https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10217920414540516&set=a.1121532477036&type=3&theater
SELAT SUNDA RAWAN TSUNAMI
TERKAIT kondisi geologi dan tektoniknya, wilayah Selat Sunda secara umum memiliki beberapa potensi kerawanan terkait bencana kebumian. Secara tektonik, wilayah Selat Sunda merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks. Di zona ini terdapat beberapa unsur tektonik pembangkit gempa bumi seperti zona tumbukan lempeng (plate collision), zona gempa di luar subduksi (outer rise), dan sebaran sesar aktif (active fault).
Zona tumbukan lempeng yang populer disebut sebagai zona megathrust
merupakan bidang kontak antar lempeng dan menjadi kawasan paling
berpeluang terjadi gempa kuat. Adanya zona sepi gempa kuat di Selat
Sunda seolah memberi pesan adanya proses akumulasi energi terkait
potensi gempa yang mungkin terjadi.
Keberadaan sesar aktif di Selat Sunda cukup banyak. Ada beberapa sistem sesar di wilayah ini, seperti terusan Sesar Mentawai, terusan Sesar Semangko, Sesar Ujung Kulon, dan sesar aktif lainnya yang belum teridentifikasi dan terpetakan.
Tingginya tingkat aktivitas gempa di Selat Sunda tercermin dari rapatnya sebaran episentum gempa atau seismisitas di Selat Sunda. Jika gempa kuat terjadi di laut tentu dapat berpotensi tsunami.
Keberadaan Gunung Anak Krakatau yang aktif di Selat Sunda memiliki potensi erupsi seperti yang sedang berlangsung saat ini. Jika proses erupsi menjadikan material letusan terakumulasi atau terjadi pembongkaran tubuh gunung api yang kemudian tumpah ke laut maka dapat memicu terjadinya tsunami seperti mega tsunami Selat Sunda akibat erupsi katastropik pada 27 Agustus 1883 yang menewaskan 36.417 jiwa manusia.
Kondisi geologi dan tektonik Selat Sunda termasuk labil, adanya struktur geologi graben yang terbentuk akibat adanya zona peregangan (stretching) di Selat Sunda dapat memicu gempa tektonik dan longsoran bawah laut yang dapat membangkitkan tsunami.
RAWAN TSUNAMI
Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, wilayah Selat Sunda memang sering terjadi tsunami. Menurut Yudhicara dan Budiono (2008) tsunami Selat Sunda tahun 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa bumi. Peristiwa tsunami tahun 416, 1883, dan 1928 berkaitan dengan material erupsi Krakatau. Sedangkan tsunami tahun 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.
Mungkin kita tidak akan tahu banyak mengenai catatan kuno tsunami Selat Sunda jika Soloviev dan Go (1974) tidak mengkompilasinya dalam tulisan yang berjudul “A Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean”. Dalam katalog ini disebutkan bahwa tsunami Selat Sunda pernah dibangkitkan oleh erupsi gunung Krakatau kuno tahun 416 yang tertulis di dalam kitab “Pustaka Raja”.
Pasca erupsi tahun 1883, Krakatau kembali erupsi tahun 1884 yang menyebabkan tsunami. Katalog Soloviev juga mengungkap gempa bumi Selat Sunda tahun 1722, 1757, dan 1852. Catatan mengenai adanya dugaan tsunami lokal juga terjadi pada tahun 1851, 1883 dan 1889.
Katalog ini juga mencatat tsunami Selat Sunda pasca tahun 1900an, seperti Tsunami Selat Sunda pada 26 Maret 1928 akibat erupsi Krakatau. Tsunami juga terjadi pada 22 April 1958 yang dibangkitkan peristiwa gempa bumi kuat yang menguncang Selat Sunda dan sekitarnya.
Berdasarkan catatan di atas tampak bahwa di Selat Sunda diperkirakan sudah terjadi peristiwa tsunami lebih dari 9 kali. Berdasarkan catatan sejarah ini, cukup kiranya menyebut bahwa Selat Sunda memang kawasan rawan tsunami.
MENAMBAH DAFTAR
Hari Sabtu malam sekira pukul 21.30 WIB, kita dikejutkan oleh adanya peristiwa tsunami yang menerjang pantai-pantai di Banten dan Lampung pasca erupsi Gunung Anak Krakatau pada pukul 21.03 WIB.
Dampak tsunami ini dilaporkan menimbulkan korban jiwa cukup banyak dan merusak banyak bangunan. Bencana tsunami Selat Sunda ini telah menambah daftar panjang peristiwa tsunami di Selat Sunda.
Hasil monitoring muka air laut oleh BMKG menunjukkan bahwa tsunami terpantau dengan baik oleh beberapa tide gauge di beberapa tempat. Tide gauge di Pantai Jambu mencatat tsunami pukul 21.27 WIB dengan ketinggian 0,9 meter. Tide gauge di Pelabuhan Ciwandan, mencatat tsunami pada pukul 21.33 WIB dengan ketinggian 0,35 meter. Sementara tide gauge Kota Agung mencatat tsunami pukul 21.35 WIB dengan ketinggian 0.36 meter. Sedangkan tide gauge Pelabuhan Panjang Kota Bandar Lampung mencatat tsunami pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0.28 meter.
Analisis seismik tidak menemukan adanya rekaman gempa bumi kuat pada waktu yang berdekatan dengan waktu sebelum terjadinya tsunami. Masyarakat Banten dan Lampung juga tidak merasakan guncangan gempa, sehingga peristiwa tsunami ini dipastikan tidak disebabkan oleh aktifitas gempa bumi tektonik.
Namun demikian, hasil monitoring aktivitas seismik oleh BMKG pada sensor Cigeulis (CGJI) tampak ada catatan aktivitas seismik sekitar pukul 20.56 WIB. Tampak jelas kalau dalam analisis digunakan low pass filter maka aktivitas seismik ini tipikal longsoran. Setelah dihitung magnitudonya setara dengan M=3,4, dengan episenter di Gunung Anak Krakatau. Berdasarkan analisis ini maka dugaan kuat mengarah bahwa pemicu tsunami adalah longsoran yang tersumber di Gunung Anak Krakatau.
Dalam perkembangannya, pakar Insar BPPT Dr. Agustan menemukan bukti-bukti lain yang mendukung adanya longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau, dimana ada perubahan morfologi yang mencolok pada citra satelit Anak Krakatau sebelum dan sesudah tsunami yang menunjukkan hilangnya sebagian daratan yang diduga longsor ke laut.
Ada fakta lain dimana Dr. Adit Gusman memodelkan inversi waktu tiba tsunami (back propagation) yang tercatat pada 4 tide gauge di sekitar Selat Sunda menunjukkan bahwa sumber tsunami berasal dari selatan Anak Krakatau.
Selain itu, hasil penelitian Giachetti dkk (2012) membuktikan adanya potensi yang besar akan terjadinya runtuhan lereng (flank collapse) dari Gunung Anak Krakatau.
Berdasarkan beberapa fakta di atas tampak bahwa tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh aktivitas gempa tektonik, tetapi akibat longsoran lereng (flank collapse) di Anak Krakatau. Adapun faktor penyebab lepasnya material di lereng Anak Krakatau adalah diduga akibat tremor vulkanik yang menerus dan curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut.
Sebagai penutup, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa tsunami ini, yaitu: (1) masyarakat pesisir pantai rawan tsunami perlu untuk semakin meningkatkan kewaspadan terhadap bahaya tsunami mengingat pada beberapa kasus tsunami akibat erupsi gunung api dan longsoran, belum dapat diberikan peringatan dini, (2) jika mengetahui ada gunung api sedang aktif erupsi di tengah laut maka penduduk pesisir pantai yang berhadapan sepatutnya meningkatkan kewaspadaan dengan tidak melakukan kegiatan di pantai yang dihadiri banyak orang, (3) Masyarakat pesisir rawan tsunami di manapun seyogyanya “rela” dan mau mengakui bahwa wilayah tempat tinggal mereka berada di kawasan rawan tsunami sehingga memudahkan proses edukasi serta upaya mitigasi.***
Compiled by Daryono BMKG
Keberadaan sesar aktif di Selat Sunda cukup banyak. Ada beberapa sistem sesar di wilayah ini, seperti terusan Sesar Mentawai, terusan Sesar Semangko, Sesar Ujung Kulon, dan sesar aktif lainnya yang belum teridentifikasi dan terpetakan.
Tingginya tingkat aktivitas gempa di Selat Sunda tercermin dari rapatnya sebaran episentum gempa atau seismisitas di Selat Sunda. Jika gempa kuat terjadi di laut tentu dapat berpotensi tsunami.
Keberadaan Gunung Anak Krakatau yang aktif di Selat Sunda memiliki potensi erupsi seperti yang sedang berlangsung saat ini. Jika proses erupsi menjadikan material letusan terakumulasi atau terjadi pembongkaran tubuh gunung api yang kemudian tumpah ke laut maka dapat memicu terjadinya tsunami seperti mega tsunami Selat Sunda akibat erupsi katastropik pada 27 Agustus 1883 yang menewaskan 36.417 jiwa manusia.
Kondisi geologi dan tektonik Selat Sunda termasuk labil, adanya struktur geologi graben yang terbentuk akibat adanya zona peregangan (stretching) di Selat Sunda dapat memicu gempa tektonik dan longsoran bawah laut yang dapat membangkitkan tsunami.
RAWAN TSUNAMI
Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, wilayah Selat Sunda memang sering terjadi tsunami. Menurut Yudhicara dan Budiono (2008) tsunami Selat Sunda tahun 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa bumi. Peristiwa tsunami tahun 416, 1883, dan 1928 berkaitan dengan material erupsi Krakatau. Sedangkan tsunami tahun 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.
Mungkin kita tidak akan tahu banyak mengenai catatan kuno tsunami Selat Sunda jika Soloviev dan Go (1974) tidak mengkompilasinya dalam tulisan yang berjudul “A Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean”. Dalam katalog ini disebutkan bahwa tsunami Selat Sunda pernah dibangkitkan oleh erupsi gunung Krakatau kuno tahun 416 yang tertulis di dalam kitab “Pustaka Raja”.
Pasca erupsi tahun 1883, Krakatau kembali erupsi tahun 1884 yang menyebabkan tsunami. Katalog Soloviev juga mengungkap gempa bumi Selat Sunda tahun 1722, 1757, dan 1852. Catatan mengenai adanya dugaan tsunami lokal juga terjadi pada tahun 1851, 1883 dan 1889.
Katalog ini juga mencatat tsunami Selat Sunda pasca tahun 1900an, seperti Tsunami Selat Sunda pada 26 Maret 1928 akibat erupsi Krakatau. Tsunami juga terjadi pada 22 April 1958 yang dibangkitkan peristiwa gempa bumi kuat yang menguncang Selat Sunda dan sekitarnya.
Berdasarkan catatan di atas tampak bahwa di Selat Sunda diperkirakan sudah terjadi peristiwa tsunami lebih dari 9 kali. Berdasarkan catatan sejarah ini, cukup kiranya menyebut bahwa Selat Sunda memang kawasan rawan tsunami.
MENAMBAH DAFTAR
Hari Sabtu malam sekira pukul 21.30 WIB, kita dikejutkan oleh adanya peristiwa tsunami yang menerjang pantai-pantai di Banten dan Lampung pasca erupsi Gunung Anak Krakatau pada pukul 21.03 WIB.
Dampak tsunami ini dilaporkan menimbulkan korban jiwa cukup banyak dan merusak banyak bangunan. Bencana tsunami Selat Sunda ini telah menambah daftar panjang peristiwa tsunami di Selat Sunda.
Hasil monitoring muka air laut oleh BMKG menunjukkan bahwa tsunami terpantau dengan baik oleh beberapa tide gauge di beberapa tempat. Tide gauge di Pantai Jambu mencatat tsunami pukul 21.27 WIB dengan ketinggian 0,9 meter. Tide gauge di Pelabuhan Ciwandan, mencatat tsunami pada pukul 21.33 WIB dengan ketinggian 0,35 meter. Sementara tide gauge Kota Agung mencatat tsunami pukul 21.35 WIB dengan ketinggian 0.36 meter. Sedangkan tide gauge Pelabuhan Panjang Kota Bandar Lampung mencatat tsunami pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0.28 meter.
Analisis seismik tidak menemukan adanya rekaman gempa bumi kuat pada waktu yang berdekatan dengan waktu sebelum terjadinya tsunami. Masyarakat Banten dan Lampung juga tidak merasakan guncangan gempa, sehingga peristiwa tsunami ini dipastikan tidak disebabkan oleh aktifitas gempa bumi tektonik.
Namun demikian, hasil monitoring aktivitas seismik oleh BMKG pada sensor Cigeulis (CGJI) tampak ada catatan aktivitas seismik sekitar pukul 20.56 WIB. Tampak jelas kalau dalam analisis digunakan low pass filter maka aktivitas seismik ini tipikal longsoran. Setelah dihitung magnitudonya setara dengan M=3,4, dengan episenter di Gunung Anak Krakatau. Berdasarkan analisis ini maka dugaan kuat mengarah bahwa pemicu tsunami adalah longsoran yang tersumber di Gunung Anak Krakatau.
Dalam perkembangannya, pakar Insar BPPT Dr. Agustan menemukan bukti-bukti lain yang mendukung adanya longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau, dimana ada perubahan morfologi yang mencolok pada citra satelit Anak Krakatau sebelum dan sesudah tsunami yang menunjukkan hilangnya sebagian daratan yang diduga longsor ke laut.
Ada fakta lain dimana Dr. Adit Gusman memodelkan inversi waktu tiba tsunami (back propagation) yang tercatat pada 4 tide gauge di sekitar Selat Sunda menunjukkan bahwa sumber tsunami berasal dari selatan Anak Krakatau.
Selain itu, hasil penelitian Giachetti dkk (2012) membuktikan adanya potensi yang besar akan terjadinya runtuhan lereng (flank collapse) dari Gunung Anak Krakatau.
Berdasarkan beberapa fakta di atas tampak bahwa tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh aktivitas gempa tektonik, tetapi akibat longsoran lereng (flank collapse) di Anak Krakatau. Adapun faktor penyebab lepasnya material di lereng Anak Krakatau adalah diduga akibat tremor vulkanik yang menerus dan curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut.
Sebagai penutup, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa tsunami ini, yaitu: (1) masyarakat pesisir pantai rawan tsunami perlu untuk semakin meningkatkan kewaspadan terhadap bahaya tsunami mengingat pada beberapa kasus tsunami akibat erupsi gunung api dan longsoran, belum dapat diberikan peringatan dini, (2) jika mengetahui ada gunung api sedang aktif erupsi di tengah laut maka penduduk pesisir pantai yang berhadapan sepatutnya meningkatkan kewaspadaan dengan tidak melakukan kegiatan di pantai yang dihadiri banyak orang, (3) Masyarakat pesisir rawan tsunami di manapun seyogyanya “rela” dan mau mengakui bahwa wilayah tempat tinggal mereka berada di kawasan rawan tsunami sehingga memudahkan proses edukasi serta upaya mitigasi.***
Compiled by Daryono BMKG
Comments
Post a Comment