Uji klinik vaksin Nusantara dinilai masih ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki berdasarkan kaidah saintifik. Hal itu bertujuan untuk melindungi subyek riset dan menjamin keamanan serta kemanjuran vaksin itu.
=================
Jangan Abaikan Standardisasi Riset Vaksin
JAKARTA, KOMPAS – Badan Pengawas Obat dan Makanan memastikan penelitian vaksin Nusantara belum bisa dilanjutkan ke uji klinik fase kedua karena ditemukan banyak hal yang harus diperbaiki. Selain memastikan mutu dan khasiat vaksin Covid-19, kaidah saintifik perlu dipatuhi untuk melindungi subyek yang terlibat dalam penelitian.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K Lukito dalam konferensi pers yang diikuti secara daring dari Jakarta, Jumat (16/4/2021) menuturkan, vaksin merupakan produk yang sangat kritis karena menyangkut jiwa manusia dalam penggunaannya. Oleh sebab itu, seluruh proses pengembangan vaksin harus memerhatikan standar yang berlaku agar manusia yang juga menjadi subjek penelitian dapat terlindungi.
“Tidak hanya untuk melindungi subyek penelitian, standar yang berlaku baik di standar internasional maupun standar di Indonesia harus dipatuhi agar vaksin yang dihasilkan nantinya bermutu dan berdaya saing. Tentunya vaksin tersebut juga memenuhi aspek keamanan, mutu, efektivitas, dan khasiat,” ucapnya.
Terkait dengan pengembangan vaksin Nusantara atau vaksin dendritik, Penny mengatakan, penilaian dari uji klinik fase pertama sudah selesai dilakukan. Dari penilaian tersebut dihasilkan sejumlah catatan yang harus diperbaiki oleh para peneliti sebelum melanjutkan ke fase berikutnya.
“Hasil dari penilaian Badan POM terkait fase pertama dari uji klinik vaksin dendritik menyatakan belum bisa dilanjutkan ke fase kedua. Ini karena ada temuan dan koreksi dari proses uji klinik. Koreksi tersebut harus diperbaiki dulu kalau ingin maju ke fase kedua,” katanya.
Dari hasil inspeksi yang dilakukan Badan POM menunjukkan, proses pengembangan vaksin Nusantara belum memenuhi kaidah proses saintifik yang berlaku, yakni cara produksi yang baik (good manufacturing practices/GMP), cara berlabolatorium yang baik (good laboratory practice/GLP), dan cara uji klinik yang baik (good clinical practice/GCP). Tiga proses ini merupakan standar umum yang harus dipenuhi untuk setiap pengembangan vaksin.
Guru Besar bidang farmakologi dan farmasi klinis Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati dihubungi terpisah menuturkan, standar pengujian produk obat, termasuk vaksin, harus dipatuhi untuk memastikan keselamatan dari subjek yang terlibat dalam penelitian. Karena itu, proses pengujian vaksin harus dilakukan dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Ketersediaan vaksin di seluruh dunia memang terbatas sehingga percepatan pengembangan vaksin dalam negeri amat dibutuhkan. Namun itu tidak berarti harus melewati koridor ilmiah yang sudah ditentukan. Koridor ini diatur dengan tujuan menjaga keselamatan subjek atau partisipan yang terlibat,” ucapnya.
Menanggapi pengembangan vaksin dendritik, Zullies mengungkapkan, vaksin ini dinilai kurang efisien dimanfaatkan dalam penanganan penularan Covid-19. Vaksin dendritik tidak bisa digunakan untuk vaksinasi massal karena prosesnya lebih personal. Sementara kondisi pandemi ini menuntut kecepatan dalam vaksinasi dengan menyasar jumlah penduduk yang besar.
Proses pemanfaatan vaksin dendritik diawali dengan mengambil darah dari sasaran vaksinasi. Sel dendritik yang diambil kemudian dikembangkan di laboratorium untuk ditambahkan antigen virus dan zat tambahan lainnya agar menjadi vaksin. Selanjutnya vaksin ini baru dimanfaatkan dan hanya bisa diterima oleh orang yang bersangkutan.
Data yang valid juga menjadi aspek penting dalam proses pemantauan pengembangan vaksin. Sekalipun di masa pandemi bisa dilakukan percepatan dalam proses penelitian vaksin, kepastian bahwa vaksin yang diteliti aman, bermutu, dan berkhasiat tetap harus dipenuhi. Apabila dalam proses monitoring diketahui tidak memenuhi aspek tersebut, pengembangan tidak bisa dilanjutkan.
“ Efisiensi dari pemanfaatan vaksin ini juga tidak bisa dipastikan karena hampir seluruh komponennya masih harus diimpor. Jika akan dilakukan transfer teknologi pun itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini harus menjadi perhatian,” tutur Zullies.
Penilaian mandiri
Penny mengatakan, Badan POM kini telah menerbitkan perangkat yang dapat digunakan oleh para peneliti vaksin Covid-19 untuk menilai secara mandiri dari profil produk yang menjadi target penelitian. Perangkat ini bisa dimanfaatkan untuk mengantisipasi kegagalan dalam proses hilirisasi penelitian dan pengembangan vaksin di tahap awal sebelum masuk ke tahap uji klinik.
“Buku Tools Penilaian Mandiri Pengembangan Vaksin di Lembaga Riset dapat digunakan sebagai acuan dari lembaga riset untuk menilai pemenuhan standar good laboratory practice (GLP) dan good manufacturing practice (GMP) pada tahap awal pengembangan vaksin,” ucapnya.
Tak lagi terlibat
Saat dikonfirmasi tentang keterlibatan Universitas Diponegoro (Undip) pada vaksin Nusantara, Pelaksana Tugas Wakil Rektor III Undip Dwi Cahyo Utomo tak berkomentar banyak. Sejak awal tim peneliti dari Undip membantu peneliti di bawah koordinasi RSUP Dr Kariadi, Semarang.
Sementara itu, Parna dari Humas RSUP Dr Kariadi membenarkan bahwa RS itu tak lagi jadi tempat riset vaksin Nusantara. ”Sudah tidak. Maaf saya tidak bisa berkomentar lebih jauh,” ujarnya.
Adapun UGM yang sempat masuk daftar tim peneliti uji klinis vaksin Nusantara mundur dari proyek riset itu karena tak ada kejelasan kerja sama. Surat pengunduran diri ditujukan ke Kementerian Kesehatan pada Februari 2021.
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM Yodi Mahendradhata menyatakan, awalnya sejumlah peneliti di UGM masuk daftar riset vaksin Nusantara. ”Kami baru tahu di media massa bahwa riset itu berjalan di RSUP Dr Kariadi. Kami tak dilibatkan,” ujarnya.
Komunikasi mengenai uji klinis vaksin itu dijalin sejak Desember 2020 secara informal hingga terbit Surat Keputusan Nomor HK 01.07/MENKES/11176/2020 yang mencantumkan nama dan posisi sejumlah peneliti UGM dalam tim. Para peneliti tak tahu ihwal surat keputusan itu.
Yodi menyebut, seharusnya ada perjanjian kerja sama sebelum riset untuk memperjelas peran tiap institusi. Pihaknya tak pernah melihat protokol riset.
Vaksin Merah Putih
Terkait vaksin Merah Putih, Penny menyatakan, pengembangan vaksin itu dengan berbagai platform memberi pengayaan pengalaman dan peningkatan kemampuan peneliti Indonesia untuk penguasaan teknologi vaksin.
Uji klinis vaksin Merah Putih yang dikembangkan Universitas Airlangga dengan platform inactivated virus ditargetkan tuntas pada kuartal IV-2021 dan produksi massal awal 2022. Sementara uji klinis vaksin protein rekombinan yang dikembangkan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ditargetkan diproduksi massal pada semester II-2022. ”Dalam waktu bersamaan disiapkan fasilitas produksinya di Bio Farma,” ujarnya.
Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan, pihaknya menyiapkan fasilitas produksi vaksin Merah Putih. Gedung produksi diaktifkan untuk meningkatkan kapasitas produksi vaksin. ”Jika tak cukup, kami akan bekerja sama dengan industri farmasi swasta,"tuturnya. (TAM/NCA/DIT)
Comments
Post a Comment