Skip to main content

pembangunan pesisir ibukota negara

http://alisjahbana-betti.blogspot.co.id/2016/06/pembangunan-pesisir-ibukota-negara-yang.html

Pembangunan Pesisir Ibukota Negara yang Terintegrasi bukan sekedar Reklamasi




Pada Awal April ketika M. Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta ditangkap KPK karena kasus suap terkait Raperda Reklamasi, spekulasi beredar tentang kemungkinan keterlibatan Ahok. Topik ini kemudian dibahas di group WA GAK (Gerakan Anti Korupsi) ITB. Dalam rangka itu maka saya meneruskan artikel yang ditulis oleh Josef H Wenas yang menjelaskan soal 15 % kontribusi tambahan yang diminta Ahok dari para pengembang reklamasi. Kepada Ahok saya memang selalu berangkat dari praduga tak bersalah kalau itu menyangkut masalah korupsi. Ahok adalah penerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) tahun 2013. Pada saat itu saya adalah ketua dewan jurinya, sehingga saya berkesempatan untuk meneliti cukup dalam tentang sepak terjang Ahok. Saya berkesimpulan bahwa Ahok anti korupsi.
Rupanya artikel yang saya teruskan ke WA GAK ITB itu tersebar luas, entah siapa yang menyebarkannya, dan tertulis nama saya sebagai originatornya. Nama penulis aslinya malah hilang dari artikel itu. Untuk itu saya ingin minta maaf pada penulis aslinya yaitu sdr. Josef H Wenas. Untuk mengoreksi sekaligus menyampaikan pendapat saya soal reklamasi, maka saya menulis artikel ini.
Selama berabad-abad Jakarta mengalami banjir yang serius. Berdasarkan ekstrapolasi tren permasalahan banjir, seperti penurunan tanah, meningkatnya permukaan air laut, perubahan iklim dan pertumbuhan perkotaan yang cepat diperkirakan masalah banjir ini semakin mengkhawatirkan selama dekade mendatang untuk wilayah bagian utara Jakarta yang sekarang menampung lebih dari 4 juta orang. Dari data yang saya peroleh, laju penurunan permukaan tanah di Jakarta ini antara 7,5 cm-12 cm per tahun, sehingga bila dibiarkan, 13 sungai yang melewati Jakarta tidak bisa dialirkan airnya ke teluk Jakarta. Oleh karena itu segera dibutuhkan solusi yang efektif, layak dan berkelanjutan.
Dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian PUPR, saya mendapatkan dokumen hasil studi JCDS (Jakarta Coastal Development Study). Studi ini dilakukan oleh Tim kerjasama Pemerintah Belanda yang diwakili oleh Deltares, WittBo dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh PusAir dan ITB. Studi ini selesai pada akhir tahun 2011 dan laporan disampaikan kepada Menteri PU dan Gubernur DKI Jakarta (Waktu itu Gubernur nya masih Foke). Laporan dibagi menjadi 3 buku (Triple A) :
  • Atlas berisi tentang kondisi yang dihadapi Jakarta
  • Agenda berisi tentang usulan alternatif solusi yang terintegrasi
  • Aturan Main yang berisi tentang apa yang harus dispersiapkan agar rencana ini bisa diterapkan.
Laporan itu berisi usulan untuk memecahkan problema Jakarta mulai dari banjir, land subsidence, kualitas air, kebutuhan air baku hingga kemacetan, kebutuhan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru. Usulan solusi yang terintegrasi di bagi dalam 3 tahap yaitu :
Tahap I ; perlindungan terhadap banjir dalam jangka pendek, yaitu sampai dengan tahun 2020. Perlindungan ini mencakup banjir dari laut, sungai, dan sistem pengairan. Termasuk didalam tahap ini juga adalah pembangunan jalan, suplai air bersih, saluran pembuangan dan sanitasi. Biaya untuk tahap I ini diperkirakan sebesar USD 427 Juta.
Tahap II, adalah perlindungan terhadap banjir dalam jangka menengah, yaitu sampai dengan tahun 2030 dan tahap III adalah perlindungan dalam jangka panjang, yaitu sampai sesudah tahun 2030. Total biaya yang dibutuhkan untuk tahap II dan III masing-masing adalah USD 2,4 milyar dan USD 5,3 Milyar.



Sumber pembiayaan yang tidak sedikit ini direncanakan akan dimobilisasi dari APBN, APBD, Hibah & pinjaman luar negeri dan investor swasta (melalui Public Private Partnership). Hasil studi JCDS ini semula diharapkan dijadikan acuan program remidiasi dan untuk itu perlu dibuat Peraturan Gubernur DKI Jakarta dan Peraturan Menteri PU. Sayangnya ini tidak dilakukan. Gubernur DKI malah mengeluarkan ijin prinsip reklamasi 17 pulau satu bulan sebelum pak Jokowi dilantik jadi gubernur DKI (pada 16 Oktober 2012). Pergub ini menyebabkan reklamasi 17 pulau tidak masuk dalam program JCDS, sehingga reklamasi menjadi murni bisnis.



Melihat kenyataan ini, dan agar penyelamatan banjir dan lingkungan yang terintegrasi tetap dijalankan, maka dibuatlah NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), yang merupakan kemasan baru dari JCDS tetapi dengan mempertimbangkan ijin reklamasi 17 pulau yang telah dikeluarkan tersebut. Program ini menjadi lebih mahal dan mungkin tidak layak karena tanggul harus dibangun di laut dengan kedalaman -17 m dan ada ancaman over supply lahan di DKI. Padahal pada program JCDS tanggul dibangun di kedalaman laut – 8 m, sehingga lebih murah. Untuk memperbaiki kondisi ini Ahok berusaha meluruskan kembali melalui Perda tentang reklamasi dimana ada kewajiban kontribusi tambahan sebesar 15 % yang harus diberikan oleh para developer, agar penanganan lingkungan yang terintegrasi, mencakup pengendalian banjir, air bersih, air limbah, sampah, transportasi dapat dilakukan. Kontribusi tambahan inilah yang kemudian ditentang oleh para developer hingga terjadi kasus suap yang tertangkap tangan oleh KPK terhadap M. Sanusi (Anggota DPRD DKI Jakarta) disusul penetapan tersangka terhadap Presiden Direktur Agung Podomoro Land selaku holding group PT Muara Wisesa pemegang Izin Reklamasi pulau G.



Selain masalah diatas adapula berbagai peraturan yang tumpang tindih soal reklamasi ini. Hal-hal tersebut yang melatarbelakangi mengapa dalam Rapat Kabinet Terbatas, Presiden RI memutuskan agar reklamasi harus masuk dan terintegrasi dalam program NCICD yang diatur penuh oleh Pemerintah. Untuk melaksanakan integrasi ini, Kemenko Kemaritiman mendapat tugas untuk mengevaluasi masalah perijinan reklamasi serta masalah lingkungan. Sedangkan Bappenas mendapat tugas untuk melakukan kaji ulang Master Plan NCICD. Semoga pemerintah pusat dan Gubernur DKI berhasil merencanakan dan melaksanakan Pembangunan Pesisir Ibukota Negara yang Terintegrasi, serta Efektif dan Berkeadilan, bukan sekedar reklamasi.

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong.

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write the program state and capture the external inputs from the G