, dimana jam menuju ke bandara perlu disesuaikan dengan ketentuan untuk meliwati pelbagai pemeriksanaan KTP, dompet, sepatu, ikat pinggang dan juga laptop serta power bank.
Model operasi pesawat terbang kini memiliki evolusi dan tidak sama sebangun seperti tahun 2000-2001.
Solusi restrukturisasi yang sukses dimasa tahun 1998 hingga 2001 mungkin sudah kadaluarsa untuk dijadikan referensi. Apalagi kemudian dibanggakan sebagai satu satunya solusi ces pleng. Perlu ada inovasi.
Regulasi yang mengatur tingkat Airport Security setelah peritiwa bom yang menghantui dunia Penerbangan, juga menyebabkan terjadinya perubahan lay out dan modernisasi infrastruktur airport. Diperlukan perimeter pembatas ruang naik turun penumpang yang diikuti oleh proses segregasi penumpang berticket dengan pengantarnya.
Barang berbahaya dan tidak. Akibatnya airport modern selalu berskala Besar dan Luas, seperti Terminal 3 Soetta dan juga Changi serta bandara baru di Sanghai yang kini memiliki 100 garbarata. Luas stap Sukarno Hatta Terminal 3 saja misalnya 2,5 hektar, panjang jalan 1,5 kilometer dan lebarnya 500 meter kurang lebih.
Fitur yang menyebabkan penumpang menggerutu karena capek berjalan.
Akibatnya Maskapai penerbangan perlu menyesuaikan pola manajemen operasinya agar delay dapat ditekan ketitik terendah.
Hambatan infrastruktur dan perubahan cuaca kini menjadi faktor yang berkontribusi dan disrupsi waktu tiba dan waktu berangkat di tiap rute. Dan itu berarti peningkatan biaya operasi "ground support".
Begitu juga sebelum tahun 2001 harga avtur masih memiliki kontribusi 10 % dalam biaya operasi. Sejak 2002 hingga 2008 harga avtur meroket dan bergerak dalam dinamika yang berbeda, terjadi fluktuasi yang menyebabkan kontribusi nya pada biaya opersasi pesawat meningkat menjadi 4 kali lipat dibanding sebelum tahun 2001.
Dikenal istilah hedging yang memerlukan keahlian finansial manager yang berbeda pula.
Fenomena yang menyebabkan Maskapai Penerbangan harus merogoh kocek lebih dalam.
Fuel berharga mahal menyebabkan maskapai penerbangan masa kini tidak boleh lagi bergantung pada pesawat pesawat tua berusia diatas 11 tahun. Pesawat generasi dibawah tahun 90 an, memiliki engine yang boros bahan bakar dan rawan tingkat safety nya. Diperlukan investasi Peremajaan dan Modernisasi pesawat sepanjang perjalanan hidup Airline. Perlu ada pola biaya CAPEX persatuan waktu.
Tidak mungkin kemudian terus ada larangan jangan beli pesawat baru. Hemat saja dengan yang ada. Pendekatan bisnis oplet Stasiun KA ke arah Dago di Bandung yang terus tumbuh dengan mobil tua yang dirawat dengan apik, boleh saja jadi pilihan srategi efisiensi.
Tapi pertanyaannya apa kompetitif dan tidak mengancam safety ?
Karenanya resep yang Garuda Indonesia untuk berinventasi dan melakukan Langkah Peremajaan dan Modernisasi armada pesawatnya di tahun 2009-2014 dalam program Quantum Leap disatu sisi sangat lah diperlukan.
Ketika phase Quantum Leap tersebut orientasinya jelas untuk Peningkatan Safety dan Efisiensi bahan bakar. Tapi disisi lain membuat generasi berikutnya dari Direksi perlu kerja jauh lebih keras.
Karena tingkat pengelolaan 60 pesawat terbang tentu berbeda dengan tingkat kerumitan operasi mengelola 202 pesawat baru. Apalagi kini BOD diwarisi oleh 4 jenis tipe pesawat berbeda. Long Haul, Medium Haul, Feeder atau commuter dan Hub by pass seperti yang dimiliki saat ini. Yang meningkatkan biaya perawatan dan tambahan crew dengen skill set berbeda.
Jika kita terlalu terpukau dengan teori potong sana potong sini, hentikan itu , stop sana stop sini hantam kromo dengan menyederhanakan problem tentu ada baiknya. Tapi apa itu langkah yang cerdas ?
Dalam Bisnis padat teknologi dan padat modal diperlukan Keahlian dan Wiisdom. Sikap putus asa melihat jurang menganga akibat gap Revenu dan Biaya biaya yang tercatat dalam neraca tiap tahun dengan langkah drastis menganjurkan manajemen untuk menyudahi segala langkah sistimatis dan terstruktur dalam skala 3-5 tahunan , dan mengganti nya sudahlah mengapa repot repot, jual saja pesawat yang banyak itu kalau tak mampu mengurusnya, disatu sisi kelihatan nya hebat dan cespleng.
Akan tetapi pengurangan armada, penutupan rute rute, menutup kantor seperti yang dilakukan dimmas krisis ekonomi 98 - 2001, pastilah akan membuat maskapai penerbangan akan "terkurung" dan terbonsai mengkerut. Yang kecil pasti kalah dimakan yang besar.
Lihat saja Singapore Airline. Kini ia memiliki dua DNA Bisnis. Premium Class yakni Singapore Airline dan Low Cost Carrier yakni Scout dan Tiger. Itu dilakukan dalam rangka memenangkan persaingan regional maupun global.
Jadi heran juga kalau di Garuda pendekatan memiliki Premium Class yakni Garuda Indonesia International, Garuda Indonesia Domestik dalam satu model DNA dan Citilink sebagai DNA LCC dikecam dan disebut tidak jelas arah strateginya.
Pendekatan hibrida tidaklah jelek. Konvergensi kini jadi model strategi juga.
Jangan dilupakan program Restrukturisasi maskapai penerbangan tidaklah berada diruangan vacum, kedap dan terisolasi dari ancaman penggerogotan Revenue dan marker dari para predator dan pesaing.
Disekitar Jakarta, Kualanamu, Denpasar, Makasar dan Sorong banyak maskapai penerbangan yang siap megarungi rute domestik Indonesia. Seperti Scout anak perusahaan Singapore Airline, Air Asia dan Malaysia, Thai Airways, Qatar, Emirate dan Etihaad.
Apalagi South China Airline kini telah memiliki pesawat terbang berjumlah 500 buah dan siap mengepakkan sayapnya mengisi rute rute internasional, yang direkomendasikan oleh banyak kalangan agar ditinggal saja oleh Garuda.
Begitu juga ada model bisnis hasil merger Delta Airline yang kini memiliki 1000 pesawat terbang dan telah mengakuisisi refinery avtur untuk mengontrol harga bahan bakar sebagai bentuk efisiensi biaya operasi.
Singa, Naga dan buaya didepan pintu gerbang langit Indonesia tentu perlu diantisipasi.
Azas Cabotage perlu dilindungi.
Bendera Merah putih.harus tetap berkibar di bandara domestik maupun internasional melalui kehadiran flag carrier.
Mohon Maaf Jika ada yang keliru dalam tulisan ini.
Salam
Jusman Syafii Djamal, Emeritus Professor.ir.
Empat Puluh Lima tahun lalu, ketika saya masih mahasiswa tahun 73. Saya beruntung . berkenalan dengan Maha Guru diantaranya Prof Dody Tisnaamidjaya, Prof Wiranto Arismunandar, Prof. Oetarjo Diran, Prof Iskandar Alisyahbana, Prof Sujana Sapiie, Prof Filino Harahap dan Prof Matthias Aroef serta banyak guru besar ternama lainnya di Institut Teknologi Bandung.
Dialog bersama mereka baik di ruang kuliah maupun di aktivitas kemahasiswaan membuat "ruang fikiran" dan horizon curiousity kami sebagai mahasiswa meningkat eksponensial.
Ketika itu saya amat menyenangi bidang pemikiran yang selalu dikemukakan oleh para beliau Maha Guru tersebut yakni Dynamics Modelling dan Systems Thinking.
Meski masing masing Maha Guru memiliki keahlian berbeda. Yang satu bidang ilmu Aerodynamics,yang lain Thermodynamics dan Heat Transfer dan satunya lagi Radar Technology dan ICT. Tetapi framework dan disiplin berfikir yang mereka tanamkan pada para murid muridnya termasuk saya adalah "Life Sciences", ilmu kehidupan yang berdiri diatas adagium sederhana :"Allah menciptakan dunia ini dengan tidak sia sia. Penuh dengan kompleksitas, tidak mudah diprediksi, volatile dan uncertain, dan hati berada terletak di dua jemariNya sehingga kita selalu dalam kebimbangan ketika berhadapan dengan banyak pilihan".
Karenanya dalam tugas tugas rumah yang selalu diberikan oleh para Maha Guru itu, selalu terselip sebuah ajaran hidup yang hingga kini melekat pada kami selaku murid muridnya. Yakni ajaran agar sepanjang zaman kami " Jangan pernah menganggap sepele dan memberlakukan problema masyarakat dan kemajuan teknologi, dengan enteng entengan dan sikap merasa jagoan. Sebab persoalan didepan mata memiliki dimensi tersembunyi , intangible dan taidak kasat mata".
Bagi para Maha Guru yang mengajarkan ilmu "Systems Thinking dan Dynamic Modelling", setiap Persoalan yang terlihat mudah selalu merupakan "puncak gunung es dalam lautan".
Tampak sepele tetapi memiliki mata rantai dan elemen problema kecil kecil yang masing masing mmiliki "life cycle" dan S curve yang berbeda.
Mata rantai yang mungkin panjang ataupun pendek. Diperlukan pisau analisa dan kecerdasan untuk menemukan solusinya.
Ambil contoh pertandingan sepak bola World Cup Russia 2018, bagi penonton kekalahan Argentina semata mata adalah karena Messi nya tolol dan tak punya leadership.
Akan tetapi pertanyaan mengapa Messi di Barcelona Moncreng dan mengapa Messi sebagai captain Argentina kedodoran tak pernah dibahas penonton.
Ecosystems atau millieu , suatu environment yang tak kasat mata tidak pernah jadi bahan pertimbangan para penonton sepak bola.
Karena itu selalu penonton terlihat jauh lebih pintar dibanding pelatih dan pemain. Sebab penonton selalu terfokus pada dimensi yang kasat mata, mudah terukur.
Sementara pemain dan pelatih bertarung dengan dirinya sendiri, memilih strategi dan taktik yang tepat ditengah pergerakan bola dan lawan bertanding.
Ada unsur kompleksitas dan ketidak pastian dalam dinamika dilapangan akibat gerakan pemain lawan dan kekeliruan tendangan serta operan yang mungkin muncul dari keeper atau wing back.
Ada faktor kebimbangan memilih jalur operan tik tak yang bermain dalam kepala setiap pemain baik kawan maupun lawan yang harus diantisipasi. Latihan 8 jam tiap hari mungkin berbeda dengan pertandingan sesusungguhnya.
Kata von Clausewitz dalam setiap "game of war" selalu ada kabut yang menyelimuti pandangan terhadap situali riel yang sesungguhnya terjadi. A fog of war.
Decision science karena nya bukan ilmu yang mudah dipelajari.
Contoh kedua, kemarin saya membaca ulasan seorang Tokoh Nasional Mantan Menteri yang memberi konferensi Pers tentang Garuda Indonesia.
Menarik sebagai input, apalagi ia bercerita sambil mendramatisir persoalan, mengatakan investasi di Garuda ugal ugalan, sayang yang dirujuk keliru dan typing error, sebab Garuda tidak pernah memiliki rencana pada tahun 2015 untuk membeli dan berinventasi pesawsat Jumbo 600 penumpang Airbus A 380 seperti yang ditulis.
Dan juga yang membeli pesawat Bombardier bukan Direksi tahun 2014-2019, melainkan Management masa lalu.
Jadi yang diserang masalah masa lalu, yang dikecam direksi sekarang yang tidak tau menau.
Apalagi juga mencoba mengkaitkan kritik dan kecaman pada mata rantai yang tidak terkait seperti Meneg BUMN masa kini.
Ada time lag dalam pemikiran atau mungkin keliru ngetik.
Ulasannya tentu sangat menarik, sebab dibumbui cerita tentang kehebatan masa lalu beliau yang serba bisa sebagai "problem solver". Apalagi ditutup dengan keinginan untuk ikut menyelamatkan Garuda Indonesia dari jurang kebangkrutan. Siapa yang tidak syur dan terpesona denna pengabdian dan heroisme model begini. Alhamdulillah.
Seringkali para ahli atau yang mengaku mumpuni, menganggap tiap Problem sama saja. Toh bottom line nya sama.
Sehingga problem yang kompleks sering di coba untuk disederhanakan dan di identikkan dengan masalah masa lalu yang mungkin berbeda. Masalah masa lalu seringkali bersifat linier dan disebut complicated.
Padahal dalam bahasa Indonesia kata jelimet itu berbeda kosa kata dengan kata kompleks.
Urusan jelimet dan Complicated selalu diibaratkan seperti problem yang selalu ditemukan oleh tukang jam dipinggir jalan Pajak Pringgan Medan Baru, atau di Kesawan dan Pajak Hongkong Medan dimasa lalu.
Ditepi jalan, tengan mudah ata temui Ahli utak atik dan reparasi jam pinggir jalan. Dengan modal sebuah meja, tempat duduk, lap dan kaca pembesar di mata kiri, tukang jam ini menelusuri mata rantai roda gigi yang secara teratur saling berhubungan dalam aliran gerak seragam.
Melalui tangan terampil dan obeng mikrio nya ia mampu menjejaki kekeliruan ritme dari interaksi tiap senis roda gigi yang berjalin kelindan secara mekanis.
Sebuah alur yang dirangkai sedemikian rupa oleh para pencipta jam tangan di Swiss yang menyebabkan mata rantai roda gigi ini, mudah ditelusuri dan diperbaiki oleh mechanics pinggir jalan di pelosok kota Medan.
Karena itu kalau kita bertemu dengan abang abang ahli reparasi jam di Medan ini, kita sering berkolak.
Gimana Bang ada masalah rumit di jam tangan itu. Ach buyung kau bawa itu semua jam kakek, abang atau ayahmu kemari. Rolex pun aku tak peduli. Apalagi Seiko, semua gampang.
Kini mungkin mereka kerepotan ketika berhadapan dengan apple watch yang digerakkan oleh software, yang compliated berubah jadi complex.
Man Machine Relationshipnya berbeda.
Dimasa lalu bagi tukang reparasi jam pinggir jalan semua merek jam dari Rolex, Omega, Titus, Rado ataupun Timex semua dianggap sama mekanisme roda giginya.
Jelimet kecil kecil tapi mudah diatasi dengan kaca pembesar dan obeng micro.
Semua masalah bersifat linier mudah ditelusuri meski jelimet dan Komplikated.
Para Maha Guru saya 45 tahun laiu mengajarkan bahwa untuk problem yang bersifat mekanis dan teknis urusan menyederhanakan masalah mudah ditemukan solusinya.
Simplicity menjadi orientasi dari para perancang alat erlatan utama hasil rekayasa insinyur. Karenanya tugas seorang insinyur adalah menemukan rancang bangun dan rekayasa proses serta produk yang mudah digunakan.
Adagium ini yang membuat Steve Jobs menjadi terkenal. Karena ia berhasil menciptakan Apple Watch, Ipad dan Iphone yang mudah digunakan para pelanggan.
Cukup dengan sentuhan jari, semua yang ada dalam fikiran dapat ditumpahkan kedalam dunia maya dan menjadi viral.
Tetapi dibalik Simplicity Steve Jobs, sebagai perancang perangkat keras bermerk Apple, ia melakukan apa yang disebut oleh Thomas Kuhn sebagai "Paradigm Shift" dalam proses rekayasa dan rancang bangun perangkat tilpon genggam dan komputer laptop. Ia merubah eko sistem, tatacara kerja , struktur mekanisme pemanfaatan teknologi bagi pelanggan.
Ia menciptakan icloud, sistem penyimpan yang terkoneksi secara virtual melalui dunia maya. Sehingga hard disk tidak diperlukan lagi. Sooftware menjadi dominan, masalah complicated dengan mekanisme dan mata rantai persoalan kasat mata dan bersifat linier berubah menjadi sistem yang kompleks dan intangible.
Diperlukan keahlian manusia bersumber daya iptek yang berbeda tingkat penguasaan teknologinya.
Resep penggunaan komputer yang saya kuasai di zaman main frame dengan IBM 4341 atau Vax dan Sun, tidak lagi berguna. Harus dimodernisasi dan dirveitalisasi.
Begitu juga dengan model tata kelola industri Dirgantara dan Industri Maskapai Penerbangan.
Kebetulan saya memiliki pengalaman dicemplungkan oleh Prof B J Habibie ke pelbagai industri manufaktur pesawat terbang di dunia dari tahun 1982 hingga 1989, sebelum dipercaya menjadi asisten utama beliau dalam merancang pesawat terbang N250 dan kemudian diserahkan tanggung jawab untuk melakukan restrukturisasi IPTN tahun 1998 hingga 2001.
Industri Manufaktur Pesawat Terbang Dan Maskapai Penerbangan kebetulan termasuk jajaran industri yang padat modal dan padat teknologi.
Setiap problem yang muncul memiliki mata rantai yang kompleks dan sekaligus complicated.
Ada mata rantai nilai tambah dan mata rantai pasokan dalam setiap proses produksinya dan ada juga mata rantai roda gigi yang jelimet dalam setiap jutaan elemen produk pesawat terbangnya.
Menggampangkan persoalan dan menyepelekan masalah akan membawa kita pada problem lain yang lebih besar.
Lorentz menyebutnya sebagai persoalan ribuan kepakan sayap kupu kupu di hutan amazon.
Yang saling beresonansi untuk melahirkan badai tornado di Mobile Alabama Amerika Timur.
Persoalan Garuda Indonesia yang muncul tahun 1998 tidaklah identik dengan persoalan yang muncul tahun 2000-2001, dan juga tidak sama sebangun dengan persoalan yang timbul tahun 2004-2009 atau juga tahun 2014-2019.
Tiap phase memiliki complexity yang berbeda. Tak memiliki obat dan resep yang sama jenisnya. Obat masa lalu tidak dapat diputar kembali resepnya.
Pengalaman masa lalu tidak otomatis dapat menjadi jaminan akan kesuksesan dimasa kini. Karenanya para Guru Besar 45 tahun di ITB selalu mewanti wanti agar generasi saya selalu tidak boleh berhenti belajar.
Learn to Unlearn, dan harus memiliki kepercayaan bahwa generasi masa kini pasti jauh lebih baik dari generasi masa lalu.
Coba kita telusuri contoh berikut ini :
Sebelum tahun 1998 tidak ada kebijakan deregulasi di Indonesia. Ketika Prof BJ Habibie menjadi Presiden ketiga, program deregulasi penerbangan diterapkan.
Muncul maskapai penerbangan berbiaya murah, yang kemudian berlomba menggunakan pesawat tua hasil sewa untuk membuat semua orang mudah terbang. Ongkos pesawat dari Jakarta surabaya jauh lebih murah dibanding ticket kereta api dan bis malam.
Perlombaan bantiung harga yang kemudian melahirkan masalah "Keselamatan Penerbangan".
Sebelum krisis 1998 Garuda Indonesia dapat bersifat monopli dan menjadi pemain dominan. Tetapi setelah 1998, maskapai penerbangan muncul lebih 40 buah , saling bersaing menggerogoti pasar yang tumbuh double digit.
Perang harga, banting ticket murah agar tiap rute pesata terisi penuh, boleh jadi Bagus untuk Pelanggan.
Akan tetapi Ticket murah tanpa batas bawah penyangga biaya Aviation Safety , melahirkan banyak accident.
Harga ticket terlalu murah menurunkan margin dan biaya operasi ketitik terendah. Terjadi kreativitas tidak pada tempatnya. Pesawat tua dioperasikan, tanpa perawatan. Bogust part atau komponen recycle tak bersertifikat di jadikan suku cadang. Log book keluhan pilot tak diacuhkan.
Semua benih kecelakaan tertidur dalam sistem.
Puncak kecelakaan pesawat di Indonesia muncul tahun 2006. Sehingga Presiden SBY membentuk Tim Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi atau EKKT dibawah kepeimpinan Marsekal Chappy Hakim .
Hal sama pada tahun 1978 tejadi di Amerika. Pada 78 di Amerika juga lahir program deregulasi oleh ahli eknonomi yang menjadi Menteri Transportasi bernama Kahn. Yang menjadikan "south west airline" sebagai model bisnis Low Cost Carrier. Dan kemudian lahir banyak maskapai penerbangan LCC. Termasuk Value Jet Airline yang secara ugal ugalan menurunkan harga ticket pada titik terendah dan melupakan biaya perawatan pesawat dan program safety.
Tahun 90 an ketika Presiden Clinton jadi Presiden, maskapai penerbangan dengan harga ticket dibawah seratus dollar untuk semua jurusan , Value Jet ini mengalami kecelakaan dahsyat di California dan Clinton membentuk Tim Penyelidik akar masalah.
Dengan kata lain saya ingin memperlihatkan bahwa perubahan model bisnis untuk menjadi efisien dengan menurunkan biaya operasi dan memotong mata rantai organisasi ini dan itu tidaklah mudah dalam maskapai penerbangan.
Airline Business fondasinya adalah Safety and Security. Padat Regulasi yang selalu menjadi batas gerak maju dan envelope ruang maneuver tata kelola. Tidak mungkin ada program "cost cutting" ugal ugalan yang dapat mengancam keselamatan penumpang. Airline business miip seperti bisnis tukang cukur, pisau pembersih jenggot tak mungkin di putar putar seenaknya sehingga menyayat pipi dan leher Pelanggan.
Diperlukan keahlian dan pengalaman sebagai engineer pesawat terbang untuk menempatkan program efisiensi biaya operasi dalam ruang maneuver yang dibatasi Faktor Aviation Safety yang berubah sepanjang waktu.
Maskapai penerbangan yang hidup sebelum tahun 2001 tentu memiliki model tata kelola safety berbeda dengan maskapai penerbangan yang tumbuh setelah peristiwa 11 September 2001 terjadi di Amerika.
Ketika teroris berhasil membajak pesawat canggih jenis Boeing 767 dan menggunakannya sebagai bom udara karena pesawat dengan tangki penuh dapat ditabrakkan ke Twin Tower World Trade Center, banyak ahli pesawat terbang melihat bahaya lain yang muncul dari tata kelola bandara dan seleksi penumpang maskapai penerbangan yang sembrono dan anggap remeh.
Sejak 2001, di seluruh dunia ICAO telah menerbitkan panduang aturan bakur tentang standard Aviation safety yang semakin meningkat.
Misal Cockpit yang dilindungi pintu tidak tembus peluru dan terkunci dari dalam.
Selain itu maskapai penerbangan juga tidak dapat mengabaikan aturan Transportation Security, dimana jam menuju ke bandara perlu disesuaikan dengan ketentuan untuk meliwati pelbagai pemeriksanaan KTP, dompet, sepatu, ikat pinggang dan juga laptop serta power bank.
Model operasi pesawat terbang kini memiliki evolusi dan tidak sama sebangun seperti tahun 2000-2001.
Solusi restrukturisasi yang sukses dimasa tahun 1998 hingga 2001 mungkin sudah kadaluarsa untuk dijadikan referensi. Apalagi kemudian dibanggakan sebagai satu satunya solusi ces pleng. Perlu ada inovasi.
Regulasi yang mengatur tingkat Airport Security setelah peritiwa bom yang menghantui dunia Penerbangan, juga menyebabkan terjadinya perubahan lay out dan modernisasi infrastruktur airport. Diperlukan perimeter pembatas ruang naik turun penumpang yang diikuti oleh proses segregasi penumpang berticket dengan pengantarnya.
Barang berbahaya dan tidak. Akibatnya airport modern selalu berskala Besar dan Luas, seperti Terminal 3 Soetta dan juga Changi serta bandara baru di Sanghai yang kini memiliki 100 garbarata. Luas stap Sukarno Hatta Terminal 3 saja misalnya 2,5 hektar, panjang jalan 1,5 kilometer dan lebarnya 500 meter kurang lebih.
Fitur yang menyebabkan penumpang menggerutu karena capek berjalan.
Akibatnya Maskapai penerbangan perlu menyesuaikan pola manajemen operasinya agar delay dapat ditekan ketitik terendah.
Hambatan infrastruktur dan perubahan cuaca kini menjadi faktor yang berkontribusi dan disrupsi waktu tiba dan waktu berangkat di tiap rute. Dan itu berarti peningkatan biaya operasi "ground support".
Begitu juga sebelum tahun 2001 harga avtur masih memiliki kontribusi 10 % dalam biaya operasi. Sejak 2002 hingga 2008 harga avtur meroket dan bergerak dalam dinamika yang berbeda, terjadi fluktuasi yang menyebabkan kontribusi nya pada biaya opersasi pesawat meningkat menjadi 4 kali lipat dibanding sebelum tahun 2001.
Dikenal istilah hedging yang memerlukan keahlian finansial manager yang berbeda pula.
Fenomena yang menyebabkan Maskapai Penerbangan harus merogoh kocek lebih dalam.
Fuel berharga mahal menyebabkan maskapai penerbangan masa kini tidak boleh lagi bergantung pada pesawat pesawat tua berusia diatas 11 tahun. Pesawat generasi dibawah tahun 90 an, memiliki engine yang boros bahan bakar dan rawan tingkat safety nya. Diperlukan investasi Peremajaan dan Modernisasi pesawat sepanjang perjalanan hidup Airline. Perlu ada pola biaya CAPEX persatuan waktu.
Tidak mungkin kemudian terus ada larangan jangan beli pesawat baru. Hemat saja dengan yang ada. Pendekatan bisnis oplet Stasiun KA ke arah Dago di Bandung yang terus tumbuh dengan mobil tua yang dirawat dengan apik, boleh saja jadi pilihan srategi efisiensi.
Tapi pertanyaannya apa kompetitif dan tidak mengancam safety ?
Karenanya resep yang Garuda Indonesia untuk berinventasi dan melakukan Langkah Peremajaan dan Modernisasi armada pesawatnya di tahun 2009-2014 dalam program Quantum Leap disatu sisi sangat lah diperlukan.
Ketika phase Quantum Leap tersebut orientasinya jelas untuk Peningkatan Safety dan Efisiensi bahan bakar. Tapi disisi lain membuat generasi berikutnya dari Direksi perlu kerja jauh lebih keras.
Karena tingkat pengelolaan 60 pesawat terbang tentu berbeda dengan tingkat kerumitan operasi mengelola 202 pesawat baru. Apalagi kini BOD diwarisi oleh 4 jenis tipe pesawat berbeda. Long Haul, Medium Haul, Feeder atau commuter dan Hub by pass seperti yang dimiliki saat ini. Yang meningkatkan biaya perawatan dan tambahan crew dengen skill set berbeda.
Jika kita terlalu terpukau dengan teori potong sana potong sini, hentikan itu , stop sana stop sini hantam kromo dengan menyederhanakan problem tentu ada baiknya. Tapi apa itu langkah yang cerdas ?
Dalam Bisnis padat teknologi dan padat modal diperlukan Keahlian dan Wiisdom. Sikap putus asa melihat jurang menganga akibat gap Revenu dan Biaya biaya yang tercatat dalam neraca tiap tahun dengan langkah drastis menganjurkan manajemen untuk menyudahi segala langkah sistimatis dan terstruktur dalam skala 3-5 tahunan , dan mengganti nya sudahlah mengapa repot repot, jual saja pesawat yang banyak itu kalau tak mampu mengurusnya, disatu sisi kelihatan nya hebat dan cespleng.
Akan tetapi pengurangan armada, penutupan rute rute, menutup kantor seperti yang dilakukan dimmas krisis ekonomi 98 - 2001, pastilah akan membuat maskapai penerbangan akan "terkurung" dan terbonsai mengkerut. Yang kecil pasti kalah dimakan yang besar.
Lihat saja Singapore Airline. Kini ia memiliki dua DNA Bisnis. Premium Class yakni Singapore Airline dan Low Cost Carrier yakni Scout dan Tiger. Itu dilakukan dalam rangka memenangkan persaingan regional maupun global.
Jadi heran juga kalau di Garuda pendekatan memiliki Premium Class yakni Garuda Indonesia International, Garuda Indonesia Domestik dalam satu model DNA dan Citilink sebagai DNA LCC dikecam dan disebut tidak jelas arah strateginya.
Pendekatan hibrida tidaklah jelek. Konvergensi kini jadi model strategi juga.
Jangan dilupakan program Restrukturisasi maskapai penerbangan tidaklah berada diruangan vacum, kedap dan terisolasi dari ancaman penggerogotan Revenue dan marker dari para predator dan pesaing.
Disekitar Jakarta, Kualanamu, Denpasar, Makasar dan Sorong banyak maskapai penerbangan yang siap megarungi rute domestik Indonesia. Seperti Scout anak perusahaan Singapore Airline, Air Asia dan Malaysia, Thai Airways, Qatar, Emirate dan Etihaad.
Apalagi South China Airline kini telah memiliki pesawat terbang berjumlah 500 buah dan siap mengepakkan sayapnya mengisi rute rute internasional, yang direkomendasikan oleh banyak kalangan agar ditinggal saja oleh Garuda.
Begitu juga ada model bisnis hasil merger Delta Airline yang kini memiliki 1000 pesawat terbang dan telah mengakuisisi refinery avtur untuk mengontrol harga bahan bakar sebagai bentuk efisiensi biaya operasi.
Singa, Naga dan buaya didepan pintu gerbang langit Indonesia tentu perlu diantisipasi.
Azas Cabotage perlu dilindungi.
Bendera Merah putih.harus tetap berkibar di bandara domestik maupun internasional melalui kehadiran flag carrier.
Mohon Maaf Jika ada yang keliru dalam tulisan ini.
Salam
Comments
Post a Comment