https://www.facebook.com/ahmad.rizali.146/posts/10154042987579102
Opini Victoria Fanggidae di Harian Kompas 2 September 2016. Selamat membaca :)
Sinyal Tanda Bahaya IPM Indonesia
Opini Victoria Fanggidae di Harian Kompas 2 September 2016. Selamat membaca :)
Sinyal Tanda Bahaya IPM Indonesia
Hasil tes PIAAC atau Programme for the International Assessment of
Adult Competencies terbaru, survei terhadap tingkat kecakapan orang
dewasa yang dilakukan oleh OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan) menunjukkan hasil yang sangat memprihatinkan.
Indonesia terpuruk di peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat. Sebutlah seperti kemampuan literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah. Skor kita juga terendah di hampir semua kategori umur.
Lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian paling bawah) dalam hal kemampuan literasi. Dengan kata lain, kita adalah negara dengan rasio orang dewasa berkemampuan membaca terburuk dari 34 negara OECD dan mitra OECD yang disurvei pada putaran ini (OECD, 2016).
Ini sinyal tanda bahaya! Bahwa, pembangunan manusia masih merupakan pekerjaan rumah mahadahsyat Pemerintah Indonesia, bukan sekadar pelengkap pembangunan ekonomi.
Puncak gunung es
Untuk pertama kali, Indonesia berpartisipasi dalam survei kompetensi dewasa (PIAAC). Tes terhadap mereka yang berumur produktif (16-65 tahun) ini adalah ”kakak” dari tes PISA (Programme for International Students Assessment), yang mengukur kompetensi siswa berusia 15 tahun yang bersekolah. Indonesia telah berpartisipasi dalam tes PISA sejak 2000, tetapi baru pertama kali ini berpartisipasi secara sukarela dalam PIAAC.
Hasil PISA telah banyak dikutip, beberapa dengan nada sarkastik, tentang siswa Indonesia yang ”bodoh, tetapi bahagia” oleh Pisani (2013), misalnya. Ini karena hasil PISA Indonesia 2012 berada di urutan ke-60 dari 64 negara yang disurvei dalam membaca, dan posisi buncit dalam matematika dan sains, tetapi skor kebahagiaan tinggi. Sarkasme ini dikritik dengan alasan metode sampling yang kurang mewakili, dibandingkan Tiongkok misalnya, di mana sampel hanya dari Shanghai yang maju atau Singapura yang relatif kecil dan sangat maju.
Namun, survei PIAAC ini hanya dilakukan di Jakarta. Hasilnya pun memprihatinkan. OECD membagi skor ke dalam enam level: level <1, dan level 1 sampai 5. Masing-masing menunjukkan tingkat penguasaan kompetensi tertentu (level <1 paling buruk, level 5 paling baik). Dalam hal rata-rata skor literasi membaca, misalnya, Indonesia selalu memiliki proporsi paling besar di level <1 di antara 34 negara yang disurvei. Ini berlaku di semua kategori umur (16-24 tahun sampai 55-65 tahun) dan di semua tingkat pendidikan (SMP ke bawah sampai perguruan tinggi).
Orang dewasa pada level <1 ini, menurut definisi OECD, ”hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab untuk menemukan satu bagianinformasi spesifik. Untuk menyelesaikan tugas itu, hanya pengetahuan kosakata dasar yang diperlukan dan pembaca tidak perlu memahami struktur kalimat atau paragraf”. Bukan hal yang sulit sebenarnya.
Ini baru di Jakarta. Padahal, Jakarta tidak mewakili wajah Indonesia. Ketimpangan Jakarta dan daerah lain sangat tajam dalam berbagai indikator kualitas pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jakarta 78,99, sedangkan rata-rata nasional 69,55. Daerah dengan IPM terendah adalah Papua, hanya 57,25 (BPS, 2016). Perhitungan kemiskinan multidimensi (Prakarsa, 2016) juga menunjukkan hanya sekitar seperdelapan dari penduduk yang mengalami kemiskinan multidimensi di Jakarta dibandingkan hampir tiga perempat penduduk Papua dan dua pertiga penduduk NTT.
Sulit dibayangkan apa jadinya jika tes PIAAC dilakukan di daerah lain dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, tingkat kecukupan gizi serta akses pada informasi yang jauh lebih buruk daripada Jakarta.
Miskin gebrakan
Ekonomi Indonesia diarahkan ke hilirisasi sehingga membutuhkan lebih banyak pekerja terampil. Namun, bonus demografi dikhawatirkan jadi bencana demografi. Segudang masalah kesehatan dan kependudukan, seperti stunting, gizi kurang, gizi lebih, kawin muda, kematian ibu-anak serta melonjaknya penyakit degeneratif, menggerogoti potensi sumber daya manusia. Pekerjaan rumah mahadahsyat ini sayangnya ditangani oleh kebijakan dan institusi yang miskin gebrakan. Pemerintah perlu melakukan langkah berikut.
Pertama, menaikkan profil dan fungsi pemantauan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) terhadap sejumlah kementerian di bawahnya, yang saat ini belum optimal. Sindiran terhadap sepinya keberadaan dan kinerja Kemenko PMK dalam riuhnya masalah pembangunan manusia merupakan luapan ketidakpuasan terhadap minimnya gebrakan Kemenko PMK dan kementerian/lembaga terkait. Masyarakat mengharapkan ”Menteri Susi” lain dalam Kabinet Kerja, yang lantang dan bekerja keras, untuk memastikan Indonesia tidak mengalamilost generation.
Kedua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi—tiga kementerian kunci dalam pembangunan manusia—perlu didorong bekerja lebih keras dengan target kolektif berbasis hasil yang terukur, yaitu perbaikan indikator pembangunan manusia, seperti IPM, Indeks Kemiskinan Multidimensi, skor PISA dan PIAAC, misalnya. Ketiga kementerian ini berada dalam satu pipeline untuk kualitas pembangunan manusia, karena perkembangan otak manusia dan kesehatan, pendidikan, serta pelatihan tenaga kerja ada pada ketiganya.
Ketiga, kegagalan kebijakan sebelumnya harus mulai diurai dengan mekanisme tanggung gugat politis. Survei PIAAC mencerminkan gagalnya kebijakan pendidikan dan kesehatan beberapa dekade. Sebab, skor rendah bukan monopoli mereka yang muda, juga mereka yang berumur, yang notabene produk kebijakan pendidikan dan kesehatan puluhan tahun lalu.
Sayangnya, sejak dulu, posisi menteri di sektor-sektor ini paling banyak diperebutkan. Presiden jangan hanya menimbang keuntungan politis. Evaluasi kinerja harus dilakukan pada parpol dan ormas pendukung. Hasilnya patut dibuka ke publik sehingga tidak timbul tuduhan bahwa politik dagang sapi pemerintahan sebelumnya hanya berubah nama jadi politik dagang lain di pemerintahan saat ini.
Kita sebenarnya punya harapan. Banyak orang Indonesia diaspora yang pintar karena gizi yang lebih baik dan didikan yang tepat. Peneliti-peneliti sains kita tidak kalah dengan peneliti luar negeri, tetapi fasilitas laboratorium dan kesempatan riset yang layak tak diberikan. Murid-murid kita jadi bodoh karena keterbatasan fasilitas dan metode mengajar yang tak optimal di sekolah. Anak- anak jadi lambat berpikir karena sejak dalam kandungan ibunya mereka sudah kurang gizi.
Hasil PIAAC dari OECD ini adalah sinyal tanda bahaya bagi pemerintah. Ada yang salah dalam kebijakan pembangunan kualitas manusia Indonesia. Jika tak diperhatikan dan dipantau lebih ketat, jauh langkah kita bergabung dengan liga negara maju. Pendekatan pembangunan manusia ini harus lebih baik daripada pemerintahan 10, 20, atau 50 tahun lalu.Kalau tidak, pemerintahan saat ini hanya akan dicatat sebagai salah satu rezim yang mewariskan kegaduhan, bukan generasi yang lebih baik.
Victoria Fanggidae, Peneliti di Perkumpulan Prakarsa
Indonesia terpuruk di peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat. Sebutlah seperti kemampuan literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah. Skor kita juga terendah di hampir semua kategori umur.
Lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian paling bawah) dalam hal kemampuan literasi. Dengan kata lain, kita adalah negara dengan rasio orang dewasa berkemampuan membaca terburuk dari 34 negara OECD dan mitra OECD yang disurvei pada putaran ini (OECD, 2016).
Ini sinyal tanda bahaya! Bahwa, pembangunan manusia masih merupakan pekerjaan rumah mahadahsyat Pemerintah Indonesia, bukan sekadar pelengkap pembangunan ekonomi.
Puncak gunung es
Untuk pertama kali, Indonesia berpartisipasi dalam survei kompetensi dewasa (PIAAC). Tes terhadap mereka yang berumur produktif (16-65 tahun) ini adalah ”kakak” dari tes PISA (Programme for International Students Assessment), yang mengukur kompetensi siswa berusia 15 tahun yang bersekolah. Indonesia telah berpartisipasi dalam tes PISA sejak 2000, tetapi baru pertama kali ini berpartisipasi secara sukarela dalam PIAAC.
Hasil PISA telah banyak dikutip, beberapa dengan nada sarkastik, tentang siswa Indonesia yang ”bodoh, tetapi bahagia” oleh Pisani (2013), misalnya. Ini karena hasil PISA Indonesia 2012 berada di urutan ke-60 dari 64 negara yang disurvei dalam membaca, dan posisi buncit dalam matematika dan sains, tetapi skor kebahagiaan tinggi. Sarkasme ini dikritik dengan alasan metode sampling yang kurang mewakili, dibandingkan Tiongkok misalnya, di mana sampel hanya dari Shanghai yang maju atau Singapura yang relatif kecil dan sangat maju.
Namun, survei PIAAC ini hanya dilakukan di Jakarta. Hasilnya pun memprihatinkan. OECD membagi skor ke dalam enam level: level <1, dan level 1 sampai 5. Masing-masing menunjukkan tingkat penguasaan kompetensi tertentu (level <1 paling buruk, level 5 paling baik). Dalam hal rata-rata skor literasi membaca, misalnya, Indonesia selalu memiliki proporsi paling besar di level <1 di antara 34 negara yang disurvei. Ini berlaku di semua kategori umur (16-24 tahun sampai 55-65 tahun) dan di semua tingkat pendidikan (SMP ke bawah sampai perguruan tinggi).
Orang dewasa pada level <1 ini, menurut definisi OECD, ”hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab untuk menemukan satu bagianinformasi spesifik. Untuk menyelesaikan tugas itu, hanya pengetahuan kosakata dasar yang diperlukan dan pembaca tidak perlu memahami struktur kalimat atau paragraf”. Bukan hal yang sulit sebenarnya.
Ini baru di Jakarta. Padahal, Jakarta tidak mewakili wajah Indonesia. Ketimpangan Jakarta dan daerah lain sangat tajam dalam berbagai indikator kualitas pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jakarta 78,99, sedangkan rata-rata nasional 69,55. Daerah dengan IPM terendah adalah Papua, hanya 57,25 (BPS, 2016). Perhitungan kemiskinan multidimensi (Prakarsa, 2016) juga menunjukkan hanya sekitar seperdelapan dari penduduk yang mengalami kemiskinan multidimensi di Jakarta dibandingkan hampir tiga perempat penduduk Papua dan dua pertiga penduduk NTT.
Sulit dibayangkan apa jadinya jika tes PIAAC dilakukan di daerah lain dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, tingkat kecukupan gizi serta akses pada informasi yang jauh lebih buruk daripada Jakarta.
Miskin gebrakan
Ekonomi Indonesia diarahkan ke hilirisasi sehingga membutuhkan lebih banyak pekerja terampil. Namun, bonus demografi dikhawatirkan jadi bencana demografi. Segudang masalah kesehatan dan kependudukan, seperti stunting, gizi kurang, gizi lebih, kawin muda, kematian ibu-anak serta melonjaknya penyakit degeneratif, menggerogoti potensi sumber daya manusia. Pekerjaan rumah mahadahsyat ini sayangnya ditangani oleh kebijakan dan institusi yang miskin gebrakan. Pemerintah perlu melakukan langkah berikut.
Pertama, menaikkan profil dan fungsi pemantauan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) terhadap sejumlah kementerian di bawahnya, yang saat ini belum optimal. Sindiran terhadap sepinya keberadaan dan kinerja Kemenko PMK dalam riuhnya masalah pembangunan manusia merupakan luapan ketidakpuasan terhadap minimnya gebrakan Kemenko PMK dan kementerian/lembaga terkait. Masyarakat mengharapkan ”Menteri Susi” lain dalam Kabinet Kerja, yang lantang dan bekerja keras, untuk memastikan Indonesia tidak mengalamilost generation.
Kedua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi—tiga kementerian kunci dalam pembangunan manusia—perlu didorong bekerja lebih keras dengan target kolektif berbasis hasil yang terukur, yaitu perbaikan indikator pembangunan manusia, seperti IPM, Indeks Kemiskinan Multidimensi, skor PISA dan PIAAC, misalnya. Ketiga kementerian ini berada dalam satu pipeline untuk kualitas pembangunan manusia, karena perkembangan otak manusia dan kesehatan, pendidikan, serta pelatihan tenaga kerja ada pada ketiganya.
Ketiga, kegagalan kebijakan sebelumnya harus mulai diurai dengan mekanisme tanggung gugat politis. Survei PIAAC mencerminkan gagalnya kebijakan pendidikan dan kesehatan beberapa dekade. Sebab, skor rendah bukan monopoli mereka yang muda, juga mereka yang berumur, yang notabene produk kebijakan pendidikan dan kesehatan puluhan tahun lalu.
Sayangnya, sejak dulu, posisi menteri di sektor-sektor ini paling banyak diperebutkan. Presiden jangan hanya menimbang keuntungan politis. Evaluasi kinerja harus dilakukan pada parpol dan ormas pendukung. Hasilnya patut dibuka ke publik sehingga tidak timbul tuduhan bahwa politik dagang sapi pemerintahan sebelumnya hanya berubah nama jadi politik dagang lain di pemerintahan saat ini.
Kita sebenarnya punya harapan. Banyak orang Indonesia diaspora yang pintar karena gizi yang lebih baik dan didikan yang tepat. Peneliti-peneliti sains kita tidak kalah dengan peneliti luar negeri, tetapi fasilitas laboratorium dan kesempatan riset yang layak tak diberikan. Murid-murid kita jadi bodoh karena keterbatasan fasilitas dan metode mengajar yang tak optimal di sekolah. Anak- anak jadi lambat berpikir karena sejak dalam kandungan ibunya mereka sudah kurang gizi.
Hasil PIAAC dari OECD ini adalah sinyal tanda bahaya bagi pemerintah. Ada yang salah dalam kebijakan pembangunan kualitas manusia Indonesia. Jika tak diperhatikan dan dipantau lebih ketat, jauh langkah kita bergabung dengan liga negara maju. Pendekatan pembangunan manusia ini harus lebih baik daripada pemerintahan 10, 20, atau 50 tahun lalu.Kalau tidak, pemerintahan saat ini hanya akan dicatat sebagai salah satu rezim yang mewariskan kegaduhan, bukan generasi yang lebih baik.
Victoria Fanggidae, Peneliti di Perkumpulan Prakarsa
Comments
Post a Comment