CATATAN AKHIR 2019 - AWAL 2020
GEOLOGI CALON IBU KOTA NEGARA DI SEPAKU, KALIMANTAN TIMUR
: AIR TANAH & GEO-HAZARDNYA
Sumber: https://www.facebook.com/andang.bachtiar/posts/10217438537967985
Tanggal 23 Desember yang lalu, begitu menonton video ( https://youtu.be/_SzO0j9gLhQ ) yg menggambarkan ttg berbagai rencana kondisi Ibu Kota Negara baru kita nantinya, pertama kali yg terlontar dari benak saya:
“Ati2.... Susah air di calon lokasi Ibukota Negara!”
Selain itu ada beberapa aspek geoteknik dan kebencanaan yang musti lebih diperdalam informasi dan data dasarnya. Hal ini diperlukan supaya perencanaannya tidak sembarangan dan bisa lebih menyeluruh, termasuk mempertimbangkan aspek-aspek geologi bawah permukaan, baik yang dangkal maupun yang dalam; bukan hanya sekedar menggambarkan disain yang indah-indah di atas peta topografi, morfologi dan tutupan muka bumi belaka.
Dengan demikian nantinya tidak akan ada penyesalan atas membengkaknya biaya operasional kehidupan sehari-hari bernegara di sana karena harus terus menerus menangulangi “bencana” yg diakibatkan kondisi lokal geologi yang tidak diantispasi / dimitigasi sebelumnya, karena kurang-pahamnya para perencana (dan penyelenggara negara) atas kondisi bawah permukaan tersebut.
Untuk itu saya coba bongkar file-file penelitian lama saya, dan akhirnya dengan dibantu Purnama Suandhi dan Iban Getarjati, saya coba rangkai beberapa fakta dan analisa.
Dimulai dengan Gambar-1 yang memperlihatkan Peta DEM dioverlay dengan kawasan IKN yang ada 3 kriteria. Kemudian langsung kita menukik ke masalah utamanya: air tanah!!
𝟭. 𝙇𝙚𝙢𝙥𝙪𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙩𝙪𝙨-𝙧𝙖𝙩𝙪𝙨 𝙢𝙚𝙩𝙚𝙧 𝙙𝙞 𝙗𝙖𝙬𝙖𝙝 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝, 𝙖𝙞𝙧𝙣𝙮𝙖 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙞 𝙡𝙚𝙣𝙨𝙖-𝙡𝙚𝙣𝙨𝙖 𝙥𝙖𝙨𝙞𝙧 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢
Untuk urusan air tanah ini, siapapun bisa bertanya ke mereka yang pernah berkegiatan di area Sepaku dan sekitarnya, betapa susahnya mendapatkan air tanah baku di daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh kondisi hidrogeologi yang pada umumnya terkait dengan kondisi permukaan daerah tersebut yang disusun oleh batuan sedimen lempung endapan laut berumur dari 23-33 juta tahun yang lalu (N6, N5, N4 – Zonasi Blow: Miosen Awal). Peta geologi pemerintah menyebutkan lempung itu sebagai Formasi Pamaluan. Di dalam lempung tidak mungkin didapatkan air tanah, kecuali lempung yang retak-retak; itupun sangat minim. Air tanah kemungkinan didapatkan di lapisan-lapisan pasir dan atau batu-gamping yang berongga. Nah, di Formasi Pamaluan itu pasir hanya terdapat berupa lensa-lensa tebal max 10 meter luas 5-10 km2, dan jarang terhubung satu dengan lainnya dr permukaan ke bawah permukaan.
Korelasi sumur-sumur bor migas TENGIN-BELONAK-TUYU (Gambar-2) menggambarkan betapa minimnya keberadaan batupasir di bawah permukaan bumi di Formasi Pamaluan (N6-N4) sampai di Formasi Tuyu (N3-P16) itu. Kawasan inti Ibu Kota Negara kita di daerah Sepaku, jelas-jelas tidak punya daya dukung mencukupi untuk air tanahnya.
Bagaimana dengan potensi air tanah di kawasan penyangganya? Sama saja! Mari kita tengok agak sedikit keluar dari daerah Sepaku, yaitu daerah yang nantinya masih termasuk kawasan IKN yang 42rb hektar itu. Saat ini saja daya dukung air tanah - regionalnya tdk bisa / tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara. PDAM harus bikin bendungan-bendungan dan embung yg kondisi recharge airnya juga tergantung musim - kalau kemarau seringkali –insyallah - tidak mencukupi.
Sejak awal 80an - pertama kali saya tinggal dan bekerja di area Balikpapan – Penajam – Sepaku – Samboja, sampai menjelang 2020, dimana meskipun sudah lama tidak tinggal di sana lagi tapi saya masih sering mondar-mandir riset dan ngajar di daerah tersebut bertahun-tahun, kecukupan air baku untuk kehidupan sehari-hari ini masih jadi masalah. Truk tangki jualan air hilir mudik di kota Balikpapan merupakan pemandangan yang biasa kita jumpai sampai hari ini.
Perlu rekayasa khusus penyediaan air baku (baik dr rekayasa air permukaan, maupun dari air bawah tanah DARI DAERAH LAIN YANG BERDEKATAN) untuk bisa meningkatkan daya dukung lingkungan bagi jumlah penduduk dan kegiatan yg akan meningkat 10-15 kali lipat di calon ibukota negara ini.
𝟮. 𝙋𝙚𝙩𝙖 𝙜𝙚𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞 (𝙙𝙖𝙣 𝙝𝙞𝙙𝙧𝙤𝙜𝙚𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞 𝙙𝙖𝙣 𝙜𝙚𝙡𝙤𝙜𝙞 𝙩𝙚𝙠𝙣𝙞𝙠) 𝙥𝙚𝙢𝙚𝙧𝙞𝙣𝙩𝙖𝙝 𝙥𝙚𝙧𝙡𝙪 𝙙𝙞𝙢𝙪𝙩𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙡𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙙𝙞𝙙𝙚𝙩𝙖𝙞𝙡𝙠𝙖𝙣
Penelitian doktoral saya dulu memakai data geologi lapangan 1:10rb, data lubang tembak seismic dan data seismiknya sendiri, dan juga data sumur pemboran dalam yang 70-80% akuisisinya di daerah kawasan calon ibu kota negara, yang luas arealnya konon 40.000 hektare itu (Gambar 3). Saya memanfaatkan akuisisi data geologi dengan peta dasar skala 1:10rb yang dilaksanakan oleh perusahaan minyak VICO Indonesia (sekarang jadi PHSS), yang proyek pemetaan-nya dilakukan bertahap, bersamaan dengan proyek akuisisi data seismic 2D Regional dan 3D local dari tahun 1991 sampai dengan 1998.
Sebagai perbandingan, peta geologi yang dibuat oleh pemerintah (lembar Samarinda dan lembar Balikpapan), keduanya berskala 1:250.000 dan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan peta dasar 1:25rb. Dari segi keterincian, tentunya sangat berbeda hasilnya, seperti terlihat di Gambar 4.
Khusus untuk kawasan inti pusat pemerintahan yang luasnya 5644 hektare , data geologi resmi pemerintah tidak terlalu banyak tersedia karena “tertutup”nya daerah itu sejak tahun 1980-an karena ekslusif dipakai untuk kegiatan HPH. Meskipun demikian saya berhasil menggabungkan data seismik yang jarang dengan pengamatan langsung di lapangan (sampai tahun 2012) yang akhirnya menghasilkan resume Blok 3 Dimensi seperti terlihat di Gambar 5 dan 6.
Di diagram 3 dimensi tersebut terlihat bahwa daerah kawasan inti pusat pemerintahan dipotong-potong oleh patahan-patahan naik berarah Timurlaut-Baratdaya yang dalam analisis tektono-sedimentasinya terbentuk di awal pengendapannya sebagai patahan ANJAK-KAKI (toe-thrust fault) di daerah lereng paparan menuju laut dalam. Patahan ini kemudian mengalami reaktifasi Plio-Pleistocene 5 juta thn yang lalu, dimana dia mula terangkat ke permukaan bumi sampai sekarang. Patahan-patahan ini adalah lokasi-lokasi rawan longsor yang harus dipertimbangkan daya dukung-nya terhadap pondasi apabila hendak membangun bangunan – apalagi bertingkat – di daerah tersebut.
𝟯. 𝙇𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙢𝙖𝙝𝙖𝙡???
Dengan adanya batasan-batasan (constraint) geologi yang sebagian dipaparkan di atas, apakah terus jadi lebih mahal lagi biaya untuk membangun IKN baru ini? Mungkin saja ....
Yg jelas: kondisi yg digambarkan arsitek / perencana ibu kota baru itu dengan limpahan air dimana-mana dan hutan yg asri masih asli dan sungai yg mengalir permanen itu secara alamiahnya tidak ada di lokasi calon ibukota negara di Kabupaten PPU dan KuKar itu. Sungainya yang besar-besar pada umunya sungai pasang surut, bukan sungai permanen. Beberapa sungai kecil di bagian barat kawasan inti pusat pemerintahan mungkin masih berupa sungai “remaja” sampai “dewasa” dan masih tawar airnya, tetapi apakah cukup dibendung untuk kebutuhan 1,5 – 2 juta jiwa penduduk Ibu Kota Negara nantinya, musti benar-benar dihitung mass-balance-nya.
Tidak ada danau alamiah dan muka air tanahnya dalam banget, atau malah tidak ada sama-sekali air tanahnya seperti disebutkan di paragraph awal tulisan ini. Air tanah yang cukup melimpah dijumpai di sepanjang sabuk pinggir pantai dr Bontang - Barat Muara Badak - Lampake - Kutai Lama - Handil - Timur Mutiara – Samboja.Tetapi di sebelah barat sabuk itu (yaitu notabene adalah kawasan IKN): air tanahnya susah, dalamnya sampai ratusan meter, kwantitas dan kwaitasnya terbatas.
Hutannyapun skrg gundul dan kalaupun ada sdh jadi HTI (bukan hutan primer), dan banyak tanah longsor karena jenis batuannya endapan laut dalam yang mudah mengembang (Gambar 7 dan 8) dan patahan2 geologi saling menyilang.
Selain itu banyak juga terdapt lapisan batubara dangkal yg mudah sekali terbakar, terutama di kawasan perluasan Ibu Kota di sepanjang area Bukit Suharto. Hal ini akan jadi faktor penghambat yg harus diatasi dengan rekayasa geoteknik tertentu yg kalau tdk serius perencanaan dan implementasinya bisa bikin runyam kondisi kebencanaannya. Meskipun lokasinya di kawasan perluasan, tetapi efek kebakarannya sudah pasti akan mempengaruhi gerak langkah kehidupan sehari-hari di kawasan pusat pemerintahan ibukota yang hanya berjarak 10-20 km dari lokasi terdekat batubara terbakar tersebut. Pengurangan resiko dengan dari awal mematikan potensi batubara terbakar ini juga akan jadi bagian “biaya” membangun IKN yang tidak murah.
Sebenarnya, kondisi bumi yg bagaimanapun kompleksnya, kalau kita benar2 memahaminya : insyaallah bisa direkayasa manusia untuk kepentingan keselamatan dan kenyamanan hidupnya. Masalahnya: biayanya berapa? Dan terlebih lagi: seringkali informasi dan pemahaman tentang kondisi bawah permukaan buminya sendiri tidak dimiliki oleh para perencana permukaan. Kemungkinan besar para perencana tata ruang serba indah masa depan yg menang2 sayembara itu juga belum memasukkan pertimbangan daya dukung dan geohazardnya.
𝟰. 𝙎𝙀𝘾𝙀𝙋𝘼𝙏𝙉𝙔𝘼
Lembaga2 pemerintah yg seharusnya memiliki data dan informasi itu : mustinya lantang menyuarakan pentingnya pengayaan dan pendalaman informasi data kebumiannya, karena produk2 yg mereka ajukan skrg ini untuk dijadikan dasar perencanaan hanya produk2 peta/informasi yg normatif dan “dangkal” dan terlalu regional, paling mutakhir data geologinya 1995 (peta geologi terakhir yg dibikin disana), dan skalanya 250rb.
Bappenas musti terus berhati-hati dan tidak gegabah dengan proses lanjut perencanaan ini, musti sedikit “ngalah” dg pemutakhiran data dasar geologinya dulu baru lanjut dg perencanaan disain dsb ..... TAPI HARUS DILAKUKAN KILAT CEPAT DAN EFISIEN kalau mau diselesaikan perencanaan nya sepanjang periode kedua Jokowi ini.
Terakhir malahan saya baca informasi bahwa perencanaan detail akan dilakukan segera di 2020, dan diharapkan selesai pertengahan – akhir 2020. Mohon jangan grusa-grusu, ingat jalan-jalan tol yang kebanjiran, ingat juga dulu Tol Cipularang yang jembatan-jembatan besarnya musti direparasi karena patahan-patahan dan longsoran-longsoran yang baru ketahuan setelah “bencana” terjadi. Padahal kalau dari awal informasi geologi bawah permukaan yang nggeunah (proper) juga dijadikan rujukan disain dan konstruksi, mestinya hal2 tersebut bisa dihindari.
Cukup sudah grusa-grusunya. Mari kita lebih serius bekerja untuk kepentingan jangka panjang. Atau jangan-jangan ini hanya untuk kepentingan jangka pendek saja? Mudah2an bukan begitu adanya.
Salam
ADB – Geologist Merdeka!!!
Pertama kali ditulis 23 Desember 2019
Disempurnakan 31 Desember 2019; 21H00
Menjelang malam tahun baru 2020 di Paris:
Gambar-1 Peta DEM dioverlay dengan kawasan IKN yang punya 3 kriteria: Kawasan Inti Pusat Pemeritahan 5644 hectare, Kawasan IKN 42000 hectare, dan Kawasan Perluasan IKN 180965 hectare
Gambar 2. Korelasi sumur-sumur Tengin _ Belonak _ Tuyu memperlihatkan dominasi lapisan lempung di permukaan dan bawah permukaan daerah Ibu Kota Negara yang baru; implikasinya: potensi air tanahnya: sangat minimal.
Gambar 3. Peta dasar data seismik dan sumur di area sekitar IKN yang juga memperlihatkan blok-blok migas beserta kerapatan data sumurnya. Pada gilirannya nanti, kita perlu juga untuk menampalkan data rembesan migas dan prospek-prospek migas di daerah sekitar IKN untuk kepentingan mitigasi hazardnya.
Gambar 4. Perbandingan antara peta geologi resmi pemerintah (1994-1995) dengan peta hasil penelitian (2004). Terlihat peta hasil penelitian menampilkan data struktur (patahan, antiklin) dan fasies dan umur yang lebih detail.
Gambar 5. Diagram 3 Dimensi dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan ditampilkan dengan menggunakan data DEM (perhatikan kelurusan-kelurusan patahan dengan batas-batas morfologi).
Gambar 6. Diagram 3 Dimensi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan ditampilkan dengan menggunakan data peta fasies, form line kontur struktur, dan patahan-patahan. (Perhatikan pada umumnya lokasi IKN didominasi oleh endapan laut dalam dan patahan-patahan yang merupakan patahan anjak kaki/toe thrust fault).
Gambar 7. Contoh foto lapangan singkapan lempung laut dalam di utara daerah ibukota negara IKN.
GEOLOGI CALON IBU KOTA NEGARA DI SEPAKU, KALIMANTAN TIMUR
: AIR TANAH & GEO-HAZARDNYA
Sumber: https://www.facebook.com/andang.bachtiar/posts/10217438537967985
Tanggal 23 Desember yang lalu, begitu menonton video ( https://youtu.be/_SzO0j9gLhQ ) yg menggambarkan ttg berbagai rencana kondisi Ibu Kota Negara baru kita nantinya, pertama kali yg terlontar dari benak saya:
“Ati2.... Susah air di calon lokasi Ibukota Negara!”
Selain itu ada beberapa aspek geoteknik dan kebencanaan yang musti lebih diperdalam informasi dan data dasarnya. Hal ini diperlukan supaya perencanaannya tidak sembarangan dan bisa lebih menyeluruh, termasuk mempertimbangkan aspek-aspek geologi bawah permukaan, baik yang dangkal maupun yang dalam; bukan hanya sekedar menggambarkan disain yang indah-indah di atas peta topografi, morfologi dan tutupan muka bumi belaka.
Dengan demikian nantinya tidak akan ada penyesalan atas membengkaknya biaya operasional kehidupan sehari-hari bernegara di sana karena harus terus menerus menangulangi “bencana” yg diakibatkan kondisi lokal geologi yang tidak diantispasi / dimitigasi sebelumnya, karena kurang-pahamnya para perencana (dan penyelenggara negara) atas kondisi bawah permukaan tersebut.
Untuk itu saya coba bongkar file-file penelitian lama saya, dan akhirnya dengan dibantu Purnama Suandhi dan Iban Getarjati, saya coba rangkai beberapa fakta dan analisa.
Dimulai dengan Gambar-1 yang memperlihatkan Peta DEM dioverlay dengan kawasan IKN yang ada 3 kriteria. Kemudian langsung kita menukik ke masalah utamanya: air tanah!!
𝟭. 𝙇𝙚𝙢𝙥𝙪𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙩𝙪𝙨-𝙧𝙖𝙩𝙪𝙨 𝙢𝙚𝙩𝙚𝙧 𝙙𝙞 𝙗𝙖𝙬𝙖𝙝 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝, 𝙖𝙞𝙧𝙣𝙮𝙖 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙞 𝙡𝙚𝙣𝙨𝙖-𝙡𝙚𝙣𝙨𝙖 𝙥𝙖𝙨𝙞𝙧 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢
Untuk urusan air tanah ini, siapapun bisa bertanya ke mereka yang pernah berkegiatan di area Sepaku dan sekitarnya, betapa susahnya mendapatkan air tanah baku di daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh kondisi hidrogeologi yang pada umumnya terkait dengan kondisi permukaan daerah tersebut yang disusun oleh batuan sedimen lempung endapan laut berumur dari 23-33 juta tahun yang lalu (N6, N5, N4 – Zonasi Blow: Miosen Awal). Peta geologi pemerintah menyebutkan lempung itu sebagai Formasi Pamaluan. Di dalam lempung tidak mungkin didapatkan air tanah, kecuali lempung yang retak-retak; itupun sangat minim. Air tanah kemungkinan didapatkan di lapisan-lapisan pasir dan atau batu-gamping yang berongga. Nah, di Formasi Pamaluan itu pasir hanya terdapat berupa lensa-lensa tebal max 10 meter luas 5-10 km2, dan jarang terhubung satu dengan lainnya dr permukaan ke bawah permukaan.
Korelasi sumur-sumur bor migas TENGIN-BELONAK-TUYU (Gambar-2) menggambarkan betapa minimnya keberadaan batupasir di bawah permukaan bumi di Formasi Pamaluan (N6-N4) sampai di Formasi Tuyu (N3-P16) itu. Kawasan inti Ibu Kota Negara kita di daerah Sepaku, jelas-jelas tidak punya daya dukung mencukupi untuk air tanahnya.
Bagaimana dengan potensi air tanah di kawasan penyangganya? Sama saja! Mari kita tengok agak sedikit keluar dari daerah Sepaku, yaitu daerah yang nantinya masih termasuk kawasan IKN yang 42rb hektar itu. Saat ini saja daya dukung air tanah - regionalnya tdk bisa / tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara. PDAM harus bikin bendungan-bendungan dan embung yg kondisi recharge airnya juga tergantung musim - kalau kemarau seringkali –insyallah - tidak mencukupi.
Sejak awal 80an - pertama kali saya tinggal dan bekerja di area Balikpapan – Penajam – Sepaku – Samboja, sampai menjelang 2020, dimana meskipun sudah lama tidak tinggal di sana lagi tapi saya masih sering mondar-mandir riset dan ngajar di daerah tersebut bertahun-tahun, kecukupan air baku untuk kehidupan sehari-hari ini masih jadi masalah. Truk tangki jualan air hilir mudik di kota Balikpapan merupakan pemandangan yang biasa kita jumpai sampai hari ini.
Perlu rekayasa khusus penyediaan air baku (baik dr rekayasa air permukaan, maupun dari air bawah tanah DARI DAERAH LAIN YANG BERDEKATAN) untuk bisa meningkatkan daya dukung lingkungan bagi jumlah penduduk dan kegiatan yg akan meningkat 10-15 kali lipat di calon ibukota negara ini.
𝟮. 𝙋𝙚𝙩𝙖 𝙜𝙚𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞 (𝙙𝙖𝙣 𝙝𝙞𝙙𝙧𝙤𝙜𝙚𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞 𝙙𝙖𝙣 𝙜𝙚𝙡𝙤𝙜𝙞 𝙩𝙚𝙠𝙣𝙞𝙠) 𝙥𝙚𝙢𝙚𝙧𝙞𝙣𝙩𝙖𝙝 𝙥𝙚𝙧𝙡𝙪 𝙙𝙞𝙢𝙪𝙩𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙡𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙙𝙞𝙙𝙚𝙩𝙖𝙞𝙡𝙠𝙖𝙣
Penelitian doktoral saya dulu memakai data geologi lapangan 1:10rb, data lubang tembak seismic dan data seismiknya sendiri, dan juga data sumur pemboran dalam yang 70-80% akuisisinya di daerah kawasan calon ibu kota negara, yang luas arealnya konon 40.000 hektare itu (Gambar 3). Saya memanfaatkan akuisisi data geologi dengan peta dasar skala 1:10rb yang dilaksanakan oleh perusahaan minyak VICO Indonesia (sekarang jadi PHSS), yang proyek pemetaan-nya dilakukan bertahap, bersamaan dengan proyek akuisisi data seismic 2D Regional dan 3D local dari tahun 1991 sampai dengan 1998.
Sebagai perbandingan, peta geologi yang dibuat oleh pemerintah (lembar Samarinda dan lembar Balikpapan), keduanya berskala 1:250.000 dan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan peta dasar 1:25rb. Dari segi keterincian, tentunya sangat berbeda hasilnya, seperti terlihat di Gambar 4.
Khusus untuk kawasan inti pusat pemerintahan yang luasnya 5644 hektare , data geologi resmi pemerintah tidak terlalu banyak tersedia karena “tertutup”nya daerah itu sejak tahun 1980-an karena ekslusif dipakai untuk kegiatan HPH. Meskipun demikian saya berhasil menggabungkan data seismik yang jarang dengan pengamatan langsung di lapangan (sampai tahun 2012) yang akhirnya menghasilkan resume Blok 3 Dimensi seperti terlihat di Gambar 5 dan 6.
Di diagram 3 dimensi tersebut terlihat bahwa daerah kawasan inti pusat pemerintahan dipotong-potong oleh patahan-patahan naik berarah Timurlaut-Baratdaya yang dalam analisis tektono-sedimentasinya terbentuk di awal pengendapannya sebagai patahan ANJAK-KAKI (toe-thrust fault) di daerah lereng paparan menuju laut dalam. Patahan ini kemudian mengalami reaktifasi Plio-Pleistocene 5 juta thn yang lalu, dimana dia mula terangkat ke permukaan bumi sampai sekarang. Patahan-patahan ini adalah lokasi-lokasi rawan longsor yang harus dipertimbangkan daya dukung-nya terhadap pondasi apabila hendak membangun bangunan – apalagi bertingkat – di daerah tersebut.
𝟯. 𝙇𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙢𝙖𝙝𝙖𝙡???
Dengan adanya batasan-batasan (constraint) geologi yang sebagian dipaparkan di atas, apakah terus jadi lebih mahal lagi biaya untuk membangun IKN baru ini? Mungkin saja ....
Yg jelas: kondisi yg digambarkan arsitek / perencana ibu kota baru itu dengan limpahan air dimana-mana dan hutan yg asri masih asli dan sungai yg mengalir permanen itu secara alamiahnya tidak ada di lokasi calon ibukota negara di Kabupaten PPU dan KuKar itu. Sungainya yang besar-besar pada umunya sungai pasang surut, bukan sungai permanen. Beberapa sungai kecil di bagian barat kawasan inti pusat pemerintahan mungkin masih berupa sungai “remaja” sampai “dewasa” dan masih tawar airnya, tetapi apakah cukup dibendung untuk kebutuhan 1,5 – 2 juta jiwa penduduk Ibu Kota Negara nantinya, musti benar-benar dihitung mass-balance-nya.
Tidak ada danau alamiah dan muka air tanahnya dalam banget, atau malah tidak ada sama-sekali air tanahnya seperti disebutkan di paragraph awal tulisan ini. Air tanah yang cukup melimpah dijumpai di sepanjang sabuk pinggir pantai dr Bontang - Barat Muara Badak - Lampake - Kutai Lama - Handil - Timur Mutiara – Samboja.Tetapi di sebelah barat sabuk itu (yaitu notabene adalah kawasan IKN): air tanahnya susah, dalamnya sampai ratusan meter, kwantitas dan kwaitasnya terbatas.
Hutannyapun skrg gundul dan kalaupun ada sdh jadi HTI (bukan hutan primer), dan banyak tanah longsor karena jenis batuannya endapan laut dalam yang mudah mengembang (Gambar 7 dan 8) dan patahan2 geologi saling menyilang.
Selain itu banyak juga terdapt lapisan batubara dangkal yg mudah sekali terbakar, terutama di kawasan perluasan Ibu Kota di sepanjang area Bukit Suharto. Hal ini akan jadi faktor penghambat yg harus diatasi dengan rekayasa geoteknik tertentu yg kalau tdk serius perencanaan dan implementasinya bisa bikin runyam kondisi kebencanaannya. Meskipun lokasinya di kawasan perluasan, tetapi efek kebakarannya sudah pasti akan mempengaruhi gerak langkah kehidupan sehari-hari di kawasan pusat pemerintahan ibukota yang hanya berjarak 10-20 km dari lokasi terdekat batubara terbakar tersebut. Pengurangan resiko dengan dari awal mematikan potensi batubara terbakar ini juga akan jadi bagian “biaya” membangun IKN yang tidak murah.
Sebenarnya, kondisi bumi yg bagaimanapun kompleksnya, kalau kita benar2 memahaminya : insyaallah bisa direkayasa manusia untuk kepentingan keselamatan dan kenyamanan hidupnya. Masalahnya: biayanya berapa? Dan terlebih lagi: seringkali informasi dan pemahaman tentang kondisi bawah permukaan buminya sendiri tidak dimiliki oleh para perencana permukaan. Kemungkinan besar para perencana tata ruang serba indah masa depan yg menang2 sayembara itu juga belum memasukkan pertimbangan daya dukung dan geohazardnya.
𝟰. 𝙎𝙀𝘾𝙀𝙋𝘼𝙏𝙉𝙔𝘼
Lembaga2 pemerintah yg seharusnya memiliki data dan informasi itu : mustinya lantang menyuarakan pentingnya pengayaan dan pendalaman informasi data kebumiannya, karena produk2 yg mereka ajukan skrg ini untuk dijadikan dasar perencanaan hanya produk2 peta/informasi yg normatif dan “dangkal” dan terlalu regional, paling mutakhir data geologinya 1995 (peta geologi terakhir yg dibikin disana), dan skalanya 250rb.
Bappenas musti terus berhati-hati dan tidak gegabah dengan proses lanjut perencanaan ini, musti sedikit “ngalah” dg pemutakhiran data dasar geologinya dulu baru lanjut dg perencanaan disain dsb ..... TAPI HARUS DILAKUKAN KILAT CEPAT DAN EFISIEN kalau mau diselesaikan perencanaan nya sepanjang periode kedua Jokowi ini.
Terakhir malahan saya baca informasi bahwa perencanaan detail akan dilakukan segera di 2020, dan diharapkan selesai pertengahan – akhir 2020. Mohon jangan grusa-grusu, ingat jalan-jalan tol yang kebanjiran, ingat juga dulu Tol Cipularang yang jembatan-jembatan besarnya musti direparasi karena patahan-patahan dan longsoran-longsoran yang baru ketahuan setelah “bencana” terjadi. Padahal kalau dari awal informasi geologi bawah permukaan yang nggeunah (proper) juga dijadikan rujukan disain dan konstruksi, mestinya hal2 tersebut bisa dihindari.
Cukup sudah grusa-grusunya. Mari kita lebih serius bekerja untuk kepentingan jangka panjang. Atau jangan-jangan ini hanya untuk kepentingan jangka pendek saja? Mudah2an bukan begitu adanya.
Salam
ADB – Geologist Merdeka!!!
Pertama kali ditulis 23 Desember 2019
Disempurnakan 31 Desember 2019; 21H00
Menjelang malam tahun baru 2020 di Paris:
Gambar-1 Peta DEM dioverlay dengan kawasan IKN yang punya 3 kriteria: Kawasan Inti Pusat Pemeritahan 5644 hectare, Kawasan IKN 42000 hectare, dan Kawasan Perluasan IKN 180965 hectare
Gambar 2. Korelasi sumur-sumur Tengin _ Belonak _ Tuyu memperlihatkan dominasi lapisan lempung di permukaan dan bawah permukaan daerah Ibu Kota Negara yang baru; implikasinya: potensi air tanahnya: sangat minimal.
Gambar 3. Peta dasar data seismik dan sumur di area sekitar IKN yang juga memperlihatkan blok-blok migas beserta kerapatan data sumurnya. Pada gilirannya nanti, kita perlu juga untuk menampalkan data rembesan migas dan prospek-prospek migas di daerah sekitar IKN untuk kepentingan mitigasi hazardnya.
Gambar 4. Perbandingan antara peta geologi resmi pemerintah (1994-1995) dengan peta hasil penelitian (2004). Terlihat peta hasil penelitian menampilkan data struktur (patahan, antiklin) dan fasies dan umur yang lebih detail.
Gambar 5. Diagram 3 Dimensi dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan ditampilkan dengan menggunakan data DEM (perhatikan kelurusan-kelurusan patahan dengan batas-batas morfologi).
Gambar 6. Diagram 3 Dimensi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan ditampilkan dengan menggunakan data peta fasies, form line kontur struktur, dan patahan-patahan. (Perhatikan pada umumnya lokasi IKN didominasi oleh endapan laut dalam dan patahan-patahan yang merupakan patahan anjak kaki/toe thrust fault).
Gambar 7. Contoh foto lapangan singkapan lempung laut dalam di utara daerah ibukota negara IKN.
Comments
Post a Comment