Sumber:
http://catatansimpel.wordpress.com/2013/10/31/fenomena-dutch-disease-dan-fenomena-ujian-nasional/
Ujian nasional (UN) adalah produk kreatifitas anak bangsa Indonesia dan
Kementrian Diknas sudah terlanjur bilang bahwa UN adalah baik dan
penting bagi bangsa.
Ketika masyarakat (kepala sekolah, guru, orang tua siswa, siswa, dll.)
mengikuti logika Diknas maka resources (tenaga, pikiran, waktu, ruang,
uang, dll.) akan mulai bergerak dan berkumpul di seputar UN. Urusan
sekolah yang tidak terkait dengan UN (sektor non-UN) dengan mudah akan
tersisihkan dan bisa relatif dianggap tidak penting sehingga tidak akan
mendapatkan resources yang memadai. Segala kehormatan sekolah
dipertaruhkan di UN.
Demi sukses mencapai UN, terutama untuk kelas tiga sekolah menengah,
sekolah bisa secara naluriah mengabaikan sektor non-UN dan kegiatan
sehari-harinya terkonsentrasi ke pembahasan materi soal-soal UN.
Pendidikan di sekolah tiba-tiba berubah seperti kegiatan lembaga
bimbingan belajar.
Apakah ini penggambaran yang berlebihan? Mungkin saja iya: lebay deh
kamu. :-)
Namun yang menarik adalah bahwa fenomena UN ini mirip dengan fenomena
Dutch disease dalam ilmu ekonomi. Dutch disease adalah fenomena dari
penemuan natural resources yang semula dianggap sebagai hal yang baik
dan penting bagi suatu bangsa namun ternyata secara alamiah ia menyimpan
potensi yang bisa merusak tatanan perekonomian nasional secara keseluruhan.
Bagaimana menjelaskannya?
Sebelum tahun 1959, landasan yang kokoh dari perekonomian Belanda
terletak pada sektor produk olahan (manufacturing) dan pertanian untuk
diekspor. Pada tahun 1959 ditemukan cadangan gas alam (natural gas)
dalam jumlah besar di Belanda. Setelah ditambang dan diekspor, gas alam
ini menghasilkan devisa yang besar. Ketika devisa ini dikonversikan ke
dalam mata uang Belanda guilder (gulden) maka gulden mengalami penguatan
dan ini mengakibatkan gejala real exchange rate appreciation. Gulden
mengalami overvalued.
Dengan gulden yang overvalued maka harga-harga produk olahan dan
pertanian Belanda menjadi relatif mahal di pasar internasional. Kedua
sektor perekonomian ini menjadi tidak kompetitif lagi di pasar
internasional. Akibatnya ekspor dari kedua sektor ini mengalami
penurunan yang drastis. Profit dari kedua sektor ini pun mengalami
penurunan yang drastis pula. Bila suatu sektor perekonomian mengalami
penurunan profit yang drastis maka resources (modal, pikiran, waktu
dsb.) tidak akan mengalir kesana. Akibatnya sektor produk olahan dan
pertanian di Belanda mengalami kemunduran. Padahal kedua sektor ini
semula merupakan landasan yang kuat dari perekonomian Belanda dan
fondasi ini telah mulai digerogoti oleh penemuan gas alam.
Masalah menjadi semakin runyam manakala kelak cadangan gas alam mulai
menipis dan sektor produk olahan dan pertanian sudah terlanjur rusak.
Fondasi perekonomian Belanda pun rusak. Belanda memasuki masa resesi di
tahun 1960-an.
Dutch disease dialami Indonesia pada tahun 1974 dan 1979 dengan
minyaknya. Dialami Australia di abad 19 dengan emasnya. Dialami Rusia di
tahun 2000-an dengan minyak dan gas alamnya. Dialami Spanyol di abad 16
dengan emasnya, dan masih banyak lagi.
Itulah fenomena yang disebut Dutch disease. Sesuatu yang semula dianggap
baik dan penting tapi ternyata ia menyimpan potensi yang merusak dengan
hebat.
Apakah sistem pendidikan di Indonesia mengalami Dutch disease dengan
UN-nya? Entahlah.
Tambahan informasi: topik Dutch disease ini mengantarkan Mari Pangestu
(Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) menyelesaikan disertsi PhD di
University of California, Davis, tahun 1986 dan mengantarkan Rizal Ramli
(mantan Menteri Perekonomian) menyeesaikan disertasi PhD di Boston
University, tahun 1990.
Catatan:
* Bagi yang tertarik melihat model metematik untuk Dutch disease,
silakan diklik link berikut:
http://www.sublettewyo.com/archives/43/booming_secor_and_de-industrialization[1].pdf
http://catatansimpel.wordpress.com/2013/10/31/fenomena-dutch-disease-dan-fenomena-ujian-nasional/
Ujian nasional (UN) adalah produk kreatifitas anak bangsa Indonesia dan
Kementrian Diknas sudah terlanjur bilang bahwa UN adalah baik dan
penting bagi bangsa.
Ketika masyarakat (kepala sekolah, guru, orang tua siswa, siswa, dll.)
mengikuti logika Diknas maka resources (tenaga, pikiran, waktu, ruang,
uang, dll.) akan mulai bergerak dan berkumpul di seputar UN. Urusan
sekolah yang tidak terkait dengan UN (sektor non-UN) dengan mudah akan
tersisihkan dan bisa relatif dianggap tidak penting sehingga tidak akan
mendapatkan resources yang memadai. Segala kehormatan sekolah
dipertaruhkan di UN.
Demi sukses mencapai UN, terutama untuk kelas tiga sekolah menengah,
sekolah bisa secara naluriah mengabaikan sektor non-UN dan kegiatan
sehari-harinya terkonsentrasi ke pembahasan materi soal-soal UN.
Pendidikan di sekolah tiba-tiba berubah seperti kegiatan lembaga
bimbingan belajar.
Apakah ini penggambaran yang berlebihan? Mungkin saja iya: lebay deh
kamu. :-)
Namun yang menarik adalah bahwa fenomena UN ini mirip dengan fenomena
Dutch disease dalam ilmu ekonomi. Dutch disease adalah fenomena dari
penemuan natural resources yang semula dianggap sebagai hal yang baik
dan penting bagi suatu bangsa namun ternyata secara alamiah ia menyimpan
potensi yang bisa merusak tatanan perekonomian nasional secara keseluruhan.
Bagaimana menjelaskannya?
Sebelum tahun 1959, landasan yang kokoh dari perekonomian Belanda
terletak pada sektor produk olahan (manufacturing) dan pertanian untuk
diekspor. Pada tahun 1959 ditemukan cadangan gas alam (natural gas)
dalam jumlah besar di Belanda. Setelah ditambang dan diekspor, gas alam
ini menghasilkan devisa yang besar. Ketika devisa ini dikonversikan ke
dalam mata uang Belanda guilder (gulden) maka gulden mengalami penguatan
dan ini mengakibatkan gejala real exchange rate appreciation. Gulden
mengalami overvalued.
Dengan gulden yang overvalued maka harga-harga produk olahan dan
pertanian Belanda menjadi relatif mahal di pasar internasional. Kedua
sektor perekonomian ini menjadi tidak kompetitif lagi di pasar
internasional. Akibatnya ekspor dari kedua sektor ini mengalami
penurunan yang drastis. Profit dari kedua sektor ini pun mengalami
penurunan yang drastis pula. Bila suatu sektor perekonomian mengalami
penurunan profit yang drastis maka resources (modal, pikiran, waktu
dsb.) tidak akan mengalir kesana. Akibatnya sektor produk olahan dan
pertanian di Belanda mengalami kemunduran. Padahal kedua sektor ini
semula merupakan landasan yang kuat dari perekonomian Belanda dan
fondasi ini telah mulai digerogoti oleh penemuan gas alam.
Masalah menjadi semakin runyam manakala kelak cadangan gas alam mulai
menipis dan sektor produk olahan dan pertanian sudah terlanjur rusak.
Fondasi perekonomian Belanda pun rusak. Belanda memasuki masa resesi di
tahun 1960-an.
Dutch disease dialami Indonesia pada tahun 1974 dan 1979 dengan
minyaknya. Dialami Australia di abad 19 dengan emasnya. Dialami Rusia di
tahun 2000-an dengan minyak dan gas alamnya. Dialami Spanyol di abad 16
dengan emasnya, dan masih banyak lagi.
Itulah fenomena yang disebut Dutch disease. Sesuatu yang semula dianggap
baik dan penting tapi ternyata ia menyimpan potensi yang merusak dengan
hebat.
Apakah sistem pendidikan di Indonesia mengalami Dutch disease dengan
UN-nya? Entahlah.
Tambahan informasi: topik Dutch disease ini mengantarkan Mari Pangestu
(Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) menyelesaikan disertsi PhD di
University of California, Davis, tahun 1986 dan mengantarkan Rizal Ramli
(mantan Menteri Perekonomian) menyeesaikan disertasi PhD di Boston
University, tahun 1990.
Catatan:
* Bagi yang tertarik melihat model metematik untuk Dutch disease,
silakan diklik link berikut:
http://www.sublettewyo.com/archives/43/booming_secor_and_de-industrialization[1].pdf
Comments
Post a Comment