Skip to main content

Jika Tak Ada Harga Dirimu, Pinjamlah!


Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/08/jika-tak-ada-harga-dirimu-pinjamlah/
Jika Tak Ada Harga Dirimu, Pinjamlah!

OPINI | 08 February 2011 | 09:14464  5   2 dari 2 Kompasianer menilai bermanfaat
Taro-taroi alemu siri’, Narekko de’ siri’mu, inrekko.

Lengkapilah dirimu dengan harga diri, jika tak ada harga dirimu, pinjamlah!

Nasehat berbahasa bugis ini sepertinya harus dicamkan baik-baik oleh para remaja Indonesia. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2010 menunjukkan, 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pra nikah. Di beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pra nikah juga dilakukan sebagian remaja. Misalnya saja di Surabaya tercatat 54 persen, di Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan, rata-rata setengah dari jumlah remaja remaja terjerumus kedalam masalah ini. Bayangkan berapa jumlah anak-anak Indonesia yang kehilangan harga diri, jumlah remaja (15-19 tahun) di Indonesia mencapai 43 juta jiwa, tinggal dikalikan saja dengan persentasenya.

Kenyataan miris ini harus segera diatasi, mengingat pada tahun 2006 BKKBN pernah merilis hasil survei di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, masih berkisar 45 persen remaja yang mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah. Percepatan peningkatan jumlah seks bebas di kalangan remaja yang mencapai 5 persen dalam lima tahun ini harus segera dihentikan jika kita tidak ingin mencapai angka 100 persen beberapa tahun yang akan datang.

Ada beberapa faktor yang mendorong para remaja ini melakukan seks di luar nikah, diantaranya pengaruh pergaulan bebas, faktor lingkungan dan keluarga yang mendukung prilaku tersebut, serta pengaruh perkembangan teknologi media massa, untuk diketahui, ada sekitar 4.000.000 situs porno yang bisa diakses dengan mudah di Indonesia. Kemajuan teknologi pula yang belakangan menyediakan tontonan pornografi gratis di ponsel-ponsel remaja kita, celakanya, tontonan itu ikut dipraktekkan dan akhirnya memunculkan kasus-kasus video porno anak sekolah, ada yang bersetting lokasi di dalam kelas, di taman sekolah, di kamar kos, hingga di balik sekat-sekat bilik warnet.

Hasil penelitian Synovate Research lebih rinci lagi, 44% responden mengaku mereka sudah pernah punya pengalaman seks di usia 16 sampai 18 tahun. Sementara 16% lainnya mengaku pengalaman seks itu sudah mereka dapat antara usia 13 sampai 15 tahun. Selain itu, rumah menjadi tempat paling favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya, mereka memilih hubungan seks di kos (26%) dan hotel (26%). Uniknya, para responden ini sadar bahwa seharusnya mereka menunda hubungan seks sampai menikah (68%) dan mengerti bahwa hubungan seks pra nikah itu tidak sesuai dengan nilai dan agama mereka (80%). Namun ironis karena ketika mereka ditanya tentang bagaimana perasaan mereka setelah kehilangan keperawanan atau keperjakaannya, hanya 47 persen yang mengaku takut hamil, berdosa atau ketahuan orang tua, ini pertanda bahwa moral, akhlak dan akidah sebagian remaja sudah merosot ke titik nadir.

Yang perlu kita lakukan?

Masalah ini wajib diberi perhatian, jangan sampai dibiarkan terus-menerus mengikuti perkembangan zaman dengan alasan globalisasi, kita adalah Indonesia, sebuah bangsa dengan kultur yang beradab, sebuah negara yang dilandasi nilai-nilai kesusilaan dan keberagaaman, jangan sampai Tuhan menurunkan murkanya pada kita.

Peran orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya sejak dini samgat penting. Laki-laki sejak lahir sudah dilengkapi dengan ‘penis’, sama halnya perempuan dan ‘vagina’. Yang perlu dilakukan para orang tua cukup sederhana, siapkan jawaban pada anak-anak kita sedini mungkin jika suatu saat mereka bertanya mengapa penisnya berdiri ketika melihat keindahan perempuan, atau mengapa ada getaran-getaran nafsu yang mereka rasakan ketika melihat lawan jenisnya. Orang tua harus terbuka, agar anak-anak tak bertanya lebih-lebih mencoba sembarangan.

Tak perlu ke Yunani jika ingin beretika, Tak perlu belajar jauh-jauh tentang pemecahan masalah ini, kita hanya harus kembali ke nilai-nilai yang dikandung budaya kita, anak-anak dan remaja sebaiknya kembali diakrabkan dengan budaya bugis, yakni ‘siri’ (harga diri)’, suatu keadaan dimana harga diri dan martabat dijunjung tinggi, baik diri sendiri maupun keluarga. Ceritakan pada mereka kisah tentang la’Pabbelle’ putra Arung Matoa Wajo X La Pakoko Topabbele’ yang memperkosa wanita di kampung Totinco kemudian dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya sendiri agar mereka paham akan pentingnya harga diri. Dengan siri’ anak-anak kita akan tahu bahwa seseorang yang tidak mempunyai malu atau harga diri bagaikan seonggok bangkai yang berjalan, seperti kata pepatah bugis, ‘’siri’e mi to riaseng tau”, hanya karena harga dirilah, kita dinamakan manusia.



Dimuat di Kendari News, Portal Informasi Sultra Untuk Dunia.

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which...

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong. ...

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write th...