Sebut saja namanya Dr. X. Saya berjumpa beliau beberapa bulan lalu di Jakarta.
Beliau bekerja di sebuah lembaga pendidikan prestisius di Jakarta. Prestisius dari segi reputasi dan juga gaji. Ketika saya tanya berapa gajinya, dengan ringan dia menjawab, “Sekitar Rp 30 juta per bulan”. Dengan satu anak dan istri yang juga (masih) satu, gaji sebesar itu tentu lebih dari cukup untuk hidup di Jakarta.
Dr. X lulusan universitas ternama di Negeri Sakura. Kepintarannya membuat ia sempat ditahan oleh profesor pembimbingnya untuk tetap tinggal di Jepang. Tapi ia memilih pulang. Sampai sekarang pun si profesor masih membujuknya untuk pindah ke Jepang.
Dr. X memilih berbakti untuk ibu pertiwi. Kerja keras dan kepintarannya yang di atas rata-rata doktor di Indonesia membuat ia layak menerima kompensasi gaji seperti yang dinikmatinya sekarang ini. Bekerja di pinggiran Jakarta yang masih bebas dari polusi, mendapat fasilitas rumah yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kantor, fasilitas kesehatan di rumah sakit swasta bertaraf internasional, life is perfect, isn’t it?
No, it is NOT.
Dr. X mengontak saya beberapa waktu lalu bahwa ia ingin pindah ke negara tetangga. Karena soal gaji? Bukan. Karena toh negara tetangga itu menawari gaji yang hampir sama dengan yang ia dapatkan saat ini.
Kalau bukan soal gaji, lantas apa?
Pertama, soal pendidikan anak. Kata Dr. X, dia khawatir anaknya di Indonesia akan banyak mempelajari hal yang salah. Orang membuang sampah sembarangan dianggap normal. Tawuran pelajar menjadi rutinitas harian anak-anak kita. Menjadi koruptor tidak lagi malu karena statusnya sama seperti selebritis. Kalau setiap hari anak saya melihat hal-hal seperti itu, nanti dia akan menganggap hal-hal buruk itu sebagai norma, demikian kata Dr. X.
Betul juga, sih. Anak belajar dari lingkungannya. Kalau lingkungannya mengajarkan keburukan, maka si anak akan menganggapnya bukan lagi sebagai keburukan, tapi sebuah kewajaran.
Kedua, setengah bercanda Dr. X bilang mobilnya cepat rusak di Jakarta karena jalan-jalan banyak yang bolong. Percuma ada mobil bagus, nggak bisa dipakai ngebut karena macet dan cepat rusak karena selalu dipakai “off-road” di jalanan Jakarta, hahaha.
Hmmm, betul juga, batin saya. Di negara tetangga yang diincar Dr. X itu jalan-jalannya sebagian besar mulus dan bebas macet sehingga punya mobil bagus memang bisa dinikmati betul-betul dan tidak cepat rusak.
Ketiga, Dr. X mulai bicara serius. Katanya, menjadi orang pintar di Indonesia itu percuma. Karena kekuasaan ada pada orang yang punya duit dan akses politik. Di institusi tempat ia bekerja, sudah lima orang doktor lulusan luar negeri hengkang karena tidak tahan dengan kesewenang-wenangan si boss yang memegang kekuasaan.
Saya cepat menyambar, “Itu bukan cerita baru, Pak. Dulu di UI ada pusat riset unggulan namanya Institute of Human Virology and Cancer Biology (IHVCB). Peresmiannya saja dihadiri oleh Wapres Jusuf Kalla dan mantan Presiden BJ Habibie. Fasilitasnya luar biasa canggih. Pakar-pakarnya didatangkan dari Amerika, bahkan Prof. Robert Gallo sang penemu virus HIV juga bergabung lho. Tapi sekarang nasibnya mengenaskan. Para pakar itu hengkang, dan websitenya malah sekarang menawarkan segala hal, mulai dari asuransi, kredit rumah, sampai soal esek-esek.”
Kalau mau lihat websitenya, klik di sini: http://www.ihvcb-ui.org/
Saya sempat “menakut-nakuti” Dr. X. Saya bilang di negara tetangga itu gaji masih dipotong pajak cukup besar, si anak juga mungkin hanya bisa masuk sekolah internasional yang mahal, juga harga properti cukup mahal sehingga kalau di Jakarta bisa beli rumah dengan halaman luas tapi disana terpaksa tinggal di apartemen. Dihitung-hitung, gaji 30 juta dapatnya lebih sedikit dibanding hidup di Jakarta.
Tapi Dr. X tidak bergeming. Orang sekaliber dan secerdas dia bukan lagi berpikir soal duit. Masa depan anak dan ketenangan bekerja jauh lebih utama, walaupun terpaksa meninggalkan negeri yang dicintainya.
Comments
Post a Comment