Skip to main content

Infrastruktur Manusia Indonesia


https://www.facebook.com/PFG01/posts/1962660593817190

Seperti yang saya janjikan ini tulisan saya mengenai apa yang saya tangkap dari pembicaraan saya dengan pak Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim.
Petang lalu (27/11/2018) saya berkesempatan berbincang dengan LBP, panggilan akrab Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Perbicangan yang berlangsung dalam perjalanan singkat dari kantornya menuju stasiun TvOne untuk sebuah acara talkshow. Namun perbincangan itu begitu menggetarkan nurani saya, sehingga perlu saya sampaikan segera kepada Anda semua.
Presiden Jokowi segera menerapkan “Shifting Strategy”, menggunakan terminologi pakar manajemen tersohor Rhenald Kasali, pergeseran kebijakan pembangunan Indonesia.
Perbincangan bermula ketika kami mengungkap ekspor Indonesia yang tak kunjung mendukung neraca perdagangan ke angka neraca pembayaran yang positip. Ia pun mengakui industri pariwisata kita belum dapat memberi pendapatan devisa memadai. Padahal itu diperlukan untuk menutup neraca pembayaran yang makin membengkak. Yang memprihatinkan, ekspor barang Indonesia kini tak dapat diandalkan, karena mayoritas barang ekspor Indonesia adalah hasil kekayaan alam seperti tembaga, minyak bumi dan gas alam, maupun hasil pertanian seperti kelapa sawit, karet, dan kopi harganya yaterus menurun di pasar internasional. Alih-alih terus meningkatnya impor BBM, lifting (produksi) minyak mentah kita terus menurun. Pada waktu yang sama, kebutuhan bahan pangan seperti beras dan gandum belum dapat dicukupi sepenuhnya dari dalam negeri alias masih harus diimpor dalam jumlah yang semakin menggila. Ditambah nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar AS cenderung menurun drastis. Lengkap sudah kesulitan yang dihadapi bangsa ini.
“Apa yang dilakukan Pemerintah mengatasi kesulitan berlipat-lipat ini?” saya bertanya.
LBP bercerita bahwa praktis produk Indonesia tidak mempunyai nilai yang dapat diandalkan dan diharapkan konsumen pasar dunia. Bagaimana Indonesia dapat bersaing dengan barang dari Cina, Korea, dan Jepang, kalau yang diekspor hanya produk seperti INDOMIE, TOLAK ANGIN atau bahkan KOPIKO? Mengapa barang produksi Indonesia tidak mempunyai muatan teknologi sama sekali di pasaran dunia? “Alih-alih kita mendapat bonus demografi malah yang didapat petaka demografi ! “ ujarnya.
Saya tanya lebih jauh. Mengapa?
“Karena sistem pendidikan kita selama dua generasi (2 X 25 tahun) itu miskin akan pendidikan sains dan teknologi,”jawabnya,”Kita menghasilkan lebih banyak ahli di bidang ilmu sosial yang justru terus-menerus menabrak hukum kita.”
Terus saya tanya lagi; “siapa yang salah?”
“Semua yang tidak memperhatikan pembangunan Infrastruktur manusia Indonesia selama 50 tahun ini!” Jawab LBP geram.
Saya tertegun. Saya teringat kisah bagaimana bangsa Korea bisa maju seperti ini. Pada tahun 1969 orang Korea masih saling bertanya: “Apakah anda sudah makan nasi hari ini?” Namun pada tahun tersebut Presiden Park Chung Hee membuat ikrar bersama rakyatnya. Tekadnya bahwa segenap elemen bangsa Korea akan bekerja sekuat tenaga mendidik dan mempersiapkan generasi mendatang yang mampu memenangi perubahan jaman. Hasilnya? Sekarang kita melihat bahwa IKRAR tersebut membuahkan hasil.
“Setelah pemerintah selama 4 tahun jor-jor-an membangun Infrastruktur fisik yang sangat diperlukan di negeri kita,” ucapan LBP mengalihkan ingatan saya,” pada tahun-tahun mendatang Presiden Joko Widodo, apa bila terpilih kembali, akan mengenjot pembangunan INFRASTRUKTUR MANUSIA Indonesia.” Lebih lanjut dijelaskan LBP bahwa Presiden Jokowi bertekad mengirim sebanyak mungkin kaum muda Indonesia ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan di bidang sains dan teknologi. Presiden telah menginstruksikan menteri keuangan untuk mempersiapkan semua itu.Bukan mengirim ribuan atau puluhan ribu tapi ratusan ribu bahkan jutaan anak muda yang mau dikirim keluar negeri.
Yang menarik, Presiden Jokowi juga menghendaki agar mereka yang dikirim sekolah bukan hanya yang pintar-pintar tetapi juga yang kurang pintar. “Masa anak yang kurang pintar tidak boleh mendapat beasiswa, kapan pintarnya?” kata Presiden dengan kesal, seperti dituturkan LBP.
Masa kita cuman bisa bangun gedung, jembatan dan jalan, Bikin jalanan kereta api atau MRT saja harus dibangun orang asing. Teknologi farmasi dan kedokteran saja kita impor semua, Terus saya tanya siapa yang salah. LBP dengan geram menjawab: “Semua yang tidak memperhatikan pembangunan Infrastruktur manusia Indonesia selama 50 tahun ini!”
Pendek kata, ke depan penggunaan mayoritas anggaran negara akan dipindahkan dari pembangunan infrastruktur fisik kepada pembangunan infrastruktur manusia Indonesia yang berkualitas! Meski ini akan memakan waktu hingga 2 generasi, seperti Korea, kita tidak lagi dapat menunggu. Siapa pun Presiden RI untuk 50 tahun mendatang harus fokus membangun Infrastruktur Manusia Indonesia. Inilah Shifting Strategy yang akan mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri bangsanya.
Kita tidak mau mengumbar janji2 yang Tidak masuk akal tapi hanya yang rieel yang bisa dicapai kata LBP.
SEMOGA INFRASTURKUR MANUSIA INDONESIA DAPAT DIBANGUN 50 TAHUN MENDATANG INI!!!
Meski saya, yang sudah usur, tidak akan mengalami nya!

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong.

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write the program state and capture the external inputs from the G