http://scholarship.edublogs.org/2005/09/12/mengapa-jilbab-dilarang-di-perancis/
WASPADA Online 04 Mei 04
Oleh A Fatih Syuhud *
Kendati lebih dari 80 persen dari populasinya menyebut dirinya Katolik,
dan Katolikisme merasuk dalam sejarah dan budayanya, Prancis dapat
bertahan dari desakan 'tirani mayoritas'yang hampir tidak mengemuka
selama lebih dari 100 tahun. Dengan pengecualian di era rejim Vichy yang
pro-Nazi selama Perang Dunia II, pemerintah yang berkuasa silih berganti
mentaati penuh spirit hukum tahun 1905 yang membangun pagar pemisah
tebal dan tak terpenetrasi antara negara dan gereja.
Di bawah undang-undang ini negara diharuskan untuk memelihara
netralitasnya vis-à-vis seluruh komunitas agama. Tidak ada instruksi
agama apapun yang dibolehkan dibicarakan di sekolah negeri, begitu juga
tidak ada tanda atau simbol agama diijinkan dipasang di gedung
pemerintah. Agama terbatas dalam ruang pribadi atau non-pemerintah.
Hukum 1905 itu juga mengharuskan negara untuk melindungi kebebasan
panggilan nurani seluruh warganya. Usaha apapun untuk melanggar
kebebasan ini, melalui intimidasi, pemaksaan, propaganda, kekerasan atau
pengabaran, akan terkena tindakan hukuman.
Dengan demikian, tidak ada satupun warga negara, atau sekelompok warga
negara, yang dapat berperilaku melawan tradisi 'republiken' Prancis yang
terwarisi dari para pemikir Pencerahan dan Revolusi 1789: demokrasi,
mempertahankan HAM, menghormati kebebasan dasar, persamaan ras dan
jender dan juga peluang. Segenap warga terkena hukum yang sama. Ini
menjadi persyaratan pokok untuk mendapat kewarganegaraan Prancis.
Sepanjang abad ke-20 Katolik, Protestan dan Yahudi berhasil
menginternalisasi spirit sekularisme dan identitas ini. Akan tetapi
pertumbuhan populasi muslim yang cepat, yang diestimasi berkisar antara
3 sampai 5 juta, pada dekade terakhir telah menyebabkan debat panjang
tentang apakah komunitas muslim dapat atau tidak berintegrasi ke dalam
mainstream Republiken. Bagi banyak kalangan pemikir Prancis Islam secara
intrinsik tidak selaras dengan demokrasi, HAM, wanita, kebebasan
berekspresi dan bersikap bermusuhan pada non-Muslim dan pada kalangan
pembangkang di kalangan muslim sendiri.
Kepercayaan mendalam muslim pada konsep ummah (baca, pan Islamisme) dan
pada komunitas muslim yang tak terpisahkan, juga dianggap tidak cocok
dengan ide modern Negara-Bangsa. Dengan semakin banyaknya kalangan
Muslim muda berpendidikan yang menampakkan sikap simpatik pada ulama
Islam radikal, terdapat banyak kekuatiran dan rasa was-was bahwa tradisi
republiken Prancis tidak akan dapat lagi bertahan.
Namun demikian, terdapat juga kalangan pemikir Prancis yang berpendapat
bahwa umat Islam dapat menyesuaikan diri dengan tradisi ini. Sebagai
contoh, di Tunisia Islam bukanlah agama resmi negara. Semua warganya
sejajar di mata hukum. Persamaan gender dijamin. Poligami dihapuskan.
Sistem demokrasi semakin banyak dipakai di sejumlah negara Muslim.
Sejumlah wanita Islam menjadi kepala negara di Indonesia, Bangladesh,
Pakistan. Sementara itu, kalangan reformis Muslim juga semakin bersuara
lantang. Kalangan reformis ini umumnya berpendapat bahwa memang Quran
tidak dapat diganggu-gugat, tetapi syariah (fiqh) dan teks-teks teologis
yang lain harus dilihat dari konteks historisnya. Hal ini harus
dilakukan untuk memungkinkan umat Isalam dapat berjalan seiring dengan
tuntutan humanis dunia modern.
Saat ini, kalangan reformis dalam posisi defensif. Bulan April lalu,
untuk pertama kalinya pemilu diadakan untuk majlis umum dan komite pusat
Dewan Prancis untuk Agama Islam (DPAI) di mana pemerintah telah
menciptakan institusi yang sama untuk komunitas Katolik, Protestan dan
Yahudi. Alasan pembentukan DPAI ini adalah bahwa sebuah badan perwakilan
Muslim Prancis dapat dibujuk atau dipersuasi untuk bersikap selaras
dengan etos republiken negara. Tampak bahwa harapan ini tak lebih dari
wishful thinking belaka saat ini, karena ternyata hasilnya cukup
mengagetkan dan tidak sesuai harapan pemerintah: pemilu itu dimenangkan
oleh kalangan garis keras yang sebagian di antaranya berafiliasi dengan
Ikhwanul Muslimin.
Tampaknya fenomena inilah antara lain yang memaksa presiden Chirac untuk
mengambil langkah konstitusi pelarangan penggunaan jilbab yang
mengundang banyak kontroversi itu.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Agra University
dan Research Associate di Zakir Hussein Institute of Islamic Studies New
Delhi, India.
WASPADA Online 04 Mei 04
Oleh A Fatih Syuhud *
Kendati lebih dari 80 persen dari populasinya menyebut dirinya Katolik,
dan Katolikisme merasuk dalam sejarah dan budayanya, Prancis dapat
bertahan dari desakan 'tirani mayoritas'yang hampir tidak mengemuka
selama lebih dari 100 tahun. Dengan pengecualian di era rejim Vichy yang
pro-Nazi selama Perang Dunia II, pemerintah yang berkuasa silih berganti
mentaati penuh spirit hukum tahun 1905 yang membangun pagar pemisah
tebal dan tak terpenetrasi antara negara dan gereja.
Di bawah undang-undang ini negara diharuskan untuk memelihara
netralitasnya vis-à-vis seluruh komunitas agama. Tidak ada instruksi
agama apapun yang dibolehkan dibicarakan di sekolah negeri, begitu juga
tidak ada tanda atau simbol agama diijinkan dipasang di gedung
pemerintah. Agama terbatas dalam ruang pribadi atau non-pemerintah.
Hukum 1905 itu juga mengharuskan negara untuk melindungi kebebasan
panggilan nurani seluruh warganya. Usaha apapun untuk melanggar
kebebasan ini, melalui intimidasi, pemaksaan, propaganda, kekerasan atau
pengabaran, akan terkena tindakan hukuman.
Dengan demikian, tidak ada satupun warga negara, atau sekelompok warga
negara, yang dapat berperilaku melawan tradisi 'republiken' Prancis yang
terwarisi dari para pemikir Pencerahan dan Revolusi 1789: demokrasi,
mempertahankan HAM, menghormati kebebasan dasar, persamaan ras dan
jender dan juga peluang. Segenap warga terkena hukum yang sama. Ini
menjadi persyaratan pokok untuk mendapat kewarganegaraan Prancis.
Sepanjang abad ke-20 Katolik, Protestan dan Yahudi berhasil
menginternalisasi spirit sekularisme dan identitas ini. Akan tetapi
pertumbuhan populasi muslim yang cepat, yang diestimasi berkisar antara
3 sampai 5 juta, pada dekade terakhir telah menyebabkan debat panjang
tentang apakah komunitas muslim dapat atau tidak berintegrasi ke dalam
mainstream Republiken. Bagi banyak kalangan pemikir Prancis Islam secara
intrinsik tidak selaras dengan demokrasi, HAM, wanita, kebebasan
berekspresi dan bersikap bermusuhan pada non-Muslim dan pada kalangan
pembangkang di kalangan muslim sendiri.
Kepercayaan mendalam muslim pada konsep ummah (baca, pan Islamisme) dan
pada komunitas muslim yang tak terpisahkan, juga dianggap tidak cocok
dengan ide modern Negara-Bangsa. Dengan semakin banyaknya kalangan
Muslim muda berpendidikan yang menampakkan sikap simpatik pada ulama
Islam radikal, terdapat banyak kekuatiran dan rasa was-was bahwa tradisi
republiken Prancis tidak akan dapat lagi bertahan.
Namun demikian, terdapat juga kalangan pemikir Prancis yang berpendapat
bahwa umat Islam dapat menyesuaikan diri dengan tradisi ini. Sebagai
contoh, di Tunisia Islam bukanlah agama resmi negara. Semua warganya
sejajar di mata hukum. Persamaan gender dijamin. Poligami dihapuskan.
Sistem demokrasi semakin banyak dipakai di sejumlah negara Muslim.
Sejumlah wanita Islam menjadi kepala negara di Indonesia, Bangladesh,
Pakistan. Sementara itu, kalangan reformis Muslim juga semakin bersuara
lantang. Kalangan reformis ini umumnya berpendapat bahwa memang Quran
tidak dapat diganggu-gugat, tetapi syariah (fiqh) dan teks-teks teologis
yang lain harus dilihat dari konteks historisnya. Hal ini harus
dilakukan untuk memungkinkan umat Isalam dapat berjalan seiring dengan
tuntutan humanis dunia modern.
Saat ini, kalangan reformis dalam posisi defensif. Bulan April lalu,
untuk pertama kalinya pemilu diadakan untuk majlis umum dan komite pusat
Dewan Prancis untuk Agama Islam (DPAI) di mana pemerintah telah
menciptakan institusi yang sama untuk komunitas Katolik, Protestan dan
Yahudi. Alasan pembentukan DPAI ini adalah bahwa sebuah badan perwakilan
Muslim Prancis dapat dibujuk atau dipersuasi untuk bersikap selaras
dengan etos republiken negara. Tampak bahwa harapan ini tak lebih dari
wishful thinking belaka saat ini, karena ternyata hasilnya cukup
mengagetkan dan tidak sesuai harapan pemerintah: pemilu itu dimenangkan
oleh kalangan garis keras yang sebagian di antaranya berafiliasi dengan
Ikhwanul Muslimin.
Tampaknya fenomena inilah antara lain yang memaksa presiden Chirac untuk
mengambil langkah konstitusi pelarangan penggunaan jilbab yang
mengundang banyak kontroversi itu.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Agra University
dan Research Associate di Zakir Hussein Institute of Islamic Studies New
Delhi, India.
Comments
Post a Comment