Skip to main content

MENANTANG IDE KHILAFAH


https://www.facebook.com/famhar68/posts/10211192974952627

Ini tulisan yang menjadi VIRAL lalu di tanggapi oleh Prof. Moh. Mahmud MD, disertai dengan ajakan untuk diskusi dalam sebuah forum. Sepertinya akan sangat mencerahkan jika ini bisa terlaksana.
Apakah sudah ada yang fasilitasi Prof. Fahmi Amhar ?
Fahmi Amhar *MENANTANG IDE KHILAFAH*
Oleh: Fahmi Amhar
Tulisan Prof. Moh Mahfud MD di harian Kompas edisi 26 Mei 2017 berjudul "Menolak Ide Khilafah" telah memulai sebuah diskursus tingkat elit intelektual di negeri ini. Kalau dulu diskursus ini ibaratnya hanya terjadi di antara para “prajurit” – bahkan “prajurit cyber”, maka kini para “senapati” sudah turun gelanggang.
Saya memahami kalau Prof. Mahfud mendapatkan pernyataan yang dirasakan “tidak cukup bermutu” dari seorang aktivis ormas Islam yang “nobody”. Bayangkan, seorang guru besar, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013, ditanya dengan nada marah dan merendahkan dari seseorang yang mungkin bahkan tidak hafal pembukaan UUD 1945.
Saya sendiri tidak merasa pantas untuk memberi komentar terhadap tulisan Prof. Mahfud tersebut. Namun sebagai anak bangsa, hak saya untuk berpendapat tentu saja dilindungi oleh konstitusi.
Saya bukan alumnus kampus-kampus yang dinilai Ketua Umum PB NU Said Agil Siradj tempat persemaian radikalisme. Saya S1 sampai S3 di Vienna University of Technology, Austria, sebuah negara demokratis di Eropa. Saya sepuluh tahun di sana. Sepertinya Austria negara yang sudah adil dan makmur, meski tidak mengenal Pancasila. Saya tidak belajar hukum secara khusus, melainkan hanya beberapa mata kuliah. Namun di tahun 1987 saya sudah mengenal tentang Constitutional Court, sesuatu yang saat itu belum pernah saya dengar di Indonesia. Saya juga ikut menyaksikan ketika tahun 1989-1991 negara-negara Blok Timur berubah dari komunis ke kapitalis. Dan saya juga menyaksikan bagaimana Austria melakukan referendum untuk bergabung ke Uni Eropa atau tidak.
Saya melihat, dalam sistem demokrasi, sistem di Austria berbeda dengan Jerman, Swiss atau Perancis, meski sama-sama Republik. Sistem demokrasi juga diterapkan di Inggris atau Belanda, meski mereka menganut monarki. Ini artinya, orang bisa sama-sama menerima demokrasi tanpa mempersoalkan “demokrasi yang seperti apa?”.
Pertanyaannya, mengapa untuk demokrasi kita bisa seperti itu, tetapi untuk sistem pemerintahan Islam - Khilafah - kita tidak bisa? Kenapa kita menolak ide khilafah dengan argumentasi tidak ada bentuk yang baku, khususnya cara suksesi kepemimpinan? Sebenarnya kita bisa lebih arif, setidaknya menantang diskusi bahwa ide khilafah adalah sebuah alternatif dari suatu kemungkinan kebuntuan politik.
Dalam sejarahnya, Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pernah berubah-ubah. Tak sampai tiga bulan setelahnya, yakni pada 14 November 1945, Presiden Soekarno sudah mengubah sistem presidensil menjadi parlementer. Pasca Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Indonesia berubah menjadi negara federal (RIS). Lalu tahun 1950 kembali ke NKRI dengan UUDS-1950 yang bunyi sila-sila dari Pancasila sangat berbeda. Pasca dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD-1945 tetapi masih mengakui Partai Komunis Indonesia (PKI). Inti dari sejarah ini, saya bertanya-tanya: benarkah dulu para pendiri bangsa menganggap UUD1945 itu adalah final? Kalau final, kenapa disisakan sebuah pasal 37 yang memungkinkan UUD1945 diubah? Kalau benar wilayah NKRI itu final, mengapa tahun 1976 kita menerima Timor Timur berintegrasi, lalu tahun 1999 kita lepas lagi? Kalau konstitusi NKRI itu final, mengapa pasca reformasi kita amandemen berkali-kali?
Oleh karena itu, kalau kita menuduh kelompok pro-khilafah itu radikal dan telah “terindoktrinasi” atau boleh juga “tercuci-otaknya”, tidakkah jangan-jangan kita juga tercuci otaknya dengan jargon “NKRI harga mati”?
Karena tinggal di Eropa yang sangat demokratis (bahkan agak liberal), sejak akhir 1980-an, saya cukup bebas mengenal berbagai ideologi di dunia. Buku “Das Kapital” – Karl Marx misalnya, saya baca pertama kali di Austria, karena di Indonesia dilarang. Di Austria, buku-buku komunisme sama bebasnya dengan buku-buku anti komunis. Pada masyarakat mereka yang maju, komunisme tidak dianggap ancaman. Partai Komunis Austria ada, tetapi tak pernah meraih kursi dalam pemilu.
Waktu itu, belum ada internet, namun bacaan-bacaan yang bebas itu bahkan mampu menembus tirai besi di negara-negara komunis, yang di sana cuma ada satu koran, satu radio, satu televisi dan satu partai, yang semuanya komunis. Dunia akhirnya menyaksikan keruntuhan adidaya komunies Uni Soviet tahun 1991.
Karena itu, tak heran di Austria juga saya mengenal berbagai gerakan Islam, termasuk di antaranya yang memperjuangkan suatu negara Islam global, khilafah. Untuk orang-orang di negara adil makmur seperti Austria, dakwah memerlukan rasionalitas yang sangat kuat. Mereka tidak bisa menjual perlawanan kepada otoritas publik yang sudah melayani rakyat dengan baik. Mereka juga tak bisa menjual dogma pada masyarakat yang sudah berpikir sangat rasional. Bahkan soal iman pun tidak bisa mengandalkan warisan seperti ditulis oleh ananda kita Afi Nihaya. Faktanya, gender, suku, ras, kelas sosial bisa diwariskan, tetapi jutaan warga Eropa mencari dan menemukan sendiri agamanya dengan bekal akal sehat karunia Tuhan pada mereka.
Oleh karena itu, ide khilafah perlu untuk ditantang dengan lebih arif secara akademis. Sama kalau dalam pelajaran sekolah kita memberi tahu anak-anak kita tentang sistem kerajaan vs sistem republik, demokrasi vs diktatur, kenapa kita keberatan, bahkan ketakutan untuk memperkenalkan sistem khilafah, yang diklaim bukan kerajaan, bukan republik, bukan demokrasi dan juga bukan diktatur? Lantas mahluk apakah ini?
Sependek yang saya tahu, inti dari sistem khilafah itu bukan model suksesi seperti yang Prof. Mahfud katakan sebagai “tidak baku” dan “ijtihadiyah”. Adanya berbagai varian suksesi – yang semua tidak diingkari oleh para shahabat Nabi radhiyallah anhuma – justru menunjukkan keunikan sistem ini. Orang yang akan dibai’at sebagai khalifah boleh dipilih dengan permusyawaratan perwakilan (seperti kasus Abu Bakar), dinominasikan pejabat sebelumnya (seperti kasus Umar, yang kemudian disalahgunakan oleh berbagai dinasti kekhilafahan), dipilih langsung (seperti kasus Utsman), atau otomatis menjabat (seperti kasus Ali, karena dia saat itu seperti wakil khalifah). Semua ini bisa dilakukan, dan bisa mencegah terjadinya krisis konstitusi, yaitu suatu kebuntuan ketika presiden sebelumnya sudah habis masa jabatannya, dan presiden yang baru belum definitif.
Itu baru sebuah contoh. Memang yang saya lihat selama ini ada jurang komunikasi antara pakar tata negara seperti Prof. Mahfud dengan gerakan pro khilafah seperti HTI. Bahkan terma “demokrasi” saja didefinisikan dan dimengerti secara berbeda Bagi HTI, sejauh yang saya tahu, demokrasi itu bukan sekedar prosedural seperti kebebasan bersuara, berserikat, adanya partai-partai politik, pemilu dan parlemen, tetapi demokrasi adalah ketika suara rakyat bisa di atas suara Tuhan, ketika hawa nafsu rakyat bisa mengalahkan dalil halal-haram kitab suci. Inilah demokrasi di Eropa yang bisa melegalkan nikah sesama jenis, atau melarang jilbab di ruang publik.
Pancasila dalam redaksi saat ini, tidak menyebut demokrasi, tetapi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sila ini dimaknai berbeda pada era Orde Lama, Orde Baru atau Reformasi. Demikian juga ekonomi Pancasila, ada aneka tafsir yang bertolakbelakang antara ekonomi terpimpin ala Orde Lama, ekonomi kapitalis ala Orde Baru, dan ekonomi neoliberal ala Reformasi. Bukankah di sini sama tidak jelasnya dengan ide khilafah menurut Prof. Mahfud ? Oleh karena itu, menurut saya, khilafah sebagai ide sah-sah saja ditantang dalam meja diskusi dengan pikiran dingin dalam rangka mendapatkan solusi kehidupan berbangsa.
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE).
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan pendapat IABIE.

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong.

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write the program state and capture the external inputs from the G