POSMETRO INFO - Judul kepala berita beberapa koran yang terbit di
Jakarta pada Jumat silam (6 November), berbeda-beda padahal isu dan
sumbernya relatif sama. Sebagian besar menyebut perekonomian negara ini
sedang lesu, dan hanya sebagian kecil yang menulis sebaliknya.
Beberapa orang lantas mempersoalkan dan memperbandingkan judul-judul
koran-koran itu, dan yang paling menarik perhatian adalah judul Kompas
dan Sindo, sebab dua koran itu menulis judul yang seolah saling
berhadapan: Kompas dengan “Perekonomian Mulai Tumbuh” dan Sindo dengan
“Ekonomi Lesu, Pengangguran Melonjak.” Beberapa orang yang menyebarkan
perbandingan kedua koran, menyertakan pengantar “mana yang lebih
dipercaya?” atau semacam itu, dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan itu
tendensius.
Bila membaca dengan cermat kedua berita itu, baik Kompas maupun Sindo
sebetulnya menggunakan sumber utama yang sama: BPS. Kompas mengutip
keterangan Deputi Kepala Badan Pusat Statistik Bidang Neraca dan
Analisis Statistik, Kecuk Suharyanto, dan Sindo mengutip keterangan
Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS, Razali Ritonga,
selain Kecuk. Redaksi kedua koran lantas melengkapi berita
masing-masing dengan sumber-sumber lain.
Kompas memilih pengamat ekonomi UGM, Tony Prasetiantono; Ketua Umum
Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani; Menteri Perdagangan,
Thomas Lembong; dan siaran pers dari Deputi Direktur Departemen
Komunikasi BI Andiwiana. Sementara redaksi Sindo memilih keterangan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution; pendapat dari
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance
[Indef], Enny Sri Hartati; dan keterangan dari Sekretaris Kabinet
Pramono Anung.
Dengan sumber utama [BPS] yang sama, berita yang muncul di Kompas dan
Sindo semestinya sama, tapi seperti yang sudah bisa dibaca pada kepala
berita kedua koran pada Jumat lalu, yang terjadi adalah sebaliknya:
bertentangan. Problemnya, sejak lead hingga empat paragraf berikutnya,
Kompas tidak menuliskan siapa sumbernya untuk tidak menyebut sumbernya
tidak ada.
Sumber Kompas baru muncul pada paragraf kelima dengan mengutip
pernyataan Kecuk yang menyatakan, “Pertumbuhan konsumsi rumah
tangga-yang menopang PDB dengan kontribusi 54,98 persen-melambat, dari
5,08 persen pada triwulan III-2014 menjadi 4,96 persen pada triwulan
III-2015.” Ada pun Sindo, menulis menulis lead-nya dengan sumber dan
pernyataan yang jelas: BPS dan Razali.
Pernyataan-pernyataan yang diletakkan di bagian-bagian awal berita
Kompas yang menyatakan perekonomian mulai membaik, karena itu bisa
disebut sebagai kesimpulan redaksi Kompas, meskipun bila ditelusuri,
pernyataan-pernyataan itu kemungkinan besar salah satunya bersumber dari
pernyataan Darmin yang dalam berita itu, justru tidak dikutip oleh
Kompas. Keterangan Darmin itu bisa diketahui, sebab Sindo mengutip utuh
dan jelas pernyataan Darmin.
Pernyataan “Secara kumulatif, hingga kuartalIII/ 2015, ekonomiIndonesia
tumbuh 4,71%” yang ditulis Sindo, adalah relatif sama dengan lead yang
ditulis Kompas “Perekonomian Indonesia mulai membaik. Produk domestik
bruto triwulan III-2015 tumbuh 4,73 persen, sedikit lebih baik
dibandingkan dengan triwulan II-2015 yang sebesar 4,67 persen...”
Perbedaannya, setelah pernyataan itu, Sindo melengkapinya dengan
pernyataan langsung dan jelas dari Darmin: ”Pertumbuhan ekonominya
membaik dari kuartal sebelumnya, tapi tidak cukup tinggi menyerap tenaga
kerja. Akibatnya, penganggurannya naik.” Dan tidak dengan Kompas.
Koran itu sebaliknya menjadikan pernyataan yang tidak jelas sumbernya,
untuk dijadikan judul kepala berita [halaman satu]: “Perekonomian Mulai
Tumbuh.” Celakanya, judul itu kemudian bertabrakan dengan penjelasan
dari sumber-sumber yang dipilih Kompas yang sebagian besar menyatakan
kondisi perekonomian negara ini sesungguhnya memburuk. Pernyataan
Lembong yang menyatakan “Pertumbuhan ekonomi masih lumayan positif...”
yang dikutip tidak langsung oleh Kompas untuk membenarkan judul
“Perekonomian Mulai Membaik,” malah rancu karena tidak ada penjelasan,
apa yang sebetulnya disebut sebagai “lumayan positif.”
Misalnya, apakah “lumayan positif” bisa juga disebut dengan “tidak
begitu negatif?” Simak kemudian pernyataan Lembong yang juga dikutip
tidak langsung oleh Kompas, yang justru menyatakan, “Nilai ekspor turun
14 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Impor juga turun 17 persen
dibandingkan dengan tahun lalu”
Secara singkat perbedaan judul dua koran itu niscaya memang menimbulkan
pertayaan: mengapa dengan sumber yang sama, dua koran itu menulis judul
berbeda dan saling bertentangan. Dan hal itu tentu saja memalukan dunia
kewartawanan.
Media [dan wartawan] lalu seperti menunjukkan dengan terang-terangan,
agenda politik dan kepentingan redaksi mereka dan untuk siapa mereka
“bekerja”, yang sejauh ini tidak banyak atau jarang diketahui oleh
publik pembaca dan pemirsa. Dan sebab agenda dan kepentingan politik
redaksi semacam itu, fakta bisa [diubah] menjadi opini, opini bisa
[diubah] menjadi fakta.
Tentu, redaksi-redaksi media itu bisa berdalil bahwa kepentingan politik
media adalah sesuatu yang wajar, tidak bisa terhindarkan, dan bisa
dibenarkan sepanjang dilakukan independen; tapi andai ada prinsip
semacam itu, lantas alat ukur apa, dan siapa yang bisa mengukur
independensi mereka? Dan tidakkah dengan prinsip semacam itu, berita
media kemudian lebih mirip pamflet, atau semacam selebaran iklan jasa
pasang antena TV yang ditempelkan di tembok-tembok gang?
Pertanyaan itu penting, karena harapan publik agar media [dan wartawan]
menjadi “watch dog” atau anjing penjaga, dan berpihak kepada kepentingan
publik mestinya adalah pertaruhan yang seharusnya diperjuangkan oleh
media dan wartawan. Tidakkah dulu, ketika kasus lumpur Lapindo muncul
pertengahan 2006, sebuah koran besar dan ternama di Indonesia bahkan
menulisnya sebagai lumpur Sidoarjo, dan kemudian redaksi mereka juga
berkoar-koar bahwa mereka independen?
Maka, membaca judul kepala berita Kompas dan Sindo pada Jumat lalu, saya
hanya teringat pada pernyataan Petrus Kanisius Ojong [Auw Jong Peng
Koen] alias P.K. Ojong, pendiri koran Kompas. Dalam sebuah kesempatan,
Ojong jelas dan terang menyatakan, “Secara intituitif setiap orang
merasakan bahwa tugas utama pers adalah mengontrol dan kalau perlu
mengecam pemerintah. Wartawan jangan sekali-sekali meminta dan menerima
fasilitas dari pejabat. Sekali hal itu terjadi, ia tidak bebas lagi
menghadapi pejabat itu dalam profesinya. Tugas pers bukanlah untuk
menjilat penguasa tapi untuk mengkritik yang sedang berkuasa.”
Seandainya masih hidup, entah apa kata Ojong melihat media dan terutama koran yang dia dirikan, kini mulai berubah.
NB: Sebagai tambahan. Pada Jumat (6/11) 4 koran dengan masing-masing judul headline.
- Kompas: "Perekonomian Mulai Membaik".
- Koran SINDO: "Ekonomi Lesu, Pengangguran Melonjak"
- Bisnis Indonesia: "Perlambatan Belanja: Pertumbuhan Belum Optimal"
- Koran Jakarta: "Pengangguran Naik Sinyal Ekonomi sedang Bermasalah" [ppy]
Comments
Post a Comment