https://www.facebook.com/manusiaindonesia/photos/a.295472280971656/483083242210558/
Baru saja kering air mata korban gempa beruntun di Lombok, pada Jumat (28/9/2018) sore giliran Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah dilanda gempa disusul tsunami. Gempa kali ini jelas bukan terakhir yang bisa melanda negeri dilingkari "cincin api". Hanya soal waktu kota-kota lain mendapat giliran sehingga kesiapsiagaan bencana tak bisa ditawar-tawar lagi.
......Padahal, Palu dan Donggala telah lama diketahui sangat rentan gempa dan tsunami. Ahli tsunami Gegar Prasetya dalam papernya, The Makassar Strait Tsunamigenic Region,Indonesia yang diterbitkan di jurnal Natural Hazard (2001) menyebutkan, sebanyak 14 tsunami terjadi di kawasan ini pada tahun 1820 dan 1982.
Sedangkan sejak 1927 hingga tahun 2001, telah terjadi enam kali tsunami di kawasan ini. Ditambah dengan kejadian kali ini, berarti total kejadian tsunami di kawasan ini sudah 19 kali dari 1820 hingga 2018. Jumlah ini merupakan yang terbanyak di Indonesia. "Seluruh tsunami di kawasan ini bersumber dari aktivitas gempa di patahan Palu-Koro, zona subduksi di utara Sulawesi, dan jalur sesar di Asternoster," sebut Gegar yang juga Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia ini.
Sejak 1990-an, patahan Palu-Koro telah memicu tiga tsunami, yaitu pada 1 Desember 1927 di Teluk Palu, 14 Agustus 1968 di Teluk Palu, dan 1 Januari 1996 di Simuntu-Pangalaseang. Semua sumber gempa yang memicu tsunami ini berada di dekat pantai barat Sulawesi Tengah. Tiga tsunami lainnya dipicu gempa yang terjadi di patahan Pasternoster, yaitu 11 April 1967 yang melanda Tinambung, 23 Februari 1969 melanda Majene, dan 8 Januari 1984 melanda Mamuju.
"Tsunami di zona ini merupakan yang paling sering terjadi di Indonesia yang tercatat. Rata-rata 25 tahun sekali terjadi tsunami. Ini karena pergerakan geologi Pulau Sulawersi memang sangat aktif," kata Gegar.
Sulawesi yang berada tepat di jantung Nusantara, terbentuk dari tumbukan tiga lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Jejak tumbukan ini menorehkan jalur-jalur patahan di sekujur pulau dan sebagian menerus hingga lautan.
Menurut peneliti gempa vumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik Mudrik Rahmawan Daryono, jalur patahan Palu-Koro yang membelah Pulau Sulawesi dari Teluk Palu ke Teluk Bone ini memiliki pergerakan sangat cepat, yaitu 41-45 milimeter per tahun (Socquet dkk, 2006). Kecepatan gerak patahan ini empat kali lebih cepat dibandingkan sesar Sumatera sebesar 10 mm per tahun, apalagi jika dibandingkan pergeseran sesar di Jawa yang hanya 3 mm per tahun.
Dengan dukungan data-data dari para akademisi dan reportase lapangan, Kompas telah berulangkali menuliskan tentang kerentanan di Kota Palu dan sekitarnya. Ekspedisi Cincin Api Kompas tahun 2011-2012 juga mengulas khusus mengenai jejak gempa dan tsunami di pesisir Kota Palu. Tahun itu juga, Litbang Kompas telah membuat survei sosial tentang perepsi dan pengetahuan masyarakat terkait ancaman gempa dan tsunami. Hasilnya, sebagian besar masyarakat di Kota Palu tidak mengetahui ancaman bencana dan tidak bersiap untuk itu.
Tanggal 31 Mei 2017, Kompas juga menulis artikel dengan judul Waspadai Gempa Besar di Sulawesi dengan penekanan ancaman dari sesar Palu-Koro. Namun, hingga gempa bumi diikuti tsunami melanda pada Jumat lalu, upaya mitigasi dan kesiapsiagaan begitu minim dilakukan.
Sejak gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, sudah lebih dari 200.000 jiwa
meninggal karena gempa bumi dan tsunami. "Butuh berapa nyawa lagi untuk menyadarkan kita bahwa negara ini sangat rentan gempa dan tsunami? Kita butuh perubahan radikal untuk membangun kesiapsiagaan, baik dari aspek fisik maupun sosial," ujar Gegar.
Dari data-data yang ada, jejak gempa dan tsunami terekam sejak dari Aceh hingga Papua. Sampai saat ini, gempa dan tsunami tak bisa diprediksi kapan dan dimana akan terjadinya, namun hanya soal waktu bencana geologi ini akan kembali terjadi, bisa di mana saja di negeri ini..
Comments
Post a Comment