Skip to main content

Bapak Pendidikan Kita: Daendels atau Ki Hadjar Dewantoro?

Sumber:
http://kluget.com/opini/bapak-pendidikan-kita-daendels-atau-ki-hadjar-dewantoro.html

Bapak Pendidikan Kita: Daendels atau Ki Hadjar Dewantoro?
-Anton DH Nugrahanto- , Jakarta 2 Mei 2012-.

Bapak Pendidikan Nasional itu sebenarnya bukan Ki Hadjar Dewantoro,
karena apa yang dikenalkan oleh Ki Hadjar Dewantoro sama sekali tak
digubris oleh Pemerintahan Republik Indonesia, Pendidikan Taman Siswa
tak pernah jadi indikator pendidikan nasional kita, kurikulum pendidikan
Taman Siswa tak pernah dijadikan basis dalam sistem pedagogi kita.

Kita ini senang mengunggul-ungguli simbol tapi gagap pada substansi, Ki
Hadjar Dewantoro diagung-agungken jadi Bapak Pendidikan, tapi Taman
Siswa sendiri hidup tak mau matipun enggan, Taman Siswa seperti sekolah
rakyat yang tak tersentuh, jauh dari sekolah para dewa, sekolah
internasional dan sekolah negeri yang beracuan pada pendidikan barat.

Bapak Pendidikan secara realistis harus diberikan kepada Daendels, sebab
dia-lah penguasa di Nusantara pertama yang menciptakan sistem sekolah
rakyat. Pada bulan Juni 1810, di Cirebon Daendels melihat bahwa rakyat
sama sekali tak dapat pendidikan aksara, tak mendapat pendidikan
mengenal lingkungannya. Lalu ia berbicara dengan Pangeran Cirebon untuk
segera dibentuk 'Sekolah Ronggeng'. Pada dasarnya sekolah ronggeng
adalah sekolah pertama kali yang memadukan sistem pendidikan barat
dengan sistem pendidikan timur dimana siswa didik dikenalkan pada
lingkungannya dengan melek huruf, disini berarti ada pertemuan antara
ketercerahan jiwa dengan ketercerahan intelektual.

Daendels terobsesi dengan pemikiran Descartes yang ingin mengenalkan
ilmu pengetahuan kepada banyak orang - di masa lalu Descartes menjebol
buku-buku berbahasa latin ke bahasa Perancis yang juga berarti bahasa
rakyat banyak, apa yang dilakukan Descartes berlawanan dengan sakralitas
ilmu pengetahuan di Eropa pada masanya, tapi Descartes menjawab "Ilmu
pengetahuan bukanlah barang suci, ia sekedar informasi dan setiap orang
berhak atas informasi yang disampaikan ilmu pengetahuan-. ,

Memang ada kesan congkak dalam pemimpin cabutan Napoleon Bonaparte ini,
tapi tugas utama Daendels di Jawa yang membangun benteng pertahanan
melawan Inggris, juga ia lakukan dengan membangun skema pendidikan dalam
tahapan paling dasarnya.

Pada tahun 1811 di Batavia, Daendels melihat begitu banyak kematian
bayi-bayi, dan tidak adanya perawatan kesehatan. Daendels memerintahkan
dibentuknya sekolah bidan. "Sekolah Bidan" Daendels bisa dikatakan
sebagai sekolah kedokteran tahap pertama sebelum adanya sistem
pendidikan yang sistematis pada masa-masa selanjutnya.

Daendels mencatat semua persoalan-persoalan penduduk pribumi dalam
sebuah arsip, namun manifestasi persoalan penduduk pribumi. Setelah era
Daendels datanglah era Raffles dimasan Sir Thomas Stamford Raffles,
tidak diperhatikan pendidikan rakyat, Raffles tergila-gila pada ilmu
pengetahuan, ia tak peduli dengan pembagian informasi ilmu pengetahuan,
Raffles malah membangun perpustakaannya sendiri, kemudian setelah
kematiannya di Singapura perpustakaannya jadi sumber penyumbang terbesar
bagi perkembangan ilmu sejarah, sosiologi dan arkeologi Asia Tenggara ke
Perpustakaan London, salah satu yang menikmati hasil kerja keras Raffles
adalah Karl Marx dan Marx sendiri khusus menyebutkan Raffles ke dalam
salah satu karya terbesarnya 'Das Kapital'. Namun kerja Raffles sama
sekali tak menyentuh akar-akar pendidikan rakyat. Begitu juga
Gubernur-Gubernur Jenderal selanjutnya seperti Van den Bosch yang lebih
terobsesi mengembalikan biaya-biaya perang Diponegoro dengan kerja rodi
di banyak perkebunan.

Bila Daendels bisa dikatakan Bapak Pendidikan di Nusantara, maka Van
Heutz bisa dikatakan Bapak Pembuka Sistem Pendidikan. Van Heutz adalah
Gubernur Jenderal terbesar pada masa Hindia Belanda, dimasa dia-lah
seluruh Nusantara dijadikan satu jaringan sistem pemerintahan yang
tertib dan teratur. Setelah pidato-nya yang terkenal di Lapangan Banteng
10 Mei 1907 terntang kesempurnaan geopolitik di wilayah Hindia Belanda,
setelah pidato itu ia mengumpulkan seluruh penggede Hindia Belanda dan
akan melakukan politik pendidikan rakyat, disini Van Heutz membentuk
sistem sekolah desa, sebagai alat pencerdasan rakyat dan memberantas
buta huruf, rakyat harus dikenalkan pada dunia baca dan dunia tulis
sehingga pikirannya berkembang. -Dimasa Van Heutz pula dibicarakan
tentang gagasan sekolah peralihan (Schakel School). Disini Van Heutz
menerapkan dasar-dasar pedagogi yang secara sistematis mengenalkan dunia
aksara dan dunia hitung lewat sistem yang lebih teratur, Van Heutz juga
membaca arsip-arsip yang dilaporkan pada masa Daendels, dan keinginan
Daendels membangun sistem pendidikan modern di Jawa sebagai uji coba
sistem pendidikan bagi anak pribumi, Van Heutz juga membaca
laporan-laporan tentang perkembangan politik di Parlemen Belanda yang
menuntut adanya sistem pendidikan teratur di Hindia Belanda, Parlemen
Belanda yang pada waktu itu dikuasai dua kelompok besar : Sosialis dan
Liberal menuntut dengan satu suara "Hidupkan Sistem Pendidikan Pribumi".

Sistem pendidikan yang diteriakan kelompok Van Deventer itu tak pernah
sampai ke meja Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sampai Van Heutz
membentuk inisiatifnya sendiri membangun sistem pendidikan yang progresif.

Apa yang dilakukan Van Heutz ini disempurnakan oleh Idenburg dan lebih
sempurna lagi pada masa Van Limburg Stirum dengan memasukkan sistem
kurikulum paling teratur dan terintegrasi, sistem kurikulum Van Limburg
Stirum sampai sekarang masih digunakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional.

Sebenarnya sekolah-sekolah modern dibangun di Indonesia sudah ada sejak
1850, hanya saja pembangunannya itu bertahap, seperti sekolah pendidikan
(Kweekschool) itu didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Namun
seluruhnya belum teratur dan masih dalam rangkaian proses, substansi
seluruh sistem pendidikan baru secara serius digarap dan dijadikan
pedoman pedagogis pada tahun 1918 pada masa Van Limburg Stirum ini.

Kesempurnaan seluruh entitas pendidikan terjadi pada tahun 1918. Di
Hindia Belanda sudah ada pendidikan kejuruan yang amat efektif seperti
sekolah dagang (handels onderweijs), sekolah pertanian (landbouw
onderweijs), sekolah pertukangan (amaatsch leergang) dan sekolah
pertukangan berbahasa Belanda (Ambaatchsschool).

Sekolah-sekolah formal akademis dari HIS sampai HBS atau AMS dan
Universiteit dibangun dimana-mana. Jadi dimasa ketika Ki Hadjar
Dewantoro membangun Taman Siswa ini bukan sebagai pembentuk sistem
pendidikan nasional, tapi perlawanan terhadap substansi kebangsaan
pendidikan nasional.

Berdirinya Taman Siswa tak lepas dari diskusi panjang dua minggu yang
dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantoro (waktu itu nama resminya masih
Suwardi Suryoningrat), Drs. Raden Mas Pandji Sosrokartono, dan Ki Ageng
Suryomentaram tentang hakikat kebangsaan, dialog-dialog mereka amat
panjang dan menyentuh pada persoalan kemanusiaan dan rasa jiwa manusia,
sehingga dicetuskanlah ide membangun pendidikan berorientas kebangsaan.
Beberapa tahun kemudian setelah diskusi panjang itu berdiri sekolah
Taman Siswa di Yogyakarta pada tahun 1922.

Pendidikan Taman Siswa adalah pendidikan perlawanan, awal dari mula-mula
diuji coba untuk melawan kurikulum Belanda dengan sistem pendidikan yang
tak mengasingkan anak didik kepada bangsanya. Ini substansi dari
berdirinya Taman Siswa. Namun perkembangan Taman Siswa ke depan malah
dilindas dalam laju sejarah, Taman Siswa gagal menjadi sistem alternatif
pendidikan, kecuali nama Ki Hadjar Dewantoro yang seakan-akan menjadi
simbol atas pendidikan nasional kita.

Adalah Ki Said, salah seorang guru Taman Siswa yang paling terkenal dan
mengepalai sekolah Taman Siswa di Djakarta antara tahun 1945-1966, Ki
Said mengembangkan sistem pendidikan Taman Siswa dengan amat
revolusioner yaitu : "Bahwa setiap orang memiliki bakatnya, setiap orang
memiliki takdir atas bakatnya" patokan adagium Ki Said inilah yang
kemudian menjadi dasar-dasar pengembangan Pendidikan Taman Siswa di
Djakarta, dan hasilnya di masa Ki Said, Taman Siswa menyumbangkan
seniman-seniman besar Indonesia seperti : Benyamin S dan pelawak Ateng.

Benyamin S mengenang, pendidikan Taman Siswa-lah yang membuat ia
mencintai dengan amat sangat bangsa sendiri, ia tidak merasa malu
menyanyikan lagu-lagu betawi karena pendidikan Taman Siswa ini, ia
bangga berhadapan dengan gengsi lagu asing, karena ia merasa bahwa lagu
yang ia bawakan adalah identitas paling awal kemanusiaannya. Ki Said
telah membentuk karakter Benyamin S dari seorang anak bandel tukang
catut menjadi seniman paling legendaris yang dimiliki bangsa Indonesia.

Ki Said amat mencintai Bung Karno, suatu waktu di awal tahun 1966, Ki
Said didatangi mahasiswa-mahasiswa KAMI yang menentang Bung Karno, ia
dipaksa menyuarakan kutukan terhadap Bung Karno, tapi apa jawab Ki Said
"Bung Karno-lah yang mengenalkan anak-anak seluruh Indonesia di tahun
1945 tentang rasa cinta kepada bangsa sendiri, Bung Karno-lah yang
membentuk -nation- Indonesia, itu Bung Karno-ku, perkara Bung Karno yang
suka main perempuan, yang kalian cap tak mampu membangun ekonomi
bangsanya di tahun 1966, itu Bung Karno kalian, dan aku tak ingin
mengutuk sedikitpun Bung Karno-ku-.

Kesadaran Nasional adalah inti dari pendidikan Taman Siswa, inti dari
pemikiran Ki Hadjar Dewantoro, apabila sistem pendidikan nasional tak
menghasilkan kesadaran nasional, kebanggaan sebagai bangsa, kebanggaan
bahwa kita adalah bangsa yang mampu menyumbangkan kebudayaan dunia,
membentuk peradaban baru, maka jangan sekali-kali kalian menyatakan
Bapak Pendidikan Nasional kalian adalah Ki Hadjar Dewantoro, tapi secara
realitas memanglah Bapak Pendidikan Nasional kalian adalah Daendels,
karena Daendels membangun pendidikan tanpa jiwa nasionalisme ia hanya
ingin menyebarkan ilmu pengetahuan, sama seperti orang tua sekarang yang
lebih bangga anaknya bisa bahasa Inggris di tempat-tempat umum ketimbang
lancar berbahasa Indonesia.

Kepada Ki Hadjar, kepada Ki Said bangsa Indonesia berterima kasih telah
dibentuk jiwanya.

-Anton DH Nugrahanto- , Jakarta 2 Mei 2012-.

Comments

Popular posts from this blog

The Difference Between LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition (#31313) and LEGO MINDSTORMS Education EV3 (#45544)

http://robotsquare.com/2013/11/25/difference-between-ev3-home-edition-and-education-ev3/ This article covers the difference between the LEGO MINDSTORMS EV3 Home Edition and LEGO MINDSTORMS Education EV3 products. Other articles in the ‘difference between’ series: * The difference and compatibility between EV3 and NXT ( link ) * The difference between NXT Home Edition and NXT Education products ( link ) One robotics platform, two targets The LEGO MINDSTORMS EV3 robotics platform has been developed for two different target audiences. We have home users (children and hobbyists) and educational users (students and teachers). LEGO has designed a base set for each group, as well as several add on sets. There isn’t a clear line between home users and educational users, though. It’s fine to use the Education set at home, and it’s fine to use the Home Edition set at school. This article aims to clarify the differences between the two product lines so you can decide which

Let’s ban PowerPoint in lectures – it makes students more stupid and professors more boring

https://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183 Reading bullet points off a screen doesn't teach anyone anything. Author Bent Meier Sørensen Professor in Philosophy and Business at Copenhagen Business School Disclosure Statement Bent Meier Sørensen does not work for, consult to, own shares in or receive funding from any company or organisation that would benefit from this article, and has no relevant affiliations. The Conversation is funded by CSIRO, Melbourne, Monash, RMIT, UTS, UWA, ACU, ANU, ASB, Baker IDI, Canberra, CDU, Curtin, Deakin, ECU, Flinders, Griffith, the Harry Perkins Institute, JCU, La Trobe, Massey, Murdoch, Newcastle, UQ, QUT, SAHMRI, Swinburne, Sydney, UNDA, UNE, UniSA, UNSW, USC, USQ, UTAS, UWS, VU and Wollongong.

Logic Analyzer with STM32 Boards

https://sysprogs.com/w/how-we-turned-8-popular-stm32-boards-into-powerful-logic-analyzers/ How We Turned 8 Popular STM32 Boards into Powerful Logic Analyzers March 23, 2017 Ivan Shcherbakov The idea of making a “soft logic analyzer” that will run on top of popular prototyping boards has been crossing my mind since we first got acquainted with the STM32 Discovery and Nucleo boards. The STM32 GPIO is blazingly fast and the built-in DMA controller looks powerful enough to handle high bandwidths. So having that in mind, we spent several months perfecting both software and firmware side and here is what we got in the end. Capturing the signals The main challenge when using a microcontroller like STM32 as a core of a logic analyzer is dealing with sampling irregularities. Unlike FPGA-based analyzers, the microcontroller has to share the same resources to load instructions from memory, read/write the program state and capture the external inputs from the G