Skip to main content

Hak Waris Adat Minang adil kah ?,…….(renungan dan Kajian )

Sumber: http://dery1.wordpress.com/2010/05/18/hak-waris-adat-minang-adil-kah-renungan-dan-kajian/

Sistem Kepemilikan
1. Harta
Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat, orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat lebih terpandang orang atau kaum yang banyak memiliki harta pusaka ini, dan tidak karena dibeli. Sampai sekarang khusus mengenai harta pusaka berupa sawah ladang masih ada perbedaan pendapat tentang pembagian jenis harta tersebut.Perbedaan pendapat ini detemui ketika diadakan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan dari tanggal 21 s/d 25 Juli 1968, dengan titik tolak yang diseminarkan adalah Hukum Tanah dan Hukum Waris. Sebelum seminar yang diadakan di Padang ini sebelumnya juga telah diadakan rapat lengkap adat di Bukittinggi yang permasalahannya juga berkaitan dengan materi seminar diatas. Pada pertemuan adat yang diadakan di Bukittingi telah diputuskan dengan kongkrit, bahwa harta orang Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bahagian, yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta Pusaka Pencaharian. Dilain pihak, pendapat ini tidak disetujui, dan mengatakan harta di Minangkabau ada pusaka tinggi, ada pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu adalah sebagai berikut:
1. Harta Pusaka Tinggi
2. Harta Pusaka Rendah
3. Harta Pencaharian
4. Harta Suarang
Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.
Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini sebagai hasil galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang dan paling kurang setelah lima generasi disebut sebagai harta pusaka tinggi.
Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat sako.
Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka bersalin), karena persalinan terjadi dari generasi ke generasi selanjutnya.
Harta Pusaka Rendah
Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung Hijau dalam kertas kerjanya waktu Seminar Hukum Adat Minangkabau mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh
dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris. Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang mengatakan bahwa yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau perladangan baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah ladangnya yang baru. Pendapat yang kedua terakhir merupakan pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa berhak secara bersama.
Harta pencaharian
Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas. Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.
Harta suarang
Suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri, dan merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik “surang” atau milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi” (suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.
2. Pewarisan Harta Pusaka
Ada yang perlu untuk dijelaskan yang berkaitan dengan pewarisan ini, yaitu waris, pewaris, warisan dan ahli waris. Waris adalah orang yang menerima pusaka. Pewaris adalah orang yang mewariskan. Warisan adalah benda yang diwariskan: Pusaka peninggalan. Sedangkan ahli waris semua orang yang menjadi waris. Hubungan antara yang mewariskan dengan yang menerima warisan dapat dibedakan atas dua bahagian, yaitu:
Waris Nasab atau Waris Pangkat
Waris nasab maksudnya antara si pewaris dengan yang menerima warisan terdapat pertalian darah berdasarkan keturunan ibu. Harta pusaka tinggi yang disebut pusako secara turun temurun yang berhak mewarisi adalah anggota kaum itu sendiri yaitu pihak perempuan. Hal ini sesuai dengan garis keturunan matrilineal. Mengenai pewarisan gelar pusaka yang disebut sako sepanjang adat tetap berlaku dari mamak kepada kemenakan laki-laki. Dalam kewarisan sako ini dikatakan: Ramo-ramo sikumbang jatiKatik endah pulanga bakudoPatah tumbuah hilang baganti Pusako lamo baitu pulo Waris nasab yang berkaitan dengan sako dapat pula dibagi atas dua bahagian yaitu:
a. Warih Nan Salurui (waris yang selurus).
Dalam adat dikatakan saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak. (selurus keatas selurus kebawah, yang sepayung sepetagak). Artinya keturunan setali darah sehingga delapan kali keturunan atau disebut juga empat keatas, empat kebawah menurut ranji yang benar. Sebuah contoh, jika anggota kaum sudah berkembang, yang pada mulanya dari tiga orang nenek. Turunan laki-laki dari ketiga nenek ini sama-sama berhak untuk memakai pusaka kaum yang dimiliki. Gelar pusaka kaum tadi tidak boleh pindah atau digantikan kepada lingkungan kaum lainnya, selain dari kaum keluarga ketiga nenek yang sekaum ini dalam adat dikatakan “suku dapek disakoi, pusako dipusakoi” (suku dapat disukui pusaka dapat dipusakai), maksudnya gelar pusaka dapat digantikan dan harta pusaka boleh dipusakai.
b. Warih Nan Kabuliah (waris yang dibenarkan)
Dalam adat dikatakan “jauah dapek ditunjuakkan dakek dapek dikakokkan, satitiak bapantang hilang, sabarih bapantang lupo”, (jauh dapat ditunjukkan, dekat dapat dipegang, setitik berpantang hilang, sebaris berpantang lupa). Maksudnya belahan yang asli dari sebuah kaum yang sampai sekarang masih dapat dicari asal usulnya secara terang. Dalam adat hal seperti ini disebut “gadang nan bapangabuangan, panjang nan bapangarek-an, laweh nan basibiran, anak buah nan bakakambangan”, (besar yang berpengabuan, panjang yang berpengeretan, luas yang bersibiran, anak buah yang berkekembangan). Sebab contoh sebuah anggota kaum pindah kesebuah nagari yang berdekatan dan kemudian menetap sebagai penduduk di nagari tersebut karena sudah berkembang maka mereka ingin untuk mengangkat gelar kebesaran kaum. Pada kaum yang ditinggalkannya mempunyai gelar pusaka Datuak Marajo. Di tempat baru belahan kaum yang pindah ini dapat pula mengangkat gelar Datuak Marajo. Sepanjang adat yang dapat memakai gelar pusaka kaum adalah orang yang ada pertalian darah. Kemenakan bertali adat, bertali budi tidak dibenarkan memakai gelar kebesaan kaum karena tidak bertali darah. Adat mengatakan “sako tatap pusako baranjak” (sako tetap, pusaka beranjak), artinya gelar pusaka tidak dapat berpindah dari lingkungan keturunan asli kecuali harta pusaka. Beranjaknya harta pusaka sperti adanya pemindahan hak yang terjadi karena pupus, gadai dan lain-lain. Gelar pusaka kaum tidak dibenarkan dipakai oleh orang di luar kaum, ini dengan alasan bila terjadi akan membawa dampak negatif dari kaum tersebut. Adat mengatakan dimano batang tagolek, disinan cindawan tumbuah (dimana batang rebah disana cendawan tumbuh). Ketentuan adat ini mempunyai pengertian bila gelar pusaka itu dipakai oleh seseorang, maka menurut adat orang yang memakai gelar pusaka ini akan diikuti kebesarannya oleh harta pusaka yang ada pada kaum itu. Dengan arti kata semua harta pusaka tinggi yang ada pada kaum itu berada di tangannya, dan kaum tadi akan bermamak kepada penghulu baru ini yang tidak seketurunan dengannya. Kalau ini terjadi dikatakan “kalah limau dek banalu” (kalah limau karena benalu).
Warih Sabab atau Warih Badan (waris sebab atau waris badan).
Waris “sebab” maksudnya hubungan antara pewaris dengan yang menerima warisan tidaklah karena hubungan darah, tetapi karena sebab. Di dalam adat dikatakan “basiang dinan tumbuah, menimbang dinan ado”, bersiang bila sudah ada yang tumbuh, menimbang bila sudah ada). Waris sebab ini seperti karena bertali adat, berali buat, dan bertali budi. Waris sebab hanya yang menyangkut harta pusaka. Waris sebab ini dibedakan atas tiga bahagian, yaitu:
a. Warih Batali Adat (waris bertali adat).
Waris bertali adat seperti hubungan sesuku. Mungkin terjadi sebuah kaum punah, dengan arti keturunan untuk melanjutkan kaum itu tidak ada lagi menurut garis ke-ibuan, akhirnya harta pusaka dari kaum yang punah tersebut dapat jatuh kepada kaumyang sesuku dengannya di kampung tersebut.
b. Warih Batali Buek (waris bertali buat)
Buek artinya peraturan atau undang-undang. Waris bertali buek maksudnya waris berdasarkan peraturan yaitu peraturan sepanjang yang dibenarkan oleh adat.
Warih batali buek ini berlaku “manitiak mako ditampuang, maleleh mako di palik, sasuai mako takanak, saukua mako manjadi” (menitik maka ditampung, meleleh maka dipalit, sesuai maka dikenakan, seukur maka menjadi). Sebagai contoh seorang bapak yang sudah punah keluarganya maka atas mufakat dengan waris bertali adat si bapak dapat memberikan harta pusaka kepada anaknya, tetapi tidak gelar pusaka dari kaum.
c. Warih Batali Budi (waris bertali budi).
Menjadi waris karena kebaikan budi dari kaum yang didatanginya karena rasa kasihan dan tingakah lakunya yang baik sehingga sudah dianggap anak kemenakan, dia diberi hak atas harta pusaka namun demikian tergantung pada kata mufakat dalam kaum tersebut.
Waris menurut adat Minangkabau tidak ada istilah “putus” karena dalam warisan ini adat menggariskan “adanya” waris yang bertali adat, bertali buek, bertali budi dan hal ini bila ada kesepakatan kaum. Bila kaum itu punah warisan jatuh kepada waris yang bertalian dengan suku dan bila yang sesuku tidak ada pula harta pusaka kaum yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik mamak nagarilah yang menentukan. Menurut Doktor Iskandar Kemal SH., bila tidak ada perut yang terdekat, anggota waris yang terakhir dapat menentukan sendiri waris yang terdekat dari orang-orang yang bertali adat untuk melanjutkan hak-hak dari perut itu, sesudah punah sama sekali, baru ditentukan oleh kerapatan adat nagari.G.3. Tanah UlayatTanah ulayat, tanah yang sudah ditentukan pemilik-pemiliknya tetapi belum diusahakan. Untuk jelasnya dapat dikemukakan yang punya tanah ulayat tersebut hanya nagari dan suku dan di luar dari harta pusaka tinggi. Tanah ulayat nagai yaitu tanah yang dimiliki bersama oleh sebuah nagari dan dikuasai secara bersama oleh penghulu-penghulu yang ada dalam nagari tersebut dan pengawasannya diserahkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Demikian pula tanah ulayat suku, dikuasai secara bersama oleh suatu suku dan pengawasannya diserahkan kepada kepala suku. Hak ulayat menurut hukum adat adalah hak yang tertinggi. Seseorang yang menguasai bukanlah memiliki hak ulayat, hanya dapat mempunyai hak sementara. Ketentuan-ketentuan mengenai tanah ulayat adalah sebagai berikut:
Memberi hak untuk memungut hasil warga persekutuan atas tanah dan segala yang tumbuh diatas tanah tersebut seperti mengolah tanah, mendirikan tempat pemukiman, menangkap ikan, mengambil kayu perumahan, mengembalakan ternak, mengambil hasil hutan dan lain-lain. Kesemuanya harus setahu atau seizin dari penghulu-penghulu atau yang mengawasi tanah ulayat tersebut. Hak-hak perseorangan terhadap tanah ulayat dibatasi oleh hak persekutuan. Hak perseorang tetap diawasi dan jangan sampai terjadi pemakaian hak perseorangan terhadap tanah ulayat itu berpindah tangan seperti jual beli. Persekutuan atau pemegang hak tanah ulayat dapat menunjuk atau menetapkan sebagian dari tanah ulayat untuk kepentingan umum. Untuk kepentingan umum ini seperti untuk lokasi pembangunan mesjid, sekolah, tempat pemakaman umum, lapangan olah raga dan lain-lain. Tanah ulayat yang dikerjakan diberi jangka waktu. Tanaman muda tidak diadakan pembagian dengan yang punya hak ulayat, sedangkan tanaman keras yang ditanam, seperdua menjadi hak pemilik ulayat, seperdua untuk orang yang mengerjakan. Bila yang diolah tanah ulayat nagari, maka hasilnya nagari akan memanfaatkannya untuk kepentingan nagari. Dulunya untuk mendirikan balairung adat, bangunan mesjid dan lain-lain. Apabila terjadi delik-delik berat, seperti pembunuhan di tanah ulayat dan yang mati itu bukan anggota warga yang punya ulayat, maka untuk menjaga jangan sampai terjadi permusuhan, yang punya ulayat harus membayar secara adat. Mamangannya mengatakan “luko bataweh, bangkak batambak – tangih bapujuak, ratok bapanyaba”.
Orang yang berasal dari lain nagari dapat memperoleh sebidang tanah pada tanah ulayat dan diperbolehkan manaruko atas dasar persetujuan terlebih dahulu. Walaupun sudah diberi secara adat, tetapi status tanahnya masih menjadi wilayah nagari. Sawah yang ditaruko selama enam musim kesawah boleh dimiliki seluruhnya. Setelah itu hasil tanah ulayat tadi seperduanya harus diserahkan kepada yang punya ulayat. Pada dasarnya tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan, terutama untuk kebutuhan ekonominya. Kalau pemakaian tanah ulayat bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya, maka disini berlaku ketentuan adat karimbo babungo kayu, kasawah babungo ampiang, kalauik babungo karang (kerimba berbunga kayu, kesawah berbunga emping, kelaut berbunga karang), dengan arti kata harus dikeluarkan sebahagian hasilnya untuk kepentingan suku dan nagari demi pembangunan nagari.
Sebenarnya tanah ulayat juga merupakan tanah cadangan bagi anak kemenakan, seandainya terjadi pertumbuhan penduduk dari tanah ulayat itulah sumber pendapatan bagi kesejahteraannya dan pembangunan nagari. Bila direnungkan secara mendalam betapa jauhnya pandangan kedepan dari tokoh-tokoh adat Minangkabau pada masa dahulunya.
4. Pemindahan Hak
Terlebih dahulu dikemukakan pengertian pemindahan hak untuk memperjelas permasalahan yang akan dibicarakan. Pemindahan hak maksudnya berpindahnya hak, baik hak memiliki, menguasai maupun memungut hasil, karena terjadinya sesuatu transaksi antara seseorang atau kelompok kepada pihak lain. Pada mulanya pemindahan hak terhadap harta pusaka tinggi tidak tertulis, tetapi sejak dikenal tulis baca dengan aksara arab dan kemudian aksara latin maka pemindahan hak itu sudah dibuat secara tertulis.
Pamindahan hak yang dikenal sampai saat sekarang ini adalah sebagai berikut:
1. Jual Beli
Menurut adat menjual harta pusaka tinggi dilarang apalagi untuk kepentingan pribadi si penjual. Menjual harta pusaka berarti tidak mengingat masa yang akan datang, terutama bagi generasi kaumnya. Adanya suatu anggapan bahwa orang yang menjual harta pusaka yang tidak menurut semestinya hidupnya tidak akan selamat, karena kutukan dari nenek moyang mereka yang sudah bersusah payah mewariskannya. Namun demikian ditemui juga dewasa ini penjualan harta pusaka dengan berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
Tanah pusaka itu tidak produktif lagi, tidak bisa dijadikan sawah maupun ladang. Lantas dijual dan dipergunakan untuk membangun pabrik perkantoran dan perumahan. Yang penting tentu atas kesepakatan anggota kaum.Tidak ada yang mengurus sehingga
terlantar. Ahli waris merantau dan tipis kemungkinan untuk pulang mengurus harta pusaka itu.Harta pusaka dijual dengan tujuan untuk dibelikan uangnya kembali kepada benda yang lain yang lebih produktif, benda itulah yang kemudian berstatus harta pusaka.Kesemuanya itu dapat terjadi bila ada kesepakatan seluruh anggota kaum baik yang dirantau maupun yang dikampung.
2. Gadai
Harta pusaka dapat digadaikan kalau berkaitan dengan kepentingan kaum atau menjaga martabat kaum. Ada ketentuan adat harta pusaka itu digadaikan bila ditemui hal sebagai berikut:
1. Adat tidak berdiri, seperti pengangkatan penghulu
2. Rumah gadang ketirisan
3. Gadih gadang tidak bersuami
4. Mayat terbujur di tengah rumah
Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota ahli waris harta pusaka tersebut sudah sepakat. Jadi untuk menggadaikan harta pusaka syaratnya sangat berat. Dengan digadaikan harta itu dapat ditebus kembali dan tetap menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum “sabarek sapikua” (seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.
Si penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas persesuaian kedua belah pihak. Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau emas tadi. Berkaitan dengan pegang gadai ini, perlu juga disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp th 1960 (undang-undang pokok agraria-UUPA) yang berbunyi:“barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen”.
Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pegang gadai. Pada umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya dibelakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pegang gadai di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara azaz kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial.
3. Hibah
Disamping pegang gadai, yang dibolehkan juga oleh adat adalah hibah. Hibah berasal dari bahasa arab “hibbah” yang artinya pemberian, misalnya pemberian seorang ayah kepada anak berupa harta pusaka. Pemberian ini timbul karena alasan kasih sayang dan tanggung jawab kepada anaknya. Ada tiga macam hibah dalam adat yaitu:
1. Hibah Lapeh
Hibah lapeh adalah pemberian dari seorang ayah kepada anaknya untuk selama-lamanya. Dalam adat pemberian seperti ini dikatakan “salamo dunia takambang, salamo gagak hitam, salamo aia ilia”, (selama dunia terkembang, selama gagak hitam, selama air hilir). Yang menjadi syaratnya adalah sepakat waris kaum yang bertali darah. Bila habis yang bertali darah harus sepakat waris yang bertali adat. Hibah laleh ini jarang terjadi karena tidak mungkin waris yang dikatakan di atas habis sama sekali. Kalau terjadi juga tidaklah dihibahkan seluruhnya, paling kurang sebagian kecil dari harta keseluruhan. Inipun tergantung kepada persetujuan bersama. Adat mengatakan “hibah basitahu-tahu, gadai bapamacik, jua bapalalu”, (hibah saling mengetahui, gadai berpegangan, jual berpelalu).
2. Hibah Bakeh, (hibah bekas)
Adalah pemberian harta dari ayah kepada anak. Hibah bakeh ini sifatnya terbatas yaitu selama anak hidup. Bila ada anaknya tiga orang tidak jadi soal, yang pokok bila anak-anaknya ini telah meninggal, maka harta yang dihibahkan kembali kepada kaum ayahnya. Di dalam adat hibah bakeh ini dikatakan “kabau mati kubangan tingga, pusako kanan punyo”, (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).
3. Hibah Pampeh
Hibah pampeh atau hibah pampas yaitu pemberian harta dari ayah kepada anaknya caranya yang berbeda karena kasih sayang kepada anak, si ayah mengatakan kepada anggota kaumnya, bahwa selama ini ia telah menggunakan uang anak-anaknya itu untuk biaya hidup dan biaya karena sakit-sakitan. Untuk itu buat sementara sawah sekian piring dibuat dan diambil hasilnya oleh anak-anaknya. Sawah itu jatuh kembali kepada ayahnya bila kaum ayahnya punya kesanggupan untuk mengganti uang anaknya yang terpakai. Hibah pampeh ini hanyalah merupakan pampasan dan hanya sebagai siasat dari sang ayah untuk membantu anak-anaknya (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).Muncul istilah hibah bukan berarti pemberian seorang kepada orang lain, seperti dari ayah kepada anak tidak dikenal sebelum masuknya islam ke Minangkabau. Sebelumnya dalam adat istilah pemberian berupa hibah ini adalah “agiah laleh” (agiah lalu), agiah bakeh, dan agiah pampeh.
4. Wakaf
Wakaf adalah suatu hukum islam yang berlaku terhadap harta benda yang telah diikrarkan oleh pewakaf, yaitu orang yang berwakaf kepada nadzir (orang yang menerima dan mengurus wakaf).
Kata wakaf berasal dari bahasa arab yang berarti terhenti dari peredaran, atau menahan harta yang sumber atau aslinya tidak boleh diganggu gugat, dan membuat harta itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, terhadap harta benda yang telah diwakafkan tidak boleh diambil kembali oleh pihak yang berwakaf atau ahli warisnya dan tidak boleh pula dianggap milik sendiri oleh pihak yang mengurusnya. Wakaf yang berupa tanah di Minangkabau sering dipergunakan untuk kepentingan sosial seperti untuk pendirian surau, mesjid, panti asuhan, sekolah dan lain-lain. (Kesepakatan kaum dalam mewakafkan harta pusaka adalah syarat utama yang perlu dicapai).
Masyarakat Minangkabau adalah berbeda secara geografis dengan masyarakat Sumatera Barat, karena masyarakat Minagkabau kalau ditarik secara kultural meliputi sebagian dataran kerinci dan sebagian jambi. Didalam hukum waris adat Minangkabau harta terbagi atas dua macam:
1.      Harta pusaka tinggi
2.      Harta pusaka rendah
1.      Harta pusaka tinggi adalah harta yang diperoleh secara turun temurun yang tidak dapat dialihkan kepemilikannya, tetapi hanya dapat dinikmati hasilnya untuk kepentingan bersama.
2.      Harta pusaka rendah adalah harta yang dapat diwariskan atau dialihkan kepemilikannya. Harta pusaka rendah bermacam-macam jenisnya yaitu harta suarang, harta bawaan, harta pencarian. Contohnya adalah tanah yang diperoleh sepasang suami istri sejak pernikahannya, mobil yang dibawa kedalam perkawinan, dan lain-lain.
Kedudukan kaum lelaki di Minangkabau memang unik, terutama di dalam masyarakat tradisionalnya. Keunikan ini berakar dari kultur matrialineal yang hingga kini masih dianut oleh masyarakat Minangkabau. Salah satu keunikan itu adalah kaum lelakinya tidak memiliki hak warisan atas pusaka turunan. Yang berhak menerima warisan pusaka dari orangtuanya adalah kaum perempuan. Selain dari itu, lelaki minang juga tidak menurunkan suku (marga)-nya kepada anaknya sendiri, melainkan kepada anak saudara perempuannya atau kemenakan. Jika pun seorang lelaki berdiam di rumah orangtuanya setelah berkeluarga dan menggarap sawah ladang orang tuanya sendiri, itu bukan berarti ia dapat menurunkan warisan itu kepada anak-anaknya kalau ia meninggal nanti, sekalipun lelaki itu tidak memiliki saudara perempuan seayah-seibu, toh masih ada saudara perempuan sepupu untuk menerima warisan itu. Malah, tinggal dan menggarap sawah ladang di rumah dan tanah orangtua sendiri, di tanah Minang adalah aib.
Dari sudut pandang patrialineal, status kaum lelaki di Minangkabau itu menyedihkan. Tapi, bagaimanakah hal itu dapat diterima oleh orang Minangkabau sendiri tanpa protes? Buktinya, hingga saat ini belum ada perubahan yang signifikan. Kalau pun terjadi anak-anak suku Minang menerima warisan dari orangtuanya, sudah barang tentu harta warisan itu tidak berasal dari warisan turun-temurun (pusaka tinggi), melainkan harta yang berasal dari tetes keringat orangtuanya sendiri atau yang disebut dengan pusaka rendah.
Menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini menimbulkan kontoversi dari sebagian ulama.
Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Agus Salim.[1] Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram Mekkah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan tidak mau kembali ke ranah Minang.[2] Sikap Abdul Karim Amrullah berbeda dengan ulama-ulama diatas. Beliau mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh diperjualbelikan.
QS : al-Ahzab (33)  ayat 36. Maksudnya: Barang siapa memilih ketentuan hukum selain ketetuan Allah Ta’ala, sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.
Masyarakat Kerinci (bumi putra) adalah 100 persen beragama Islam. Mereka dikenali sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat yang empat, yaitu; Adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat dan adat istiadat.
Antara adat yang empat tersebut, adat yang sebenar adat menjadi pedoman utama dalam menyelesaikan sesuatu pertelingkahan di tengah masyarakatnya. Sehingga petitih adat berbunyi “Adat bersandi syarak, syarak bersandi Kitabullah” merupakan sandaran atau pedoman utama bagi menentukan suatu kaedah hukum. Kemudian di iringi pula dengan petitih adat yang berbunyi “Benar kato adat, syah kato syarak; salah kato adat batal kato syarak”.
Fanatiknya masyarakat kerinci dengan hukum adat, ternyata tidak konsekwen kepada Adat yang sebenar adat, terutama sekali dalam hal pembagian harta waris. Masyarakat Kerinci dalam menentukan pembagian harta waris dikenal dengan kaedah yang disebutkan dalam petitih adat.; ‘Kecik hati Tungao samo dicecah, gedang hati Gajah  samo dilapah, samo jantan samo batino’.
Maksudnya, (kecik hati Tungau samo dicecah) jika sedikit sama- sama sedikit,  (gedang  hati Gajah samo dilapah) jika banyak sama-sama banyak,  (samo jantan samao batino) antara saudara perempuan dengan saudara lelaki tidak ada perbedaan, mendapat bagian yang sama sedikit, sama banyak.
QS : An-Nisa’ (4) ayat 11. Maksudnya: Allah perintahkan kamu mengenai (pembagian harta warisan untuk) anak-anak kamu, yaitu bagian seorang anak lelaki menyamai bagian dua orang anak  permpuan. Tetapi jika anak-anak perempuan itu lebih dari dua, maka bagian mereka ialah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si mati. Dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka bagiannya ialah seperdua (separuh) dari harta itu.
Dan bagi ibu-bapa (si mati), tiap-tiap seorang dari keduanya: seperenam  dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, jika si mati itu mempunyai anak. Tetapi jika si mati tidak mempunyai anak, sedang yang mewarisi hanyalah kedua ibu-bapanya, maka bagian ibunya ialah sepertiga. Kalau pula si mati itu mempunyai beberapa orang saudara (adik beradik), maka bagian ibunya ialah seperenam. (Pembagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat yang telah diwasiatkan oleh si mati, dan sesudah dibayarkan hutangnya.
Maksud ayat ini, bahwa; bagian seorang anak lelaki menyamai bagian dua orang anak perempuan, dengan kata lain anak lelaki 2/3, anak perempuan 1/3.
Masyarakat Kerinci dalam hal pembagian harta waris sangat fanatik dengan hukum adat yang diadatkan, yaitu membagi harta waris dengan pembagian sama rata sama banyak antara lelaki dan perempuan.
Artinya; secara langsung ataupun tidak langsung telah menolak adat yang sebenar adat yakni  al-Quran.
QS : al-Maaidah (8)  ayat 50. Maksudnya: Patutkah mereka itu berkehendak lagi kepada hukum jahiliah? Padahal tidak ada sesiapa pun yang bisa membuat hukum yang lebih baik daripada Allah Taala. Dan apabila dikatakan kepada mereka; marilah menurut kepada apa yang telah diturunkan Allah (al-Quran) dan yang disampaikan oleh Rasul-Nya (sunnah). Mereka itu berkata; cukuplah bagi kami apa-apa yang kami perdapat daripada nenek moyang kami (hukum adat) meskipun mereka itu tiada mengetahui suatu apa pun dan tidak pula  mendapat hidayah petunjuk. QS : al-Maaidah (8)  ayat 104).
Sedemikian fanatiknya masyarakat kerinci dengan hukum adatnya walaupun sudah bersuluh dengan matahari bahwa amalan pembagian harta warisan dengan sistem sama banyak sama rata antara lelaki dan permpuan itu bertentangan dengan al-Quran. Mereka sanggup menolak al-Quran (adat yang sebenar adat) semata-mata ingin pertahankan adat yang diadatkan.
Allah SWT, telah memperingatkan orang-orang yang sedemikian itu dengan firman-NYa; “Tidak ada hak memilih bagi leleki mukmin dan perempuan mukminah dalam suatu urusan mereka, bila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan (hukum mengenai) urusan itu. Barang siapa  mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. _ QS : al-Ahzab (33)  ayat 36.
Ayat ini menegaskan satu kaedah yang wajib dipatuhi oleh orang-orang mukmin dalam segala urusan hidupnya, yaitu tidak harus bagi seseorang itu memilih sesuatu ketetapan selain daripada yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan diterangkan oleh rasul-Nya (Nota 1455, Tafsir Pimpinan Ar-Rahman, Malaysia).
“Segala hukum yang tersebut (hukum waris) adalah batas-batas (Syari’at) Allah.  Dan sesiapa yang taat kepada  Allah dan Rasul-Nya, akan dimasukkan oleh Allah  ke dalam Syurga yang mengalir dari bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya;  dan itulah kejayaan yang amat besar”. _ QS : An-Nisa’ (4)  ayat 13.
“Dan sesiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan melampaui batas-batas Syari’atnya, akan dimasukkan oleh Allah ke dalam api neraka, kekallah dia di dalamnya, dan baginya azab siksa yang amat pedih dan menghinakan”. QS : An-Nisa’  (4) ayat 14.
Ayat 13 dan 14 ini, menegaskan peringatan Allah kepada  kita bahwa; ‘Adalah wajib hukumnya menyelesaikan pembagian harta waris  mengikut peraturan yang telah ditetapkan-Nya, yaitu faraid’. Dan  barang  siapa yang  tidak mahu menggunakan faraid untuk membagikan harta waris, melainkan mengguna hukum  ciptaan  nenek  moyang mereka (hukum adat)  yang  nyata  dan jelas  bertentangan dengan ketentuan Allah, niscaya  Allah  akan memasukkan  mereka ke dalam Neraka dan  kekal di dalamnya serta siksaan yang amat pedih dan menghinakan.
Prof. Dr.HAMKA dalam buku tafsir Al-Azhar Juzuk ke-4 Halaman 328 mengatakan, bahwa;  “Betapapun taatnya seseorang itu beribadah, kalau batas-batas yang ditentukan  oleh Allah  mengenai hukum faraid ini diabaikan, Neraka jugalah tempatnya. Sebagai  seorang muslim  dalam masyarakat modern, taatilah peraturan Islam dalam hal hukum faraid, yang lebih sempurna daripada peraturan yang mana sekalipun”.
Beliau mengatakan “Jangan membuat wasiat yang mengubah ketentuan Tuhan. Sebagai orang Islam yang hidup dalam masyarakat keibuan dengan adat Perpatihnya (seperti di Minangkabau), atau masyarakat kebapaan  (seperti di suku Batak Tapanuli), apabila bertemu dua  peraturan hukum yang berlawanan, dahulukanlah peraturan  Islam daripada yang lain itu, supaya jangan masuk Neraka”.
Firman Allah Ta’ala, bermaksud: Jika kamu berselisih paham  dalam sesuatu perkara, maka hendaklah (kamu) kembalikannya kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (sunnah). Jika benar kamu beriman kepada kepada Allah dan hari akhirat. Demikian itu lebih baik kesudahannya. _ QS : Surah an-Nisa’ (4) ayat 59.
Jika masyarakat kerinci mengatakan pembagian harta waris boleh dipakai hukum waris adat, dengan pembagian sama banyak sama sedikit antara anak lelaki dan anak perempuan, dengan alasan  pembagian itu sudah adil dan dipakai semua orang.
Bagaimana sekiranya hukum waris adat KERINCI adalah sama dengan salah satu hukum waris adat yang beraneka ragam di Indonesia?. Antara lain;
1#. Anak  Lelaki  Tertua  Saja.  Pada masyarakat Lampung anak lelaki tertua saja yang merupakan ahli waris tunggal untuk mewarisi harta peninggalan orang tua mereka. Artinya, anak lelaki yang lain adalah sama kedudukannya dengan anak perempuan yaitu tidak mendapat bagian harta peninggalan orang tuanya..
Anak  Perempuan  Tertua Saja. Anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal yang berhak mewarisi harta peninggalan ibu-bapanya. Sedangkan anak perempuan yang lain adalah sama kedudukannya dengan anak lelaki, yaitu tidak mendapat bagian sama sekali. Tetapi pada beberapa masyarakat tertentu pada masyarakat Tanah Semendo, kalangan suku Dayak Sandak dan Dayak Tayan di Kalimantan Tengah jika anak perempuan tertua tidak ada maka digantikan oleh anak lelaki termuda.
2#. Anak  Lelaki  Saja.  Pada masyarakat Tanah Batak, Mentawai dan Bali, yang menjadi ahli waris daripada harta peninggalan orang tuanya adalah semua anak yang lelaki, sedangkan anak perempuan dan ahli waris lainnya seperti janda (isteri) tidak mendapat bagian sedikitpun daripada harta warisan.
3#. Anak  Lelaki  Untuk  Bapanya,  Anak  Perempuan  Untuk Ibunya.  Pada masyarakat  Suwu, hanyalah anak  lelaki  merupakan  ahli waris  dari harta  peninggalan bapanya dan anak  perempuan  ahli waris kepada harta ibunya.
4#. Anak  Lelaki  Dan  Anak  Perempuan.  Biasanya dalam masyarakat Bilateral ahli warisnya adalah anak lelaki dan anak  perempuan. Misalnya  di Kalimantan pada suku Dayak dan di Sulawesi pada masyarakat Tanah Toraja, masyarakat Jawa, mayarakat Kerinci, anak lelaki dan anak perempuan mempunyai hak yang sama  mewarisi harta peninggalan orang tuanya.
5#. Anak  Tertua  Saudara  Lelaki  Kandung.  Pada Masyarakat  Tesifeto  di Kabupaten Belu Timur, Nusa Tenggara Timur mempunyai sistem hukum warisan yang menyimpang daripada sistem warisan pada kebanyakan masyarakat adat di Indonesia. Pada sistem ini ahli waris utama adalah anak tertua saudara lelaki  kandung. Sedangkan anak-anak mereka sendiri tidak mendapat apa-apa dari harta peninggalan orang tuanya sendiri.
6# . Pada masyarakat Minangkabao  mempunyai system hokum warisan jatuh pada anak perempuan, kemenankan, sedangkan anak mereka tidak mendapat apa – apa dari harta peninggalan orangtuanya sendiri.
Seandainya, di Kerinci kebetulan sama dengan hukum waris pada masyarakat Bali, Batak Tapanuli dan Mentawai, maka yang mendapat bagian harta waris orang tua hanyalah anak lelaki saja, sedangkan anak perempuan tidak mendapat apa-apa.
Seandainya, di Kerinci kebetulan sama dengan hukum waris  masyarakat  Tesifeto  di Kabupaten Belu Timur, Nusa Tenggara Timur, yang mewarisi harta orang tuanya adalah anak lelaki tertua daripada saudara lalaki kandung ayahnya, sedangkan anaknya sendiri tidak mendapat apa-apa.
Bagi masyarakat adat di daerah tersebut pembagian yang sedemikian adalah sangat adil bagi mereka. Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya. Keadilan manakah yang hendak kita ikut? Keadilan hukum waris adat? Atau keadilan hukum waris  Islam?
Mohd Salleh Daud dalam ‘kamus kini federal’ (Malaysia) memberikan defenisi ‘Adil’ dengan pengertian “tidak berat sebelah. [Beliau memberi contoh kalimat] Emak sangat adil apabila membagikan makanan kepada anak-anaknya, semua mendapat sama banyak”.
Dalam kalimat tersebut Mohd Salleh Daud tidak menyebut secara langsung semua anak-anak yang mendapat bagian makanan sama banyak. Mungkin anak seorang ibu tersebut yang lebih daripada seorang, apakah perempuan semua atau lelaki semua atau lelakidan perempuan. Berapa tahunkah umur anaknya? Mungkin ada yang masih bayi balita, ada yang dua tahun, ada yang 20 tahun, mungkin sudah ada yang punya anak dua atau tiga.
Apabila ibu itu memberikan makanan kepada anak-anaknya sama banyak kepada anak lelaki mahupun anak perempuan, dinilai adil atau tidak berat sebelah mungkin semua orang dapat terima. Bahkan, mungkin semua orang akan memuji ketelusannya. Bagaimana jika anak-anaknya yang masih bayi balita ikut diberi nasi bungkus dengan lauk yang pedas? Sewajarnya bayi balita diberi minum susu.
Bagaimana pula jika ibu tersebut memberikan kopiah atau kain jilbab kepada semua anaknya baik lelaki mahupun perempuan, ini adalah perbuatan yang tidak wajar, tidak dapat dikatakan adil. Sepatutnya anak lelaki diberikan kopiah, anak perempuan diberikan kain jilbab. Bukan sama-sama pakai kopiah atau sama-sama pakai jilbab.
Bagi masyarakat Kerinci pembagian secara adat sama banyak sama rata antara anak lelaki dan anak perempuan dinilai adil karena tidak memihak  dan tidak berat sebelah, dianggap cukup adil dari pandangan adat bukan adil daripandangan Islam. Sebagai penganut Islam mahu pilih hukum adat atau hukum Islam yang bersandikan kitabullah bernama al-Quran ?.
Defenisi Adil menurut Kamus Pintar Bahasa Indonesia ialah; tidak memihak, pada tempatnya, tidak berat sebelah. Daripada tiga pengertian adil tersebut jika dinilai dengan kacamata Islam lebih tepat dengan pengertian pada tempatnya. Dalam hal pembagian harta waris secara Islam, adil ialah memberikan hak yang sesuai dengan keadaan, keperluan dan tanggungjawab masing-masing yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Oleh karena itu  sebagaimana contoh yang dikemukakan oleh Muhd Salleh Daud, pengertian adil tidak dapat diukur dengan membagikan sesuatu dengan sama rata dan sama banyak, tetapi menurut keperluan yang sepatutnya.
Sekarang  marilah  kita tinjau perbedaan antara lelaki dan perempuan tentang keadaan, keperluan  dan tanggungjawab mereka.
#. Lelaki dalam ajaran  Islam, diwajibkan bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan anak dan isterinya. Begitu juga dengan segala urusan rumah tangga, lelaki bertanggungjawab menyediakan uang untuk kegunaan keperluan  kehidupan anak dan isteri. Menyediakan  tempat  tinggal  (rumah), keperluan seharian seperti makan, pakaian, perbelanjaan sekolah anak-anak dan lain sebagainya. Semuanya terbeban ke atas pundak seorang lelaki bernama suami.
#. Perempuan dalam ajaran Islam, tiada suatu kewajiban seperti disebutkan di atas yang terbeban ke atasnya. Perempuan hanya berkewajiban menjaga dan mendidik anak serta mengawasi keadaan rumah tangga. Perempuan  tidak berkewajiban memberi nafkah dalam kehidupan  rumah tangga, bahkan  sebaliknya  berhak menerima nafkah daripada suaminya.
Kesimpulannya, adalah banyak sekali tanggungjawab  yang dibebankan ke atas pundak lelaki berbanding perempuan.  Maka sebagai keadilan daripada Allah S.W.T.  Yang Maha Adil, Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, dilebihkanNya bagian  anak lelaki berbanding anak perempuan  dalam pembagian  harta  peninggalan  orang tua mereka.
Ketentuan tersebut adalah sebagaimana disyariatkan dalam QS. an-Nisak  4 : 11.  Maksudnya: Allah mensyariatkan kepadamu tentang (pembagian warisan) anak-anakmu, untuk seorang lelaki seumpama bagian dua orang perempuan. Pembagian seperti ini sangat Adil bagi Allah Taala bagi orang-orang yang mengaku beragama Islam. Jika mereka menolak, artinya mereka menolah Kitabullah, maka cacatlah rukun imannya.

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong.

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write the program state and capture the external inputs from the G