SESAR LEMBANG YANG KONTROVERSIAL
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=2446290038850936&id=100004098920754
Bukan sesarnya yang kontroversial, tetapi interpretasinya. Kontroversial artinya menimbulkan perdebatan. Sesar Lembang sudah saya amati dari sepuluh tahun yang lalu: memelajari publikasi-publikasi ilmiah tentangnya, melakukan evaluasi-evaluasi pribadi, mengamatinya di lapangan, menemani masyarakat dan para geosaintis fieldtrip ke sana, mengikuti perdebatan dan berita-berita media tentangnya, dan berbicara tentangnya di beberapa forum.
Objek-objek geologi termasuk sesar (patahan batuan yang bergeser) memang selalu ada sisi interpretasinya dalam memahaminya, begitulah antara lain karakter ilmu geologi yaitu bersifat interpretatif. Hal yang interpretatif itu menjadi kritis ketika suatu objek geologi dapat berpengaruh kepada kehidupan manusia, dalam hal ini terkait kebencanaan. Sesar Lembang misalnya yang terbukti pernah memicu gempa-gempa dan potensial untuk memicu gempa lagi pada masa mendatang. Menjadi masalah bila objek geologi yang berpengaruh kepada kehidupan manusia itu kontroversial di antara para ahli dalam berpendapat dan menyikapinya.
Sesar Lembang cukup sering menjadi berita meskipun secara dimensi dan lokasi geologis mestinya sesar ini tidak sekritis secara kebencanaan seperti Sesar Sumatra, Sesar Palu-Koro-Matano, Sesar Sorong dan beberapa lagi, dengan sesar tetangganya di Jawa Barat yaitu Sesar Cimandiri saya pikir Sesar Lembang pun secara geologis masih kalah kritis. Namun Sesar Lembang terletak di tengah wilayah yang padat penduduk dan bangunan yaitu Bandung, Lembang, Cimahi, Padalarang dan sekitarnya sehingga signifikan untuk menelitinya terkait kebencanaan.
Sesar Lembang bulan Januari lalu kembali menjadi berita yang segera viral di media sosial. Disebutkan pada judulnya, “Sesar Lembang Akan Bergerak pada Awal 2021 dan Memicu Gempa Dahsyat”. Dinarasikan, bahwa badan yang berwenang dalam masalah kegempaan yaitu kantor BMKG di Bandung meminta warga Bandung, Cimahi, Bandung Barat, Padalarang, dan Lembang untuk waspada akan gempa dahsyat pada awal 2021 akibat gerakan Sesar Lembang. Berita ini kemudian diketahui sebagai berita bohong, hoax dan sudah dibantah oleh BMKG sendiri.
Berkaitan dengan itu, seminggu yang lalu pada Kamis 4 Februari 2021 organisasi Bandung Mitigasi Hub menggelar webinar terbuka untuk masyarakat membahas Sesar Lembang, menghadirkan Dr. Irwan Meilano (Geodesi ITB), Dr. Heri Andreas (Geodesi ITB), Dr. Iyan Haryanto (Geologi Unpad), Dr. Mudrik Daryono (Geoteknologi LIPI), dan Dr. Daryono (BMKG). Diskusi dimoderatori oleh Dr. Rahma Hanifa (Geoteknologi LIPI).
---
Setelah Dr. Irwan Meilano memberikan pengantar tentang Sesar Lembang, Dr. Heri Andreas mengelompokkan pendapat-pendapat para ahli tentang Sesar Lembang ke dalam empat Mazhab : (1) Sesar Lembang sebagai bentukan dari proses magmatik Gunung Sunda (2) Sesar Lembang berpotensi memicu gempa dengan kekuatan M7 (magnitude 7) berdasarkan penelitian paleoseismologi -kegempaan purba di jalur sesar, (3) Sesar Lembang terdeformasi secara gerak mendatar (strike-slip), dengan laju merayap, menyebabkan gempa-gempa kecil, (4) Aktivitas Sesar Lembang belum bisa dipastikan sebab belum cukup datanya untuk menganalisisnya. Heri Andreas menambahkan Sesar Lembang menjadi kontroversial karena penelitian yang setengah jalan dan perhatian pemerintah yang setengah hati.
Pembahasan Sesar Lembang kemudian dilanjutkan oleh Dr. Iyan Haryanto yang mengaitkannya ke geologi regional Jawa Barat dan pendapatnya bisa digolongkan ke dalam Mazhab 1, disebutkan bahwa Sesar Lembang adalah sesar normal, berupa runtuhan yang berkaitan dengan aktivitas volkanisme Gunung Sunda dan Gunung Tangkubanperahu. Dr. Mudrik Daryono kemudian membahas Sesar Lembang pada jalurnya yang sepanjang 29 km dan membaginya ke dalam enam section/segmen berdasarkan manifestasi morfologi permukaan. Sifat pergerakan sesar disimpulkan bergerak mendatar sinistral (mengiri/kiri). Berdasarkan data paritan yang digali di jalur sesar untuk mengetahui jejak gempa purba (paleoseismologi), diinterpretasikan pernah terjadi gempa purba yang besar di Sesar Lembang ini, yang terakhir terjadi pada sekitar tahun 1460 M yang berdasarkan pergeseran pada lapisan tanah diinterpretasikan bahwa gempanya berkekuatan sekitar M7. Dari panjangnya yang 29 km diplot bahwa sesar ini mampu memicu gempa berkekuatan M6,5-7,0. Disebutkan pula bahwa kegempaan di Sesar Lembang ini punya siklus antara 170-670 tahun, dan saat ini sudah mendekati akhir siklus. Pendapat Mudrik Daryono ini dapat digolongkan ke dalam Mazhab 2. Pembahasan terakhir dilakukan oleh Dr. Daryono dari BMKG yang menunjukkan sejarah dan status pengamatan gempa di sekitar Sesar Lembang oleh peralatan-peralatan yang ada yang berkembang sesuai kemajuan teknologi pemantauan gempa. Belasan gempa telah terukur dari tahun 1998-2018 dengan lokasi-lokasi episentrum di Sesar Lembang dan sekitarnya berkekuatan kebanyakan M 1-3 dengan rata-rata M2,3. Gempa-gempa tersebut ada yang menyebabkan kerusakan rumah di sekitar Sesar Lembang, ada yang tidak. Monitoring gempa di sekitar Sesar Lembang ini menunjukkan kejadian gempa-gempa yang relatif kecil seperti yang dinyatakan oleh Mazhab 3.
Demikian para ahli berbicara berdasarkan penelitian, interpretasi, atau pengamatan terukur.
---
Dari hasil-hasil penelitian para ahli di atas penting untuk kita bedakan antara fakta di lapangan, data hasil pengukuran alat, dan interpretasi. Kesimpulan-kesimpulan yang diturunkan dari hal-hal tersebut akan berbeda tingkat akurasinya. Akurasi berkurang dari fakta ke interpretasi.
Fakta di lapangan adalah fakta yang bisa dilihat oleh semua orang. Misalnya semua orang melihat lembah memanjang, punggungan bukit yang membentuk kelurusan, pergeseran sungai atau semacam retakan panjang yang lurus di lapangan yang dicakup dalam peta hasil pemotretan oleh dan pengolahan data satelit (misalnya peta google earth, landsat, lidar, ifsar, dsb.), pergeseran lapisan tanah di parit yang digali di jalur sesar, retakan atau pergeseran batuan pada singkapan batuan di tebing sungai. Semua orang bisa melihat fakta yang sama baik ahli maupun bukan. Fakta di lapangan itu tidak mengandung kesalahan.
Data hasil pengukuran alat, misalnya data kegempaan hasil pengukuran seismograf di stasiun-stasiun kegempaan yang ditempatkan BMKG yang dari analisis gelombang-gelombang gempanya dapat diketahui lokasi pusat gempa, kedalaman pusat gempa, magnitude gempa, jenis pematahan batuan yang menyebabkan gempa. Contoh lain adalah data arah dan besar (vektor) pergerakan/pergeseran suatu titik di permukaan Bumi yang bisa menunjukkan gerakan suatu sesar atau patahan aktif adalah hasil pengukuran berbasis satelit (GPS). Data hasil pengukuran alat selama alatnya baik dan terstandardisasi secara internasional nilai akurasinya tinggi.
Sementara itu interpretasi adalah tafsiran yaitu pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu. Dalam ilmu geologi, interpretasi itu bagian yang penting sebab suatu pengetahuan tentang proses geologi bisa diperoleh dengan menginterpretasi fakta di lapangan atau data hasil pengukuran. Pengetahuan tentang proses geologi atau evolusi geologi penting sebab manfaat ilmu geologi justru diperoleh dengan memahami kejadian suatu fenomena geologi. Interpretasi geologi hanya bisa dilakukan oleh para ahli geologi. Interpretasi lebih bersifat subjektif, berbeda di antara para ahli, dan bisa keliru.
Dalam hal Sesar Lembang penting untuk memilah-milah fakta lapangan, data hasil pengukuran, dan interpretasi. Fakta lapangan menunjukkan bahwa Sesar Lembang itu benar ada, dicirikan oleh fakta-fakta seperti: retakan relatif lurus pada foto hasil satelit, panjang jalur sesar 29 km terbagi menjadi enam section/segmen (Mudrik Daryono, 2016) dengan panjang masing-masing section 4-6,5 km, lembah dan punggungan bukit yang memanjang sejajar jalur sesar, alur-alur sungai yang bergeser atau terpancung/terhenti dan pindah alur, penyebaran satuan batuan volkanik di sekitar jalur sesar yang nampak dikontrol sesar, singkapan batuan di tebing sungai yang retak atau tergeser, gawir runtuhan di jalur sesar, lapisan tanah yang tergeser di paritan yang digali di jalur sesar.
Data hasil pengukuran alat adalah: ada episentrum-episentrum gempa dangkal pada dan sekitar Sesar Lembang dengan magnitudo relatif kecil kebanyakan M1-M3 dengan rata-rata M2,3 dan pematahan batuan terjadi dengan semua cara: patah mendatar, patah normal/turun, atau patah naik (Daryono – BMKG, 2020). Pengukuran oleh GPS selama beberapa tahun juga menunjukkan bahwa Sesar Lembang bergerak mendatar dominan sinistral/mengiri relatif perlahan dengan laju sekitar 4-6 mm/tahun (Irwan Meilano, 2018). Pengukuran umur radiokarbon pada material mengandung karbon di lapisan tanah tebing paritan gali di jalur sesar berumur 18.420 sampai 440 tahun sebelum sekarang dg variasi toleransi lebih dari atau kurang dari 30-80 tahun (Mudrik Daryono, 2016).
Sementara yang termasuk interpretasi adalah: (1) Sesar Lembang dapat memicu gempa dengan kekuatan M6,5-7,0. Magnitudo sebesar ini berasal dari ploting panjang sesar yang 29 km dengan grafik cross plot antara panjang jalur yang rusak di permukaan (surface rupture length) dan magnitude berdasarkan crossplot Wells dan Coppersmith (1994). (2) Sesar Lembang pernah memicu gempa dengan kekuatan M7 berdasarkan paleoseismologi dari pergeseran lapisan tanah yang teramati di paritan yang digali. (3) Sesar Lembang pada saat ini sudah mendekati siklus gempa besarnya karena gempa besar M7 terakhir terjadi pada abad ke-15 pada sekitar tahun 1450 atau 1460 M (Mudrik Daryono, 2016).
Seperti saya sebutkan di atas, fakta itu tidak dapat salah sebab itu kenyataan di lapangan; hasil pengukuran juga bila alatnya akurat dan terstandardisasi internasional maka hasil pengukurannya dapat dipercaya; sementara interpretasi adalah pendapat berdasarkan pengamatan fakta dan hasil pengukuran yang dilatarbelakangi teori. Pendapat satu ahli dengan ahli yang lain bisa berbeda meskipun berdasarkan data yang sama. Artinya kesimpulan-kesimpulan yang diturunkan dari interpretasi bisa berbeda di antara para ahli, sehingga bisa menjadi objek yang diperdebatkan.
Mengapa interpretasi para ahli bisa berbeda, sebab geologi bukanlah ilmu yang eksak, presisi, atau serbaterukur. Banyak aspek geologi yang tak bisa diteliti secara empiris yaitu kejadian-kejadian geologi yang historis yang skala waktunya di luar waktu eksistensi manusia modern yang cerdas yaitu ribuan, ratusan ribu, jutaan tahun yang lalu. Bila ada retakan-patahan di gedung yang terjadi hari ini, para insinyur bisa meneliti dengan pasti apa penyebabnya. Sesar atau Patahan Lembang di kerak Bumi yang diinterpretasikan mulai terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, bagaimana bisa mengetahuinya selain dengan menginterpretasi jejak-jejak yang ditinggalkannya. Karena jejak-jejak objek geologi itu tidak selalu ada atau sedikit, maka interpretasinya pun bisa berbeda-beda, ada yang keliru ada yang mendekati kebenaran. Interpretasi juga dilatarbelakangi teori atau argumen.
---
Dalam pandangan saya, Sesar Lembang itu harus dilihat dulu posisi geologi regionalnya. Sesar Lembang tidak bisa disamakan secara posisi tektonik dengan Sesar Palu-Koro-Matano, Sesar Sumatra, Sesar Sorong dan sesar-sesar mendatar besar lainnya yang terbentuk di tepi teran (blok kerak Bumi), di sambungan dua teran (jalur sutur), atau di pinggir lempeng. Sesar Lembang secara dimensi kecil saja dan terletak lebih ke tengah lempeng, bukan di sambungan dua teran geologi seperti Sesar Palu-Koro, Sesar Sumatra, Sesar Sorong. Posisi seperti Sesar Lembang itu yang relatif jauh dari tepi lempeng aktivasi energinya oleh stress tekanan pertemuan lempeng (subduksi atau benturan) akan bersifat sekunder bukan primer. Sebagai analogo, bila gelombang di permukaan air dianggap sebagai perambatan energi yang makin melemah semakin ke arah luar, maka posisi Sesar Lembang itu seperti ada di lingkaran luar gelombang, sementara pusat lingkaran tempat asal energi geolombang menyebar adalah deformasi di tepi lempeng. Dengan posisi lebih ke arah tengah lempeng begitu energi yang diterima Sesar Lembang dari tepi lempeng akan melemah. Mungkinkah energi yang sudah melemah itu bisa menggerakkan Sesar Lembang dan mengakibatkan gempa dengan kekuatan M7? Susah kelihatannya.
Kejadian Sesar Lembang pun harus bisa dijelaskan secara geologi sebab sesar itu tidak muncul secara acak, ada latar belakang geologisnya. Berdasarkan peta geologi di wilayah ini (Silitonga, 1973) sesar ini nampak berhubungan erat dengan penyebaran satuan batuan volkanik yang pernah diletuskan oleh Gunung Sunda dan anaknya (Gunung Tangkubanparahu). Artinya, sesar ini terjadi berhubungan dengan proses erupsi gunungapi yaitu berupa gawir runtuhan, ini nampak terutama di bagian timur jalur sesar. Pendapat ini pertama dikemukakan oleh ahli geologi Belanda van Bemmelen (1949) yang lalu didetailkan oleh Dam (1994) yang menunjukkan hubungan antara letusan Gunung Sunda, Gunung Tangkubanperahu, pembentukan Sesar Lembang, sebaran endapan gunungapi, dan pembendungan Cekungan Bandung menjadi danau serta pengeringannya.
Dam (1994) menyatakan bahwa bagian timur Sesar Lembang terjadi lebih dahulu akibat letusan katastrofik Gunung Sunda pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa gawir runtuhan yang berhubungan dengan pembentukan kaldera Gunung Sunda. Jadi dalam hal ini Sesar Lembang adalah sesar runtuhan atau mirip dengan sesar normal. Gawir bekas runtuhan di jalur sesar ini masih jelas terlihat, runtuh maksimum 460 meter (Tjia, 1968; Brahmantyo dan Bachtiar, 2009). Lembah di bawahnya yang memanjang barat-timur dialiri bagian hulu Sungai Cikapundung. Makin ke barat runtuhannya makin kecil, maksimum sekitar 40 meter sampai akhirnya tidak ada gawir runtuhan lagi. Ke bagian baratnya, Sesar Lembang juga terjadi makin muda dan berhubungan dengan letusan Gunung Tangkubanperahu pada 27 ribu sampai 24 ribu tahun yang lalu (Dam, 1994). Hadirnya komponen sesar normal pada Sesar Lembang terbaca di mekanisme patahan penyebab gempa yang telah terjadi. Bila Sesar Lembang hanya sebagai sesar mendaatar, apalagi dari awalnya sebagai sesar mendatar, susah menerimanya secara geologi regional. Bahwa Sesar Lembang kemudian punya komponen gerakan mendatar seperti terukur oleh jaringan stasiun GPS saya pikir benar dan dapat dijelaskan sebagai berhubungan dengan vektor gerakan lempeng Samudra Hindia di selatan Jawa Barat yang akan menghasilkan gerakan mendatar sinistral di Sesar Lembang, tetapi kecil saja lajunya 4-6 mm/tahun.
Interpretasi bahwa Sesar Lembang dapat memicu gempa dengan kekuatan sekitar M7 adalah berdasarkan panjang total jalur sesar 29 km, padahal sesar ini terbagi-bagi ke dalam enam segmen dengan masing-masing segmen panjangnya 4-6,5 km, dan sambungan antarsegmennya ada yang bersifat saling menekan (transpresi) atau saling menarik (transtensi). Pada saat Sesar Lembang merima rambatan energi dari pertemuan lempeng di bawah Samudra Hindia, sambungan-sambungan seperti itu akan melemahkan energi dengan sendirinya sebab akan membentuk konsentrasi deformasi di setiap sambungannya sehingga energi tidak dapat merambat ke sepanjang jalur sesar. Jadi meragukan bahwa area rusak (rupture) itu bisa terjadi di sepanjang jalur sesar ini, sehingga ploting penentuan magnitude gempa berdasarkan grafik Wells dan Coppersmith (1994) mestinya tidak menggunakan panjang rupture permukaan 29 km, tetapi lebih pendek dari itu. Belasan gempa yang telah terjadi di Sesar Lembang atau sekitarnya kebanyakan terukur M1-M3 dengan rata-rata M2,3. Hal ini dapat menunjukkan bahwa pemicuan gempa telah terjadi secara segmental.
Berdasarkan paleoseismologi diinterpretasikan bahwa Sesar Lembang pernah memicu gempa sekuat M7 pada sekitar pertengahan abad ke-15. Harus diperhatikan bahwa besaran magnitudo tersebut bukan hasil pengukuran tetapi hasil interpretasi berdasarkan pergeseran lapisan tanah di paritan yang digali di jalur sesar. Namanya interpretasi tentu berbeda nilai akurasinya dengan magnitudo gempa sekarang yang terukur oleh seismograf. Siklus gempa besar yang dipicu Sesar Lembang disebutkan sudah mendekati ujung siklusnya, ini pun masih bisa dipertanyakan sebab siklusnya sendiri tidak diketahui dengan pasti dan kisarannya terlalu lebar yaitu antara 170-670 tahun, angka ini pun diturunkan dari hasil penguran umur karbon pada lapisan tanah di paritan yang digali di jalur sesar yang juga porsi interpretasinya cukup besar.
Secara ringkas dalam pandangan saya, Sesar Lembang dapat diinterpretasikan sebagai sesar yang semula terjadi sebagai gawir runtuhan yang berhubungan dengan erupsi Gunung Sunda dan Tangkubanperahu pada 105 ribu-24 ribu tahun yang lalu. Kemudian struktur geologi ini mengakomodasi tekanan regional dari pertemuan lempeng di selatan Jawa Barat sebagai sesar mendatar sinistral yang bergerak lambat 4-6 mm/tahun dan telah memicu gempa-gempa dangkal dengan kekuatan terukur kebanyakan di sekitar M1-M3. Bahwa: Sesar Lembang dapat memicu gempa besar sampai M7, gempa sebesar itu berdasarkan paleoseismologi pernah terjadi pada abad ke-15, dan masa kini adalah masa mendekati akhir siklusnya sehingga gempa besar potensial terjadi lagi; adalah pendapat-pendapat yang interpretatif dan masih dapat diperdebatkan meskipun berdasarkan penelitian. Penelitian untuk Sesar Lembang harus diteruskan, agar tidak lagi kontroversial.
Implikasi atas hal ini adalah bahwa Sesar Lembang tidak boleh disepelekan karena kegempaannya nyata, tetapi juga tidak perlu berlebihan menyikapinya sehingga menyebabkan kekhawatiran berlebihan. Mengutip ucapan seseorang soal Sesar Lembang katanya: “jangan abai, tetapi juga tidak perlu lebai.”***
Citra
satelit Google Earth menunjukkan keberadaan Sesar Lembang (dalam tanda
panah putih) berupa kelurusan memanjang barat-timur di utara kota
Bandung.
Citra
3D Google Earth di bagian timur Sesar Lembang menunjukkan gawir
runtuhan Sesar Lembang dan lembah di bawahnya yang dialiri hulu Sungai
Cikapundung. Runtuhan ini diinterpretasikan terjadi pada 105 ribu tahun
yang lalu berhubungan dengan erupsi Gunung Sunda.
Citra Landsat yang dengan jelas menunjukkan keberadaan retakan lurus hampir barat-timur yaitu Sesar Lembang.
Pemandangan
gawir Sesar Lembang dan foto satelit di bawahnya yang menunjukkan
kelurusan jalur Sesar Lembang. Garis putih adalah lokasi foto di
atasnya.
Pengolahan
citra LiDAR yang menunjukkan jalur Sesar Lembang dari timur ke barat
berupa gawir runtuhan yang makin melandai dan hilang ke arah barat.
Tinggi gawir maksimum di sebelah timur adalah 460 m, berangsur mengecil
ke barat sampai 40 m kemudian tidak ada lagi gawir di dekat ujung
baratnya di sekitar Padalarang.
Sebagian peta geologi lembar Bandung (Silitonga, 1973) menunjukkan Sesar Lembang (di antara tanda panah merah) yang mengontrol penyebaran satuan-satuan batuan volkanik dari Gunung Sunda dan Gunung Tangkubanperahu, sehingga diinterpretasikan bahwa kejadian Sesar Lembang berkaitan erat dengan aktivitas volkanisme Gunung Sunda dan anaknya, Gunung Tangkubanperahu dari 105 ribu - 24 ribu tahun yang lalu (Dam, 1994).
Citra
LiDar dan jalur Sesar Lembang yang terbagi ke dalam enam section/segmen
dengan total panjang 29 km. Gerak sinistral (mengiri) menjadi ciri
dominan Sesar Lembang (Daryono, LIPI, 2016).
Sebaran stasiun pengukuran kegempaan di Jawa Barat (kiri) dan seismisitas di sekitar Sesar Lembang menunjukkan aktivitas kegempaan Sesar Lembang (Daryono, BMKG, 2016).
Empat
mazhab yang ada tentang Sesar Lembang yang menimbulkan kontroversi di
antara para ahli (Heri Andreas, Geodesi ITB, Webinar Bandung Mitigasi
Hub 4 Februari 2021).
Evolusi geologi Sesar Lembang (warna merah) menurut van Bemmelen (1949) yang berhubungan dengan aktivitas magmatik dan volkanik Gunung Sunda.
Gambar
3D tektonik lempeng Jawa Barat menunjukkan subduksi lempeng Samudra
Hindia di bawah lempeng benua yang diduduki Pulau Jawa, dan kegempaan
yang terjadi. Perhatikan posisi Sesar Lembang yang dapat tereaktivasi
oleh perambatan energi tekanan/stress dari subduksi di selatannya secara
sekunder karena berada ke arah tengah lempeng benua dan terhalang oleh
jalur pegunungan tua dan jalur volkanik muda di selatan Bandung.
Gambar 3D tektonik lempeng Jawa Barat menunjukkan subduksi lempeng Samudra Hindia di bawah lempeng benua yang diduduki Pulau Jawa, dan kegempaan yang terjadi. Perhatikan posisi Sesar Lembang yang dapat tereaktivasi oleh perambatan energi tekanan/stress dari subduksi di selatannya secara sekunder karena berada ke arah tengah lempeng benua dan terhalang oleh jalur pegunungan tua dan jalur volkanik muda di selatan Bandung.
Comments
Post a Comment