Skip to main content

Arfi dan Arie, Lulusan SMK yang Ahli Design Engineering Internasional Dikira Pelihara Tuyul karena Pekerjaan Tak Jelas

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=249923

Arfi dan Arie, Lulusan SMK yang Ahli Design Engineering Internasional
Dikira Pelihara Tuyul karena Pekerjaan Tak Jelas

DI RUMAH: Arfi'an Fuadi (kiri) dan M. Arie Kurniawan di markas D-Tech
Engineering, Salatiga. Kakak beradik ini menggarap proyek dari berbagai
negara.

SUASANA ruang tamu di rumah Arfi'an Fuadi, 28, di Jalan Canden,
Salatiga, Jawa Tengah, masih dipenuhi nuansa Idul Fitri. Jajanan Lebaran
seperti kacang, nastar, dan kue kering memenuhi meja untuk menjamu tamu
yang berkunjung.

Di sebelah ruang tamu terdapat ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya ada
tiga unit komputer. Rupanya, di ruangan kecil itulah Arfi –panggilan
Arfi'an Fuadi– bersama sang adik M. Arie Kurniawan dan dua karyawannya
mengeksekusi order design engineering dari berbagai negara.

Kiprah dua bersaudara itu di dunia rancang teknik internasional tak
perlu diragukan lagi. Tahun lalu Arie memenangi kompetisi tiga dimensi
(3D) design engineering untuk jet engine bracket (penggantung mesin jet
pesawat) yang diselenggarakan General Electric (GE) Amerika Serikat.
Arie mengalahkan sekitar 700 peserta dari 56 negara.

"Lomba ini membuat alat penggantung mesin jet seringan mungkin dengan
tetap mempertahankan kekuatan angkut mesin jet seberat 9.500 pon. Saya
berhasil mengurangi berat dari 2 kilogram lebih menjadi 327 gram saja.
Berkurang 84 persen bobotnya," ungkap Arie ketika ditemui di rumah
kakaknya, Senin (4/8).

Yang membanggakan, Arie mengalahkan para pakar design engineering yang
tingkat pendidikannya jauh di atas dirinya.

Misalnya, juara kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang bekerja di
Swedish Air Force. Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford University
yang kini bekerja di Airbus. "Padahal, saya hanya lulusan SMK Teknik
Mekanik Otomotif," jelas Arie.

Sekilas memang tak masuk akal. Bagaimana bisa seorang lulusan SMK yang
belum pernah mendapatkan materi pendidikan CAD (computer aided design)
mampu mengalahkan doktor dan mahasiswa S-3 yang bekerja di perusahaan
pembuat pesawat? CAD adalah program komputer untuk menggambar suatu
produk atau bagian dari suatu produk.

Rupanya, ilmu utak-atik desain teknik itu diperoleh dan didalami Arie
dan kakaknya, Arfi, secara otodidak. Hampir setiap hari keduanya
melakukan berbagai percobaan menggunakan program di komputernya. Mereka
juga belajar dari referensi-referensi yang berserak di berbagai situs
tentang design engineering.

"Terus terang dulu komputer saja kami tidak punya. Kami harus belajar
komputer di rumah saudara. Lama-lama kami jadi menguasai. Bahkan, para
tetangga yang mau beli komputer, sampai kami yang disuruh ke toko untuk
memilihkan," kenang Arfi.

Sebelum menjadi profesional di bidang desain teknik, dua putra keluarga
A. Sya'roni itu ternyata harus banting tulang bekerja serabutan membantu
ekonomi keluarga. Arfi yang lulusan SMK Negeri 7 Semarang pada 2005
pernah bekerja sebagai tukang cetak foto, di bengkel sepeda motor,
sampai jualan susu keliling kampung.

Sang adik juga tak jauh berbeda, jadi tukang menurunkan pasir dari truk
sampai tukang cuci motor. "Kami menyadari, penghasilan orang tua kami
pas-pasan. Mau tidak mau kami harus bekerja apa saja asal halal," tutur
Arfi.

Baru pada 2009 Arfi bisa menyalurkan bakat dan minatnya di bidang
program komputer. Pada 9 Desember tahun itu dia memberanikan diri
mendirikan perusahaan di bidang design engineering. Namanya D-Tech
Engineering Salatiga. Saksi bisu pendirian perusahaan tersebut adalah
komputer AMD 3000+. Komputer itu dibeli dari uang urunan keluarga dan
gaji Arfi saat masih bekerja di PT Pos Indonesia.

"Gaji saya waktu itu sekitar Rp 700 ribu sebagai penjaga malam kantor
pos. Lalu ada sisa uang beasiswa adik dan dibantu bapak, jadilah saya
bisa membeli komputer ini," kenangnya.

Setelah berdiskusi dengan sang adik, Arfi pun menetapkan bidang 3D
design engineering sebagai fokus garapan mereka. Sebab, dia yakin bidang
itu booming dalam beberapa tahun ke depan. "Kami pun langsung belajar
secara otodidak aplikasi CAD, perhitungan material dengan FEA (finite
element analysis), dan lain-lain," jelasnya.

Tak lama kemudian, D-Tech menerima order pertama. Setelah mencari di
situs freelance, mereka mendapat pesanan desain jarum untuk alat ukur
dari pengusaha Jerman. Si pengusaha bersedia membayar USD 10 per set.
Sedangkan Arfi hanya mampu mengerjakan desain tiga set jarum selama dua
minggu.

"Kalau sekarang mungkin bisa sepuluh menit jadi. Dulu memang lama karena
kalau mau download atau kirim e-mail harus ke warnet dulu. Modem kami
dulu hanya punya kecepatan 2 kbps. Hanya bisa untuk lihat e-mail."

Di luar dugaan, garapan D-Tech menuai apresiasi dari si pemesan.
Sampai-sampai si pemesan bersedia menambah USD 5 dari kesepakatan harga
awal. "Kami sangat senang mendapat apresiasi seperti itu. Dan itulah
yang memotivasi kami untuk terus maju dan berkembang," tegas Arfi.

Sejak itu order terus mengalir tak pernah sepi. Model desain yang
dipesan pun makin beragam. Mulai kandang sapi yang dirakit tanpa paku
yang dipesan orang Selandia Baru sampai desain pesawat penyebar pupuk
yang dipesan perusahaan Amerika Serikat.

"Pernah ada yang minta desain mobil lama GT40 dengan handling yang sama.
Untuk proyek itu, si pemilik sampai harus membongkar komponen mobilnya
dan difoto satu-satu untuk kami teliti. Jadi, kami yang menentukan mesin
yang harus dibeli, sasisnya model bagaimana dan seterusnya. Hasilnya,
kata si pemesan, 95 persen mirip," jelasnya.

Selama lima tahun ini, D-Tech telah mengerjakan sedikitnya 150 proyek
desain. Tentu saja hasil finansial yang diperoleh pun signifikan. Mereka
bisa membangun rumah orang tuanya serta membeli mobil. Tapi, di sisi
lain, capaian yang cukup mencolok itu sempat mengundang cibiran dan
tanda tanya para tetangga.

"Kami dicurigai memelihara tuyul. Soalnya, pekerjaannya tidak jelas,
hanya di rumah, tapi kok bisa menghasilkan uang banyak. Mereka tidak
tahu pekerjaan dan prestasi yang kami peroleh," cerita Arfi seraya tertawa.

Sayangnya, dari 150 proyek itu, hanya satu yang dipesan klien dalam
negeri. "Satu-satunya klien Indonesia adalah dari sebuah perusahaan cat.
Mereka beberapa kali memesan desain mesin pencampur cat," lanjutnya.

Meski punya segudang pengalaman dan diakui berbagai perusahaan
internasional, Arfi dan Arie masih belum bisa berkiprah di desain teknik
Indonesia. Penyebabnya, mereka hanya berijazah SMK.

"Kalau ditanya apakah tidak ingin membantu perusahaan nasional, kami
tentu mau. Tapi, apakah mereka mau? Di Indonesia kan yang ditanya
pertama kali lulusan apa dan dari universitas mana," ujarnya.

Stigma "hanya berijazah SMK" ditambah sistem pendidikan Indonesia yang
dinilai kurang adil itulah yang ikut mengandaskan keinginan Arie
melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 di Teknik Elektro Universitas
Diponegoro (Undip) Semarang. Arie tidak bisa masuk jurusan itu karena
hanya lulusan SMK mekanik otomotif.

"Saya ingin kuliah di jurusan itu karena ingin memperdalam ilmu elektro.
Kalau mesin saya bisa belajar sendiri. Tapi, saya ditolak karena kata
pihak Undip jurusannya tidak sesuai dengan ijazah saya. Padahal, lulusan
SMA yang sebenarnya juga tidak sesuai diterima. Ini kan tidak adil
namanya," cetus Arie.

Meski ditolak, Arie tidak kecewa. Bersama sang kakak, dia tetap ingin
menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama bangsa. Dan itu telah
dibuktikan dengan menjuarai kompetisi design engineering di Amerika yang
diikuti para ahli dari berbagai negara. Selain itu, mereka tak
segan-segan menularkan ilmunya kepada anak-anak muda agar melek
teknologi 3D design engineering.

"Ada beberapa anak SMK yang datang ke kami untuk belajar. Sekarang ada
yang sudah kerja di bidang itu. Ada juga yang bakal ikut kompetisi Asian
Skills Competition sebagai peserta termuda," jelasnya.

Mereka juga punya keinginan mengembangkan teknologi energi terbarukan.
Salah satunya dengan mengembangkan desain pembangkit listrik tenaga angin.

"Kami bekerja sama dengan anak-anak SMK untuk mengembangkan biodiesel
dari minyak jelantah. Lalu, Mas Ricky Elson (pembuat mobil listrik yang
dibawa Dahlan Iskan dari Jepang, Red) pernah menghubungi lewat Facebook,
ingin menjalin kerja sama dengan kami. Tentu saja kami terima," ungkapnya.

Dengan semua upaya itu, mereka punya satu impian, yakni mengembangkan
sumber daya lokal Salatiga untuk menjadikan kota kecil itu pusat
pengembangan manufaktur teknologi kelas dunia. Layaknya Silicon Valley
di San Francisco, Amerika Serikat.

"Kami ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pusat industri
manufaktur dunia. Terlebih lagi, teknologi 3D printing bakal menjadi
tulang punggung industri masa depan. Itulah kenapa 3D design engineering
sangat penting," tandasnya. (*/c9/ari)

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong.

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write the program state and capture the external inputs from the G