http://insistnet.com/mencari-pahlawan-wanita-2/
Oleh : Dr. Adian Husaini
Tidak
ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam
kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu
memahami masa lalunya. Al-Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat
terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari
kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa
depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan
sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: “No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past…”
Menyadari
arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa
sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah
Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib
al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari
orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan
Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan
ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah
nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir
abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis
selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan
mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya
pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Dalam berbagai kesempatan, saya membagikan kuisioner
kepada mahasiswa, dosen, guru, dan santri. Salah satu pertanyaan yang
saya ajukan adalah: apakah anda setuju atau tidak dengan pernyataan
berikut:
Indonesia
pernah mencapai puncak kejayaannya ketika di bawah kerajaan Majapahit
yang berhasil menyatukan Nusantara di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk
dan Gajah Mada, dan kemudian Majapahit runtuh diserang Kerajaan Demak
pada tahun 1478 di bawah kepemimpinan Raden Patah.
Terhadap pernyataan seperti itu, hampir semuanya menjawab SETUJU!
Jadi,
anak-anak kita sejak kecil dicekoki paham semacam ini. Bahwa,
Indonesia dulu mengalami kejayaan di masa Majapahit, yang hancur karena
diserang Islam. Jadi, Islam justru yang menghancurkan kejayaan
Indonesia. Karena itulah, untuk mengembalikan kejayaan
Indonesia, jangan membawa-bawa Islam, tetapi kembalikan kejayaan
Majapahit dengan mengadopsi nilai-nilai Hindu. Inilah yang oleh M.
Natsir sebagai upaya nativisasi, yakni upaya penyingkiran Islam dari
aspek kemasyarakatan dan kenegaraan, dan mengembalikan Indonesia pada
budaya “asli” dan jatidiri manusia Indonesia yang menurut mereka
bercorak hindu, budha dan animis.
T. Ceyler Young, terkait tentang “kebudayaan asli” di negeri-negeri berpenduduk Islam menyatakan: “Di
setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar
peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk
mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi
cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam
atau peradaban-peradaban lama tersebut.” (Muhammad Quthb, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, Jakarta, 1995).
Itulah yang
disebut oleh Mohammad Natsir sebagai satu strategi nativisasi, yakni
usaha sistematis untuk mengecilkan peran Islam dalam sejarah perjuangan
Indonesia. Padahal, faktanya, Islam, telah menjadi bagian integral dan
tak terpisahkan dari masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku
’klasik’-nya, Islam and Secularism, Prof.
Syed Muhammad Naquib al-Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan
sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan
Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan
tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam.
Sebab
itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam.
Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu.
Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah
terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: “Together with
the historical factor, the religious and language factors began setting
in motion the process towards a national consciousness.”
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini
sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda – yang kemudian
diikuti oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu,
kekuatan penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite
bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau
Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagi ideologi atau
sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.
Sebuah
kasus yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk
mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat
dilihat pada kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada
tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar
Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat
masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan
nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan
ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih
Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang
Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun
kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W.
Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja
juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan
sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita
yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul
Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We
Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu
tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita
Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal,
papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah
Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif
mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia
menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa
pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah
lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan
Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk
menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh
monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah
memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan
pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita
ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir
dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah
Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo,
yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu
dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini
mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama
yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran
Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan
kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk
ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di
Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami
istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia
Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan,
Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga
bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor
bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain,
istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor,
suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita
Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme
H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua
tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan
sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite
Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana
ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada
orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat:
“Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri,
dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin
tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak
menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan,
percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena
itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda.
Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian
kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja
mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang
hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri
tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos
Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita
ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus
berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira
sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan
hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil
mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri
(1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.
Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya.
Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School
(1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang
sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita
pertama di negeri ini.
Kalau
Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih
jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini
dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya,
Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia
terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan
kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh,
klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini
hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat
yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan
Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang
ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau
menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan
jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke
Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita
pertama, yakni Malahayati.
Jadi,
ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa
Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien?
Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia
juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah
mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti
menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran
zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita
tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus
berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang
lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi
pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi
dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti
diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar,
penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar
bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan
Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis
Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari
bumi Nusantara.
Apa
hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya
kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck.
Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai
orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada
Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam,
Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan
penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu
dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada
beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum
akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?”
Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada
beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban
perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Kartini
adalah wanita yang bercita-cita tinggi. Di akhir-akhir kehidupannya,
dia sempat belajar Islam kepada Kyai Soleh Darat. Tetapi, bangsa
Indonesia, dan juga umat Islam khususnya, sesuai dengan konsep adab,
haruslah meletakkan seseorang pada tempatnya. Yang tinggi diletakkan di
tempat tinggi. Jika ada yang lebih tinggi, maka yang lebih tinggi juga
harus diletakkan di tempat yang lebih tinggi. Itu baru namanya adil dan
beradab, sesuai dengan makna sila kedua Pancasila. Begitulah
seharusnya cara bangsa ini menghargai para pahlawannya.
Tidak
bisa dipungkiri, persepsi sejarah Indonesia ternyata masih banyak
dipengaruhi oleh Snouck Hurgronje dan kawan-kawannya. Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun
1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck
Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan
Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi
murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk
menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi
Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama
Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck
dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut
Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang
Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak
kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang
menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya
”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis
tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan
ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai
dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun
tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr.
Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat
Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu
strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui
dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck,
lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari
pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan
mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis,
rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka.
Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui
asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan
bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang
ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya.
Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal.
43).
Aqib
Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan
Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh
misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi.
Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan
menyalurkan semangat mereka ke arah yang menjauhi agamanya (Islam)
melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah
strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat,
strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk
‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini
semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi
Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai
Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ –
langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit
peradaban Barat.
Dan
akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah
Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka
sudah kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan
terputus dari sejarahnya. Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi
satelit dan pengekor pada peradaban lain. Untuk itulah, kaum Muslim
perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan juga sejarah
bangsanya. (***)
Comments
Post a Comment