Skip to main content

Pendidikan (Memang) Akar Masalah Tenaga Kerja

https://www.facebook.com/notes/ahmad-muchlis/pendidikan-memang-akar-masalah-tenaga-kerja/591250087596776


Ini versi yang saya kirimkan ke Media Indonesia. Hasil pemotongan di sana sini muncul di koran tersebut edisi 16 Desember 2013.



Pendidikan (Memang) Akar Masalah Tenaga Kerja
Ahmad Muchlis 

Dalam tulisan berjudul “Bekal Mencari Kerja bukan lagi Calistung” (Media Indonesia, 9/12/2013), Harris Iskandar mengingatkan kita akan perubahan tuntutan dunia kerja. Peringatan tersebut tepat waktu mengingat permasalahan perburuhan yang tengah kita hadapi menjelang berakhirnya tahun 2013 ini. Berbagai usaha telah dan sedang dilakukan untuk mencari pemecahan segera bagi persoalan-persoalan perburuhan itu.

Namun, kompleksitas persoalan membuat penyelesaian jangka pendek tidaklah memadai. Persoalan bisa mereda sesaat, lalu muncul kembali dengan kepelikan yang meningkat. Mencari akar masalah untuk mendapatkan penyelesaian jangka panjang harus dilakukan.

Iskandar dengan tepat menunjuk pendidikan sebagai salah satu akar masalah itu. Data Kemdikbud yang dikutipnya menyebutkan lebih dari 65% angkatan kerja kita berpendidikan SMP ke bawah. Menteri Tenaga Kerja sendiri menyatakan bahwa hampir separuh angkatan kerja itu hanyalah lulusan SD atau lebih rendah.

Perselisihan antara buruh dan pengusaha tentang upah minimum bisa jadi muncul karena kesenjangan antara kemampuan tenaga kerja yang ada dengan tuntutan pekerjaan. Kualitas tenaga kerja kita terlalu rendah untuk menangani pekerjaan padat teknologi, sehingga tidak cukup produktif dan hanya layak untuk upah rendah agar perusahaan tetap kompetitif.

Perubahan tuntutan dunia kerja seiring dengan perkembangan teknologi sudah diperkirakan sejak lama. Laporan Komisi Delors bentukan UNESCO telah mengingatkan bahwa “Pekerjaan-pekerjaan yang sepenuhnya bersifat fisik digantikan dengan yang lebih intelektual, lebih bersifat mental, ... serta dengan kerja perancangan, pengkajian dan pengorganisasian, karena mesin akan menjadi lebih ‘cerdas’. ...” Pernyataan ini muncul dalam laporan Komisi Delors Learning: The Treasure Within (1996) ketika mendiskusikan learning to do, salah satu dari empat pilar pendidikan.

Belakangan, sebuah kajian OECD, yang dapat dibaca dalam laporan berjudul Lessons from PISA for Japan (2012), memberikan elaborasi tentang perubahan tuntutan dunia kerja tersebut. Menurut kajian tersebut, perkembangan teknologi—khususnya komputer—telah mengubah tuntutan dunia kerja lebih cepat daripada manusia mengubah ketrampilan dirinya. Ada dua cara teknologi mempengaruhi pekerjaan manusia, yaitu sebagai pengganti dan sebagai pelengkap. Peran teknologi dalam menggantikan manusia kita temui berupa ATM yang membuat kita tidak perlu datang menemui petugas bank. Contoh lain adalah penggunaan e-toll untuk membayar tol.

Contoh teknologi melengkapi peran manusia dapat ditemukan di lingkungan medis. Melalui jaringan komputer, seorang dokter dapat memperoleh riwayat lengkap kesehatan pasiennya dan mencari alternatif pengobatan. Sedangkan peran dokter dalam menggali informasi dari pasien, dalam menangkap pesan dari ucapan dan bahasa tubuh pasien, tetap tidak tergantikan. Demikian pula dengan penarikan diagnosis berdasarkan informasi dari pasien, riwayat medis pasien, serta pengetahuan medis dan pengalaman dokter.

Secara umum, di antara pekerjaan yang tidak tergantikan adalah pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan komunikasi kompleks dan berpikir pakar. Komunikasi kompleks terjadi ketika dokter menggali informasi dari pasien atau membaca pesan dari ucapan dan bahasa tubuh sang pasien. Berpikir pakar dilakukan dokter ketika ia menegakkan diagnosis.

Komunikasi kompleks tidak semata-mata berarti bertukar informasi, melainkan juga membangun konteks bersama yang memungkinkan informasi yang dipertukarkan itu diinterpretasikan secara spesifik. Berpikir pakar diperlukan ketika seseorang berhadapan dengan masalah “baru” yang belum pernah ditemui atau diantisipasi sebelumnya. Untuk masalah-masalah demikian, tidak ada penyelesaian langsung jadi (straightforward).

Untuk dapat menguasai pekerjaan-pekerjaan tidak tergantikan atau pun untuk bertahan terhadap kemajuan teknologi, seseorang memerlukan landasan kemampuan yang jauh melampaui sekadar membaca, menulis dan berhitung. Kajian OECD memberi contoh sistem pembakaran mesin mobil yang dikontrol komputer. Seorang montir tidak lagi berhadapan dengan proses kongkret, tetapi dengan abstraksi numerik. Ia harus dapat menginterpretasikan hasil bacaan elektronik ke dalam proses yang terjadi yang tidak bisa ia lihat dengan mata kepalanya. Ketrampilan prosedural berhitung saja tidak memadai untuk menghadapi tingkat abstraksi pada analisis yang dibangkitkan oleh komputer.

Landasan kemampuan yang melampaui calistung tidaklah sesederhana menambahkan teknologi informasi komunikasi menjadi ‘calistungtik’ sebagaimana yang dilakukan Iskandar. Mengapa demikian? Pada contoh montir di atas, teknologi komputer telah menyebabkan perlunya kemampuan abstraksi. Akan tetapi, tumbuhnya kemampuan abstraksi tetap dapat terjadi tanpa teknologi komputer, bahkan bisa jadi ia merupakan penghambat. Teknologi informasi dan komunikasi, atau secara umum teknologi komputer, lebih merupakan alat bantu, bukan kemampuan intrinsik manusia.

Dengan demikian, calistung itu sendiri juga harus berubah. Kajian Dewan Riset Nasional di Amerika Serikat, misalnya, menyatakan bahwa tuntutan calistung itu sendiri sudah meningkat menjadi “berpikir dan membaca dengan kritis, menyatakan pendapat dengan jelas dan persuasif, menyelesaikan masalah-masalah kompleks dalam sains dan matematika” [How People Learn, 2000].

Kita sepatutnya sangat kuatir dengan pendidikan kita bila menilik hasil PISA yang juga sudah disinggung oleh Iskandar. Hasil terbaru PISA, edisi tahun 2012, baru saja terbit (lihat Media Indonesia, 5/12/2013). Proporsi peserta siswa Indonesia yang tidak mencapai level 2 adalah 75,7% untuk matematika, 66,6% untuk sains dan 55,2% untuk membaca. Dibandingkan dengan hasil-hasil PISA sebelumnya, pencapaian matematika tidak banyak berubah, membaca menjadi lebih baik, sedangkan sains malahan menurun. OECD, organisasi penyelenggara PISA, memperkirakan bahwa siswa yang tidak mencapai level 2 pencapaian PISA akan mengalami hambatan untuk berfungsi efektif dalam kehidupan.

Selain soal tenaga kerja, rendahnya kemampuan dalam matematika dan sains akan membawa konsekuensi-konsekuensi lain. Penyelenggara negara, baik legislatif maupun eksekutif, tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengambil keputusan tepat terkait sains dan teknologi. Blunder kebijakan seperti penyebab hengkangnya dua perusahaan komponen elektronika National Semiconductor dan Fairchild di tahun 1986 akan dengan mudah terulang. Selain itu, tidak tersedia cukup sumber daya dengan keahlian memadai untuk mengembangkan sains dan teknologi. Industri yang berbasiskan teknologi tinggi tidak berkembang dan pada akhirnya Indonesia akan menjadi konsumen semata di pasar teknologi dunia. Industri yang tidak berkembang akan digantikan oleh sektor informal. Perkembangan sektor ini, yang sulit disentuh regulasi, akan menyebabkan meningkatnya masalah sosial. Persoalan-persoalan seperti premanisme dan pedagang kaki lima adalah bagian dari masalah ini.

Di akhir tulisannya, Iskandar dengan sangat optimis menyebutkan Kurikulum 2013 yang baru diperkenalkan Kemdikbud sebagai respons yang tepat untuk persoalan rendahnya kualitas angkatan kerja kita. Optimisme itu terlalu berlebihan. Argumentasi berikut hanya salah satu alasan untuk bersikap pesimis. Hampir satu semester Kurikulum 2013 dijalankan, kita menemukan keluhan dan kritik terhadap kualitas buku yang disiapkan dan pelatihan yang diselenggarakan. Buku-buku dan pelatihan-pelatihan tersebut umumnya tidak mencerminkan penekanan pada penalaran tingkat tinggi (higher order thinking) seperti yang disebutkan Iskandar. Kalau para penulis buku dan pelatih yang sedikit jumlahnya saja sudah kesulitan menangkap esensi konseptual Kurikulum 2013, apalagi guru di lapangan yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Bahkan, Kurikulum 2013 akan gagal karena ia lahir dari pemikiran yang terlalu sederhana yang berlawanan dengan kompleksitas pendidikan. Pencabutan kewenangan satuan pendidikan untuk menetapkan kurikulumnya sendiri dan penempatan guru sebagai pelaksana pengajaran dengan berpegang kepada buku yang telah disiapkan menjadikan pendidikan kita seperti industri manufaktur. Sekolah menjadi tidak lebih dari ban berjalan, sedangkan guru adalah mesin CNC (computer numerical control) yang dapat dengan mudah diprogram ulang. Analogi Kurikulum 2013 dengan proses produksi manufaktur pun tampaknya tidak tepat. Tidak ada proses produksi yang langsung diimplementasikan dalam skala pabrik tanpa melalui pengkajian, betapa pun terbatasnya, pada skala laboratorium.

                                                                                                Bandung, 12 Desember 2013

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong.

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write the program state and capture the external inputs from the G