Skip to main content

TSUNAMI ADALAH AIR MANDIKU, GEMPA ADALAH AYUNANKU : TERKENANG KEARIFAN TRADISIONAL DI SIMEULUE , ACEH


https://www.facebook.com/Dr.IchwanAzhari/posts/657500904648091

TSUNAMI ADALAH AIR MANDIKU, GEMPA ADALAH AYUNANKU : TERKENANG KEARIFAN TRADISIONAL DI SIMEULUE , ACEH
Kemarin sore (22.12.2018) Tsunami menghantam pesisir Selat Sunda. Dan ntah kebetulan, saya masih terhenyak dengan puisi tentang tsunami, saat paginya kami menyidangkan disertasi doktor antropolinguistik USU, yang membuka presentase disertasinya tentang nyanyian memahami tsunami (smong) di pulau Simeulue , Aceh.
Tasnin Lubis, menulis disertasi tentang Nandong, puisi yang dinyanyikan dalam tradisi lisan Simeulue. Dengan tradisi sejarah pemahaman tentang gejala tsunami, orang Simeulue selamat dari hantaman bah besar yang meluluh lantakkan, sementara di daratan Aceh, sekitar 200 ribu orang tewas. Masyarakat Simeulue pun mendapat penghargaan dari Jepang atas kemampunnya menyelamatkan tradisi lisan yang sekaligus menyelamatkan jiwa mereka dari hempasan smong (tsunami). Kisah tentang smong akrab sekali bagi saya karena pernah 2 tahun ikut bekerja dengan NGO Jerman dalam program rehabilitasi pasca tsunami di pulau Simeulue (2005-2007).

Tasnim di ruang sidang disertasi pascasarjana USU yang dipimpin oleh promotornya Prof Robert Sibarani membacakan bait bait puisinya,..." tsunami adalah air mandiku/gempa adalah ayunanku...". Puisi yang sarat makna ini menjelaskan bahwa mereka sudah akrab dengan bencana, sehingga bencana menjadi bagian dari kehidupan orang di negeri bencana. Sajaknya tentang bencana tapi tak mencekam, mereka telah menguasai bencana.
Dalam diskusi team perumus Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) November-Desember 2018, kearifan tradisional berkaitan tentang kebencanaan merupakan topik hangat yang diusulkan salah seorang anggota team perumus. Semua anggota team yang 15 orang sepakat menerima pentingnya tema ini dimasukkan dan menjadi salah satu rumusan KKI.
Berabad abad leluhur kita hidup di lahan bergoyang, di bibir deburan tsunami, di lereng gunung api, dibalik angin topan. Berabad abad leluhur kita belajar dan menyiasati bagaimana hidup di kawasan "bencana" ini. Lahirlah sistem pengetahuan yang kaya, mulai dari arsitektur tahan gempa, isyarat tsunami dari alam, larangan tinggal di kawasan kawasan yang rawan, melarang menebang pohonan tepian pantai dan beragam pengetahuan lainnya.
Sebagian warisan itu hidup dalam berbagai teks, tradisi lisan, rumah tradisional, pilihan tempat tinggal. Tapi memang kita melupakan itu, atau tak peduli dengan itu, atau demi alasan ekonomi jangka pendek masa kini, kita terjang segala pengetahuan lama membaca alam itu.
Sambil turut berduka pada bencana tsunami di pesisir Selat Sunda, eloklah kita merenung kekayaan warisan pengetahuan lama kita yang mampu mendeteksi dan mengatasi datangnya bencana. (Ichwan Azhari)

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong.

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write the program state and capture the external inputs from the G