Sumber: http://liputandelapan.multiply.com/journal/item/8
Jan 23, '08 11:17 AM
for everyone
DALAM sebuah artikel di harian Pikiran Rakyat beberapa waktu yang lalu ditulis, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh dr. Teddy Hidayat, ditemukan fakta yang sangat mengejutkan yaitu lebih dari 75 persen mahasiswa di Jatinangor mengaku melakukan hubungan seks di luar nikah. Yang lebih parah lagi, semua itu dilakukan atas dasar ‘suka sama suka’.
Gaya kehidupan dan perilaku remaja yang sudah sangat bebas ini jelas sangat memprihatinkan. Apalagi mengingat Jatinangor adalah kawasan yang digadang-gadang sebagai salah satu pusat pendidikan di Jawa Barat. Para remaja yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa ternyata memiliki moral yang sangat bobrok.
Hubungan seks sebelum nikah, yang dulunya sangat “ditabukan”, kini seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan wajar bagi remaja sekarang. Mereka bahkan tidak malu-malu untuk tinggal bersama walaupun baru berstatus pacaran. Sebut saja Arnoy (21),salah seorang mahasiswa Universitas terkemuka yang berlokasi di Jatinangor, mengakui kalau ia dan pasangannya telah tinggal bersama dalam satu kamar di sebuah pondokan sejak pertama kali mereka “jadian” setahun lalu. Astaga…!!
Lalu, bukankah setiap pondokan memiliki peraturan yang jelas tentang hal ini? Belum tentu. Walaupun setiap pondokan memiliki aturan tertulis yang tegas tentang jam malam dan sebagainya, namun pada kenyataannya tetap saja masih ada pemilik pondokan yang acuh tak acuh terhadap kelakuan para mahasiswa atau mahasiswi di tempatnya. Mereka seakan menutup mata terhadap hal tersebut. Bagi mereka, asalkan mahasiswa atau mahasiswi tersebut membayar kewajibannya, itu tidak menjadi masalah. Seorang pemilik podokan di Jalan Sayang, Jatinangor bernama Euis (bukan nama sebenarnya) mengatakan bahwa ada beberapa mahasiswa yang nge-kost di pondokannya sering membawa pasangan mereka untuk menginap.
Maraknya budaya dan perilaku free sex atau seks bebas pada kalangan mahasiswa ini disebabkan oleh hilangnya kontrol orang tua terhadap anak-anaknya. Apalagi dengan adanya fakta bahwa kebanyakan mahasiswa tidak tinggal serumah dengan orang tua mereka atau dengan istilah lain nge-kost. Dengan begitu otomatis pengawasan terhadap mereka pun akan longgar dan mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa batasan. Mereka menganggap lepas dari orang tua berarti mereka dapat menentukan jalan apa yang akan mereka pilih dan dengan cara apa mereka menjalaninya.
Selain itu, berbagai pengaruh lingkungan dan terpaan media yang mereka alami sedikit banyak membentuk karakter dan gaya hidup mereka. Saat ini, dengan adanya kebebasan pers, kita bisa melihat berbagai media cetak atau elektronik dengan leluasa menayangkan hal-hal yang berbau hedonisme seperti penggunaan obat-obatan terlarang, mabuk-mabukan, sampai seks bebas. Budaya inilah yang kemudian diadopsi oleh para remaja dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam sebuah survey kecil-kecilan didapatkan fakta bahwa hampir 90% mahasiswa menyimpan file atau video berbau pornografi di dalam komputer mereka. Ini mencerminkan betapa mudahnya akses mereka untuk mendapatkan video porno yang bercerita tentang kehidupan seks bebas dan semacamnya.
Bagi warga Jatinangor dan sekitarnya, perilaku ini jelas menimbulkan keresahan. Akan tetapi belum ada tindakan konkrit yang mereka lakukan. Mereka seolah ‘menyetujui’ gaya hidup mahasiswa di Jatinangor yang semakin hedon itu. Seharusnya ada aturan dan tindakan tegas dari pemerintah daerah Jatinangor dalam menyikapi perilaku kehidupan bebas mahasiswa tersebut. Misalnya dengan melakukan inspeksi mendadak dan penggerebekan ke setiap pondokan-pondokan yang dicurigai sebagai tempat para mahasiswa melakukan “kumpul kebo”. Jika situasi seperti ini dibiarkan berkepanjangan, bukan mustahil nama Jatinangor sebagai kawasan pendidikan akan berubah menjadi kawasan prostitusi. (kw)
Comments
Post a Comment